/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Jumat, 09 September 2016

SOLO RUN DAY 3

SOLO, Minggu, 17 Januari 2015

-DAY 3-

LAST DAY… GONNA MISS THIS PLACE!

Hari ketiga adalah kesempatan terakhir gue untuk mengeksplorasi kota Solo dan sekitar. Karena keesokan siangnya gue akan kembali pulang ke Jakarta. So, ke mana gue hari ini? Rencananya gue akan mengunjungi tiga tempat, yakni Candi Ceto, Candi Sukuh dan Air Terjun Jumog. Ketiga tempat ini berada di daerah Karanganyar, yang membutuhkan waktu beberapa jam dari kota Solo.

Sehari sebelumnya gue sudah menelpon pihak hotel untuk menyewa mobil beserta sopirnya. Ya, di liburan kali ini gue ingin lebih sedikit bersantai. Tinggal duduk manis di kursi samping, mendengarkan musik, melihat pemandangan, serta mengabadikan banyak momen dengan kamera gue tanpa perlu menyetir mobil. Hehehe sekali-kali “bermewah-mewahan” nggak apa-apa dong?

Jam 9 pagi gue meluncur  ke destinasi pertama; Candi Ceto. Di sepanjang perjalanan yang gue lihat adalah tampilan khas kota kecil, di mana rumah jarang terlihat rapat-rapat, yang terlihat adalah hamparan sawah terbentang luas nan indah. Gue buka kaca jendela mobil sedikit untuk mengabadikan momen tersebut. Tape mobil gue setel playlist dari iPhone gue. Lagu Ello-Masih Ada mengiringi perjalanan gue. Awalnya gue tidak suka lagu ini. Namun, setelah melihat video clip beserta makna isi lagu tersebut, gue merasa ada kedekatan kondisi dengan yang gue alami sekarang; Traveling sendirian setelah patah hati karena putus cinta.

Kemudian lagi-lagi lagu Adhitya Sofyan-Forget Jakarta mengalun dari playlist yang gue mainkan secara acak. Ya, saat itu gue benar-benar melupakan Jakarta dengan ragam problematikanya. Entah masalah sosial - di mana dua hari sebelumnya terjadi ledakan bom di kawasan Sarinah- , rutinitas pekerjaan dan aktivitas sehari-hari gue, serta masalah kehidupan percintaan gue yang sedang kurang mulus jalannya.

Setelah kurang lebih dua jam, akhirnya sampai juga gue di Candi Ceto. Benar-benar tipe destinasi favorit gue. Berada di dataran tinggi sehingga kondisinya sejuk dan dingin. Lokasinya berada di lereng Gunung Lawu yang ditengarai dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit. Kompleks candi ini digunakan oleh masyarakat lokal setempat maupun peziarah beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Selain itu, Candi Ceto juga dijadikan tempat pertapaan bagi para penganut kepercayaan asli Jawa, Kejawen.

Cukup ramai pengunjung saat itu. Seperti gue, mereka juga terlihat antusias berada di Candi Ceto. Gue pun banyak memotret  momen maupun bangunan candi-candi yang ada. Setelah cukup puas mengambil gambar, gue pun segera beranjak untuk menuju tempat berikutnya yakni Candi Sukuh, yang pula dikenal dengan sebutan Candi porno. Mengapa? Let’s see…

Jarak dari Candi Ceto menuju Candi Sukuh tidak terlalu jauh. Ada yang lucu di sepanjang perjalanan gue menuju Candi Sukuh. Boleh percaya atau tidak, gue sempat melihat di pinggir jalan terdapat sebuah kios penjual Mie Ayam dengan label “Mie Ayam Bakso REAL MADRID”. Belum selesai, beberapa meter setelahnya terdapat (lagi) penjual MieAyam, namun kali ini dengan label “Mie Ayam Bakso BARCELONA”. Wow!

Sudah hampir dipastikan kedua penjual Mie Ayam Bakso ini merupakan kompetitor yang menyajikan rivalitas sengit. Selayaknya duel Cristiano Ronaldo versus Lionel Messi.

Setibanya di Candi Sukuh, gue menyempatkan diri untuk solat dzuhur dulu di sebuah masjid kecil. Setelah itu, tanpa buang waktu gue langsung masuk ke dalam kompleks Candi Sukuh. Sama seperti Candi Ceto, terletak di desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, candi ini digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk agama Hindu. Oh iya, mengapa candi ini juga disebut sebagai Candi porno? Sebab, banyak bangunan candinya yang kontroversial, dalam artian memiliki gambaran alat-alat kelamin manusia secara jelas pada beberapa figurnya.

Tidak begitu lama buat gue mengeksplorasi candi ini karena kompleksnya tidak terlalu luas. Selanjutnya, gue menuju Air Terjun Jumog!

Cukup beberapa menit hingga gue sampai di tujuan. Memasuki kawasan Air Terjun, gue dihadapkan dengan bentangan spanduk bertuliskan “ANDA AKAN MENURUNI 116 ANAK TANGGA”. Wah, kok tulisannya bernada meremehkan kapasitas napas gue, ujar gue dalam hati. Well, jangankan menuruni 116 anak tangga, menanjak 3000an mdpl aja gue jabanin! Hehehe sombong ya.

Sebutan “Surga yang Hilang” memang pantas disematkan pada Air Terjun Jumog ini. Memiliki ketinggian kurang lebih 30 meter, air terjun ini menawarkan pemandangan yang amat indah, segar dan kehijauan. Sangat elok dipandang. Yang membuatnya menjadi tidak enak buat gue sih karena banyak pemandangan muda-mudi, pasangan muda-tua yang asyik berfoto dengan latar belakang air terjun. Ngiri banget gue! Ahahahah…

Forget it! Gue pun benar-benar terlena dengan pemandangan di depan mata. Kamera gue tak henti-hentinya jepret sana-sini. Satu hal yang sulit bagi gue adalah berfoto selfie. Ya, karena gue sendiri. Jadi, solusinya ya gue harus SKSD minta tolong kepada orang-orang di sekitar untuk bisa mengabadikan foto gue bersama Air Terjun Jumog yang indah ini. Dari sini, gue belajar berani untuk menanggalkan kejelekan orang Indonesia pada umumnya, yaitu gengsi.

Kemudian, tiba-tiba di salah satu sudut terdengar sayup-sayup suara musik dangdut. Benar saja, ternyata ada panggung musik dangdut di sana. Gue langsung menghampiri dan gue tidak akan pernah menyesali pelancongan gue kali ini. Kenapa? Karena gue akhirnya bisa melihat langsung dengan mata kepala gue sendiri komunitas goyang dangdug koplo yang kesohor itu. Sekumpulan anak muda yang memiliki hobi sama yakni joget dangdut, serta memiliki koreografi unik yang dilakukan secara kompak bersama-sama. Untuk lebih jelasnya, lo bisa lihat di Instagram gue: https://www.instagram.com/p/BAo0RIqgpv-Qr96VILiO_OYERX3MTeH9S_PPBQ0/?taken-by=randyislamy

Melihat itu, hasrat gue pun terpancing untuk bergabung. Ya, gue menyatu dengan mereka, menyatu dengan “kearifan lokal” itu. Gue ikut berjoget and I really enjoyed it!

https://www.instagram.com/p/BAozfURApufbFyEQqxxmtjVlvOnuP5gjqwHfMQ0/?taken-by=randyislamy

Seketika itu, gue sendiri namun tidak merasa sendiri. Ada kebahagiaan membuncah yang bertahan cukup lama di hati ini. Pengalaman ini kelak akan menjadi cerita menarik untuk diceritakan kembali dengan orang-orang terdekat.

Hari sudah mulai sore, hujan pun perlahan muncul. Gue memutuskan kembali ke hotel dengan sebelumnya menyempatkan diri untuk makan di sebuah restoran. Sesampainya di hotel, gue langsung mandi dan istirahat. FYI, hotel gue kali ini berbeda dari hotel sebelumnya. Gue sengaja berganti hotel karena lokasinya dekat dengan stasiun Purwosari.

TIME IS UP! WAKTUNYA PULANG..

Keesokannya, setelah solat dzuhur, gue menuju stasiun Purwosari berjalan kaki. Padahal setelah dirasakan, jaraknya ternyata lumayan jauh. Informasi yang gue dapatkan ketika bertanya kepada orang-orang, mereka menjawabnya jaraknya cukup dekat. Mungkin maksud mereka jaraknya dekat jika gue naik becak atau taksi, bukannya jalan kaki.

Tetapi tidak apa lah! Gue menikmati kok suasana kota Solo saat itu dengan berjalan kaki; Lengang, damai dan tidak banyak menuntut. Tidak peduli cuaca siang hari itu sangat terik membakar kulit. Toh, waktu keberangkatan kereta masih cukup lama.

Setelah membeli minuman mineral, gue pun menunggu di kursi peron stasiun. Pikiran gue mengawang ke perjalanan tiga hari gue selama di Solo. Sebelumnya, gue traveling tidakpernah sendiri. Traveling ke Jogja, Semarang, Kediri, naik gunung Papandayan, gunung Rakutak selalu bareng teman beramai-ramai (pernah juga bareng pacar sendiri). Bahkan untuk ke gunung Prau gue cuma berdua saja dengan teman gue, yang bernama Acil.

Tapi kali ini, ke Solo, gue benar-benar sendiri. Yup, gue melakukan solo traveling-solo backpacker di kota Solo. Seperti sebuah kebetulan, ya? Namun, jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya niat untuk traveling sendiri sudah tersimpan cukup lama. Meskipun dulu gue tidak tahu bahwa kota Solo yang menjadi destinasinya. But again, kota Solo memang memiliki arti tersendiri buat gue. Jadi, bisa mengunjungi kota ini traveling sendirian sih sudah menjadi salah satu goals dalam hidup gue. It might sounds lebay, but it’s actually true. Cuma gue yang bisa merasakan ini.

Di dunia sepakbola, terdapat istilah solo run di mana terdapat satu pemain yang berlari menggiring bola dari jarak yang cukup jauh. Ia berhasil melewati berbagai hadangan pemain lawan hingga akhirnya berduel satu lawan satu dengan kiper lawan. Solo run ini akan lebih indah jikalau sang pemain mampu mencetak gol pada akhirnya.

Lalu, bagaimana dengan perjalanan Solo Run Traveling gue kali ini? Let me tell you… It was perfectly awesome!

Gonna miss this place so much…




SOLO RUN DAY 2

SOLO, Sabtu, 16 Januari 2015

-DAY 2-

KUNJUNGI STADION MANAHAN = MABRUR!

Salah satu alasan gue melancong ke Solo adalah agar bisa mengnjungi stadion Manahan. Dengan mengusung alasan yang sedikit sensitif, gue sukses menyambangi stadion Manahan dengan wajah berseri-seri. Tepat jam 9 pagi, gue sudah ada di sekitaran stadion untuk mencari makanan. Tetapi, sejurus kemudian gue melihat ada gerai bertulisakan “PASOEPATI” di luar stadion, yang menjual kaos dan jersey bola khususnya klub Persis Solo. Sudah menjadi “ritual” tersendiri bagi gue untuk membeli jersey klub lokal tiap daerah yang gue sambangi. Sebelum ini, gue pernah membeli jersey di stadion-stadion daerah setempat. Sebut saja, Persik Kediri, Sriwijaya Paembang, PSBL Blitar, dan kali ini adalah Persis Solo.

Setelah membali jersey Persis warna hitam dan kaos PASOEPATI (sebutan untuk suporter Persis), gue pun segera cari sarapan. Dan pilihan pun tertuju pada nasi liwet. Again, this is not kind of food I love to eat, actually. Karena ini samadengan kebanyakan masakan khas Jawa lainnya, yang memilki rasa manis. But it’s fine, mumpung gue sedang ada di Solo, tidak ada salahnya gue mencoba panganan khas kota ini.

Selesai sarapan, gue pun tidak membuang waktu dan segera masuk ke dalam arena stadion. Sayang, gue tidak bisa masuk ke dalam tribun dan lapangannya, karena seperti lapangan/stadion besar pada umumnya, ini hanya dibuka saat ada pertandingan saja. Toh, itu bukan masalah besar, gue tetap bisa mengabadikan sedikit kondisi lapangan dan tribun dari celah pagar. Indah! Tidak terlalu sentimentil, tetapi perasaan bahagia tetap muncul ketika akhirnya gue berhasil mendatangi stadion yang sarat makna tersendiri bagi gue. So, “ibadah” gue ke Solo sudah afdhol dan MABRUR!

Setelah puas mengambil foto di banyak spot stadion Manahan, gue pun beranjak ke destinasi berikutnya: Taman Balekambang. Dari stadion Manahan, gue berjalan kaki karena jaraknya tidakterlalu jauh. Oh iya, di Solo ini gue lebih sering jalan kaki ke mana-mana. Iya, karena emang gue ngirit! Hahahaha… Lagipula, Solo itu enak dan nyaman diakrenakan area pedestriannya cukup luas dan lebar, tidak seperti di jakarta yang selain sudah sempit semakin dipersempit lagi dengan adanya lahan parkir liar ataupn lapak pedagang kaki lima. So, thumbs up buat pemerintah kota Solo, siapapun itu, yang sudah memanjakan diri gue yang memang berjalan kaki ke mana-mana.

Akhirnya, gue sampai di Taman Balekambang. Satu kata untuk tempat ini: Teduh! Ini seperti Kebun Raya Bogor versi super mininya. Pepohonan rindang, terdapat beberapa rusa dan hewan unggas yang dibiarkan berkeliaran bebas sedikit membuat tubuh ini adem di tengah teriknya matahari kota Solo. Saat gue di sana, pengunjung tidaklah terlalu ramai (Apa jangan-jangan memang tidak pernah ramai?), karena mungkin mal Paragon lebih menarik bagi banyak orang untuk dikunjungi.

Whatever it is, yang penting gue jadi bisa menikmati ketenangan taman. Setelah memotret banyak objek, gue pun langsung masuk ke Taman Reptil, yang tak jauh dari empang Taman Balekambang. Dengan cukup membayar Rp 5000 saja, gue bisa bebas memotret binatang-binatang reptil di sana. Ngeri sekali! Karena gue melihat ada satu iguana dan satu ular yang sama sekali dilepas bebas, tidak dikandangkan. Untung saja ular python raksasanya tidak ikut “dibebaskan” oleh pawang setempat. Gue benar-benar tidak nyaman dan takut, hehehe…

Gue bahkan harus menahan gengsi melihat seorang Ibu dan balitanya yang dari tadi “anteng” saja duduk di tengah apitan iguana dan ular. Akhirnya, gue tidak tahan lagi berlama-lama di tempat ini. Cukup 10 menit, setelahnya gue langsung keluar dari Taman Reptil dan Taman Balekambang.

Setelah dari sini, gue dengan menaiki becak, beranjak ke Benteng Vastenburg yang berada di daerah Gladak. Kecewa gue! Karena rupanya benteng ini bukanlah lagi tempat wisata, melainkan hanya digunakan sebagai tempat event maupun konser. Jadi, gue tidak bisa masuk dan memotret di dalamnya. Gue hanya bisa memotret kemegahan pintu gerbangnya saja.

Perjalanan pun dilanjutkan ke Keraton Kasunanan. Untuk menuju ke sana gue sempat melewati alun-alun Selatan dan Pasar Klewer yang tersohor itu. Alun-alunnya tidak menarik karena penuh dengan kendaraan yang terparkir. Sedangkan Pasar Klewer ini hanya bersifat sementara (bukan yang asli), yang aslinya tengah direnovasi ulang setelah sempat terbakar hebat beberapa Desember 2014 lalu.

Untuk masuk kedalam Keraton Surakarta (Kasunanan) gue hanya merogoh kocek Rp 13.000; Rp 10.000 untuk tiket masuk, Rp 3000 biaya untuk penggunaan kamera. Di dalam, gue melihat banyak barang peninggalan sejarah Kerajaan Solo di masa lampau. Gue juga bisa melihat info tentang silsilah atau garis keturunan keluarga kerajaan. Di keratonnya, kita bisa menjumpai banyak abdi dalem. Beberapa spot pun disterilkan, di mana para pengunjung tidak bisa bebas masuk ke dalam keratonnya. Satu hal yang disayangkan adalah pada museum keratonnya –seperti kebanyakan museum di Indonesia lainnya— isinya tidak terawat dan kotor berdebu. Ruangannya pengap, membuat gue tidak betah berlama-lama di dalamnya. Padahal, banyak info menarik di tiap-tiap barang peninggalan sejarahnya, seperti senjata, kereta pikul, perkakas rumah, dll.

Ada satu hal yang mengeglitik gue perihal Keraton Kasunanan ini. Tidak seperti keraton lain pada umumnya, di keraton ini terdapat lumayan banyak patung bernuansa yunan, di beberapa sudut. Cukup kontras, bukan?

Keluar dari keraton, gue sempat menyicipi es dawet. Di teriknya cuaca kota Solo, es dawet ini terasa bak Audrey Tautou di film “The Da Vinci Code” … menyegarkan!

Karena waktu sudah menunjukkan pukul 13.30, gue pun langsung pergi ke Masjid Ageng Surakarta. Indah sekali masjid ini, apalagi jika tidak ada banyak orang yang bergelimpangan di bagian terasnya. Sekelar shalat, gue pun duduk “menyender ngaso” di salah satu tiang penyangga dalam masjid, beberapa menit. Ingin rasanya tidur jika gue tidak ingat kalau gue belum makan siang. Pantas, kepala gue sedikit pusing. Ini pasti karena perut gue sudah gusar minta diisi.

Tak sampai dua hari, gue sudah “mengkhianati” kota Solo. Gue tidak tahan makan tanpa sedikit pun rasa pedas. Akhirnya, (lagi-lagi) pilihan kembali tertuju pada MASAKAN PADANG> Yup, ada satu rumah makan Padang “Mentari Pagi” yang terletak tidak jauhdari Bank Indonesia (Solo). Nasi, ayam goreng, tempe goreng, telor balado, dan siraman kuah gulai plus bumbu rendang gue habiskan tidak sampai 15 menit. Kenyangeee puuuoooll! Perut ini semakin jemawa seraya mengatakan, “I’m so sorry, Solo!”

Cuaca kemudian sedikit mendung, namun gue harus ke ATM terlebih dahulu sebelum pulang ke hotel. Tetapi, gue masih belum ingin pulang. Dalam perjalanan pulang, gue menemukan sebuah kafe. The nice one. So, gue ke sana untuk menikmati segelas guava juice dan secangkir kopi susu sembari menulis blog ini.

Setelah kurang lebih satu jam setengah di kafe tersebut, gue pun langsung menuju hotel. Badan gue sudah bau dan lengket karena bermandikan keringat. Setelah selesai mandi, gue pun bersantai sejenak sambil menunggu malam tiba. Ya, di jalan Pangeran Diponegoro, dekat dengan hotel gue menginap, akan ada “Night Market” atau pasar malam yang memang hanya digelar pada malam minggu. Gue akan ke sana untuk berburu makanan untuk makan malam.


SOLO RUN DAY 1

SOLO, Jumat, 15 Januari 2015

-DAY 1-

“CHAOS” DI KERETA EKONOMI

Ingin melihat kehancuran tata krama dan sopan santun? Lo bisa dengan mudah menemukan pemandangan itu di kereta ekonomi jalur Jawa. Pada Kamis siang, sehari sebelumnya Jakarta dikejutkan oleh ancaman bom dan penembakan di daerah Thamrin (Sarinah). Lewat pemberitaan media massa maupun media sosial, serta tekanan dari video amatir para netizen gue bisa melihat “chaos” besar terjadi di sana. Baku tembak terjadi antara teroris dengan polisi. Masyarakat sipil pun ketakutan terutama bagi mereka yang memang tengah mencari nafkah di sekitaran daerah Thamrin. Jakarta mencekam!

Himbauan orangtua serta keluarga nyaris membatalkan rencana traveling gue ke Solo. Tidak aman kondisi saat ini, begitu kata mereka. Namun, keteguhan hati serta kekeraskepalaan gue memaksa diri untuk tetap berangkat ke Solo.

Tiba di stasiun Pasar Senen, situasi normal tidak seperti prediksi gue yang mengira akan banyak sejumlah penjagaan dan pemeriksaaan ketat. Namun demikian, tetap saja stasiun dipenuhi oleh banyak penumpang. Aneh, padahal ini bisa dikatakan tengah minggu bukannya akhir pekan.

Sesampainya gue di dalam gerbong kereta, situasi jadi menyebalkan ketika kursi yang sudah gue pesan (pinggir jendela) sudah diambil olehseorang mbak2 (sebut saja mbak Lastri) yang tengah bersama sang suami. Kursi sempat dengan sopan gue minta, sebelum akhirnya si mbak bersabda, “Udahlah, mas nya di kursi pinggir saja. Saya tetap di sini, ya!”

Dasar orang Indonesia! Mudah sekali diajak kompromi, terlebih hak gue yang tengah dirampas oleh mbak Lastri ini. Ya, gue tidak bisa protes lebih jauh. Gue pasrahkan kursi gue untuknya.

Selayaknya kereta ekonomi pada umumnya, kondisi di dalam begitu “kacau”. Aroma kurang sedap juga menyebar seantero gerbang. Tas keril gue pun nyaris tidak mendapatkan tempat pada awalnya. Berkali-kali gue menaiki kereta ekonomi, rasanya baru kali ini gue merasa tersiksa luar biasa.

Tingkah polah beberapa penumpang yang sembarangan membuat gue naik darah. Seolah mereka tidak pernah dididik tata krama dan sopan santun di sepanjang hayatnya. Jadi begini. Semua penumpang, termasuk gue, merasakan betapa pegal kedua kaki karena harus beradu kaki dengan kaki orang lain. Jadi, amat wajar jika kami ingin meluruskan kaki jika ada kesempatan. Tetapi, ini bukan berarti lo bisa bebas meluruskan kaki ke atas jendela, ketika tepat di hadapan lo terdapat seorang yang jauh lebih tua dari lo. Dan sebaliknya, para orang tua juga tidak bisa seenaknya meluruskan kaki mereka di… kursi tempat gue duduk! Sumpah, hal ini terjadi pada gue. Setelah dari toilet, gue mendapati seorang Ibu paruh baya (sebut saja bu Suti) yang duduk di depan gue, sudah meletakkan kakinya (selonjoran) di kursi gue dan tertidur pulas!

Gue mencoba membangunkannya dengan lembut, hati-hati, sopan hingga gue sampai menggoyangkan kakinya. Tetap tidak mempan, ia tetap tertidur! Gue sempat berpikir kalau bu Suti memang tengah berpura-pura tidur dan sengaja tidak memedulikan protes gue. Wallahu Alam, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang pasti gue hanya bisa membatin seraya mengucapkan aneka sumpah serapah. Ya, Ibu itu sukses memaksa gue untuk menambah pundi-pundi dosa!

Akhirnya, saya memaksakan diri untuk tetap duduk di sebelah dua kaki bu Suti berada. Hari kian larut sehingga mata pun mengantuk. Tetapi, tidak cukup sampai di situ rupanya. Kini giliran mbak Lastri yang seolah tidak mau kalah ingin “menyiksa” dan membuat gue jengkel.

Tak lama setelah bu Suti menurunkan kedua kakinya, mbak Lastri dengan cepat menaikkan kedua kakinya (selonjoran) di atas paha sang suami. FYI, kursi kereta tidaklah terlalu panjang, jadi otomatis kedua kaki mbak Lastri tadi (lagi-lagi) “menjajah” lahan duduk gue!

Gue yang tadinya ngantuk berat jadi tidak bernafsu lagi untuk tidur. Gue hanya bisa berharap, kereta bisa melaju lebih cepat sehngga gue bisa turun di stasiun SOLOJEBRES tepat waktu (dijadwalkan 10 jam perjalanan dari Jakarta). Muak gue terus-terusan berada di dalam kereta itu!













SOLO, Jumat, 15 Januari 2015

-DAY 1- (Lanjutan)

ASYIKNYA BER-SOLO TRAVELING!

Ternyata begini toh rasanya traveling sendirian. Gue bukanlah traveler sejati seperti kebanyakan orang. Gue cuma pelancong biasa yang berniat merasakan langsung keindahan dan kearifan lokal setiap daerah yang gue kunjungi. Jika selama ini gue traveling selalu dengan teman, sahabat maupun pacar, maka pada kunjungan ke Solo gue jalan sendiri.

Ada beberapa alasan mengapa gue ke Solo sendiri. Pertama, tidak ada teman atau sahabat yang bisa ambil cuti untuk ikut gue ke Solo. Gue juga baru saja putus dengan pacar gue beberapa minggu lalu (gue ke Solo bukan buat pelarian dari masalah cinta ya, melainkan hanya ingin menyegarkan tubuh dan otak untuk mendapatkan peace of mind).

So, gue tidak mau hanya karena alasan-alasan tersebut gue urungkan niat ke Solo. Well, kenapa harus Solo? Jika dipaparkan maka akan panjang. Yang pasti perjalanan gue ke Solo ada kaitannya denganmantan terdahulu gue. Ah, lo bahas mantan terus, Ren, udah kayak blog-blog labil sebelah aja. Hehehe… Tapi serius, bisa dikatakan Solo merupakan destinasi impian gue yang sudah lama. Karena untuk kota besar di pulau Jawa, cuma Solo saja yang belum gue datangi. Bandung, Cirebon, Sukabumi, Semarang, Yogyakarta, Blitar, Kediri, Malang dan Surabaya alhamdulillah sudah pernah gue sambangi sebelumnya. Lucunya, dulu beberapa tahun lalu sempat pas gue traveling dari Kediri ke Jogja, bis sempat transit dulu di terminal Solo beberapa menit. Saking ingin merasakan kota Solo, gue sampai harus turun dari bis dan menginjakkan kaki ke tanah. “Meskipun belum jalan-jalan ke Solo, setidaknya gue pernah merasakan tanah kota Solo,” begitu pikir gue saat itu.

Kembali ke satu hal yang gue singgung di awal. Baru kali ini gue merasakan traveling sendiri alias solo traveling. Bukan kebetulan pula jika gue melakoni solo traveling di kota Solo itu sendiri. Untuk bisa ke sini, gue tidak sepenuhnya “nekat”, sebab sebelumnya gue sudah menghubungi salah seorang teman yang asli Solo, yang kini bekerja di Jakarta, uuntuk meminta rekomendasi tempat wisata dan kuliner yang harus “ditaklukkan”.

Traveling sendiri ternyata benar-benar menawarkan sensasi yang jauh berbeda. Ketika traveling dengan teman, maka lo akan memiliki banyak kesempatan untuk berdiskusi atau berunding. Hal ini positif sekaligus negatif. Positifnya, lo punya seseorang atau lebih yang bisa diajak mengobrol agar tidak “mati gaya”. Negatifnya, pergerakan loe akan cenderung terbatas.

Sedangkan traveling sendiri, asyiknya lo bisa bebas melakukan apa saja sekehendak lo tanpa ada aturan dari orang lain. Lo akan menjadi lebih dinamis dan mobile. Pahitnya, lo tidak memiliki seseorang yang bisa diajak tukar pikiran selama melakukan perjalanan. But again, it’s like a blessing in disguise. Lo bisa “menyiasati” ini dengan berbaur dengan banyak orang asing di luar sana.

Yup, dari satu hari perjalanan ini saja, gue sudah bisa mengobrol panjang dengan dua abang becak, plus dua resepsionis hote. FYI, resepsions hotel tempat gue menginap itu cantik-cantik, lho! Hotelnya apa? You’d better find out yourself, ya. Hehehe…

Di dalam kunjungan gue ke Keraton Mangkunegaran pun gue berkenalan dengan dua pemuda asyik. Yang satu berdomisili di Solo dan pernah lama bekerja di Jakarta. Zazid, namanya. Bahkan Zazid pun bercerita bahwa ia pernah ngekost di daerah Tebet, dekat rumah gue. Sedangkan satunya lagi bernama Ale. Sudah tiga hari belakangan kedua sahabat yang saling kenal semasa kuliah di Universitas Indonesia ini, mlaku-mlaku di kota Solo. Dari mereka pun gue mendapatkan tambahan rekomendasi tempat wisata dan kuliner leat di sini. Jelang berpencar, kami pun bertuka nomor handphone. Oh iya, selama mengobrol kami sembari menikmati segelas beras kencur di sekitar pelataran keraton. Gue pun minum dengan gratis karena Ale yang pada pagi itu hendak balik ke Jakarta mentraktir semua minuman kami. Anak gratisan banget, ya! Hehehe…


Saat sedang menulis blog ini, gue tengah berada di Café Tiga Tjeret untuk makan malam sekaligus mengemil pisang goreng dan menyeruput secangkir wedang jahe cokleat panas. Dua item yang gue sebut terakhir luar biasa nikmat terasa di lidah. Café Tiga Tjeret merupakan sebuah tempat makan dengan dekorasi dan konsep yang apik, berada tepat di seberang Keraton Mangkunegaran. Gue duduk di meja kursi nomor 9, obviously sendiri, hanya bertemankan kertas binder, kamera SLR dan tas day-pack, melihat sekeliling di mana orang-orang tengah bercengkerama dengan keluarga, teman maupun pacar. Sungguh, merupakan pemandangan indah yang dengan mudahnya menyentil diri ini yang kadang melupakan sebuah fakta. Ya, fakta bahwa manusia harus selalu bersosialisasi. Sebab dengan bersosialisasi, maka seseorang akan bersilaturahimi. Selanjutnya, dengan silaturahmi seseorang bisa mendapatkan rezeki dalam bentuk apapun. Setuju?