SOLO, Minggu, 17 Januari 2015
-DAY
3-
LAST
DAY… GONNA MISS THIS PLACE!
Hari
ketiga adalah kesempatan terakhir gue untuk mengeksplorasi kota Solo dan
sekitar. Karena keesokan siangnya gue akan kembali pulang ke Jakarta. So, ke mana gue hari ini? Rencananya gue
akan mengunjungi tiga tempat, yakni Candi Ceto, Candi Sukuh dan Air Terjun
Jumog. Ketiga tempat ini berada di daerah Karanganyar, yang membutuhkan waktu
beberapa jam dari kota Solo.
Sehari
sebelumnya gue sudah menelpon pihak hotel untuk menyewa mobil beserta sopirnya.
Ya, di liburan kali ini gue ingin lebih sedikit bersantai. Tinggal duduk manis
di kursi samping, mendengarkan musik, melihat pemandangan, serta mengabadikan
banyak momen dengan kamera gue tanpa perlu menyetir mobil. Hehehe sekali-kali
“bermewah-mewahan” nggak apa-apa dong?
Jam
9 pagi gue meluncur ke destinasi
pertama; Candi Ceto. Di sepanjang perjalanan yang gue lihat adalah tampilan
khas kota kecil, di mana rumah jarang terlihat rapat-rapat, yang terlihat
adalah hamparan sawah terbentang luas nan indah. Gue buka kaca jendela mobil
sedikit untuk mengabadikan momen tersebut. Tape mobil gue setel playlist dari
iPhone gue. Lagu Ello-Masih Ada mengiringi
perjalanan gue. Awalnya gue tidak suka lagu ini. Namun, setelah melihat video clip beserta makna isi lagu
tersebut, gue merasa ada kedekatan kondisi dengan yang gue alami sekarang; Traveling sendirian setelah patah hati
karena putus cinta.
Kemudian
lagi-lagi lagu Adhitya Sofyan-Forget
Jakarta mengalun dari playlist yang gue mainkan secara acak. Ya, saat itu
gue benar-benar melupakan Jakarta dengan ragam problematikanya. Entah masalah
sosial - di mana dua hari sebelumnya terjadi ledakan bom di kawasan Sarinah- ,
rutinitas pekerjaan dan aktivitas sehari-hari gue, serta masalah kehidupan
percintaan gue yang sedang kurang mulus jalannya.
Setelah
kurang lebih dua jam, akhirnya sampai juga gue di Candi Ceto. Benar-benar tipe
destinasi favorit gue. Berada di dataran tinggi sehingga kondisinya sejuk dan
dingin. Lokasinya berada di lereng Gunung Lawu yang ditengarai dibangun pada
masa-masa akhir era Majapahit. Kompleks candi ini digunakan oleh masyarakat
lokal setempat maupun peziarah beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Selain
itu, Candi Ceto juga dijadikan tempat pertapaan bagi para penganut kepercayaan
asli Jawa, Kejawen.
Cukup
ramai pengunjung saat itu. Seperti gue, mereka juga terlihat antusias berada di
Candi Ceto. Gue pun banyak memotret
momen maupun bangunan candi-candi yang ada. Setelah cukup puas mengambil
gambar, gue pun segera beranjak untuk menuju tempat berikutnya yakni Candi
Sukuh, yang pula dikenal dengan sebutan Candi porno. Mengapa? Let’s see…
Jarak
dari Candi Ceto menuju Candi Sukuh tidak terlalu jauh. Ada yang lucu di
sepanjang perjalanan gue menuju Candi Sukuh. Boleh percaya atau tidak, gue
sempat melihat di pinggir jalan terdapat sebuah kios penjual Mie Ayam dengan
label “Mie Ayam Bakso REAL MADRID”. Belum selesai, beberapa meter setelahnya
terdapat (lagi) penjual MieAyam, namun kali ini dengan label “Mie Ayam Bakso
BARCELONA”. Wow!
Sudah
hampir dipastikan kedua penjual Mie Ayam Bakso ini merupakan kompetitor yang
menyajikan rivalitas sengit. Selayaknya duel Cristiano Ronaldo versus Lionel
Messi.
Setibanya
di Candi Sukuh, gue menyempatkan diri untuk solat dzuhur dulu di sebuah masjid
kecil. Setelah itu, tanpa buang waktu gue langsung masuk ke dalam kompleks
Candi Sukuh. Sama seperti Candi Ceto, terletak di desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, candi ini digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk agama Hindu. Oh iya, mengapa candi ini juga disebut
sebagai Candi porno? Sebab, banyak bangunan candinya yang kontroversial, dalam
artian memiliki gambaran alat-alat kelamin manusia secara jelas pada beberapa
figurnya.
Tidak
begitu lama buat gue mengeksplorasi candi ini karena kompleksnya tidak terlalu
luas. Selanjutnya, gue menuju Air Terjun Jumog!
Cukup
beberapa menit hingga gue sampai di tujuan. Memasuki kawasan Air Terjun, gue
dihadapkan dengan bentangan spanduk bertuliskan “ANDA AKAN MENURUNI 116 ANAK
TANGGA”. Wah, kok tulisannya bernada
meremehkan kapasitas napas gue, ujar gue dalam hati. Well, jangankan menuruni 116 anak tangga, menanjak 3000an mdpl aja
gue jabanin! Hehehe sombong ya.
Sebutan
“Surga yang Hilang” memang pantas disematkan pada Air Terjun Jumog ini. Memiliki
ketinggian kurang lebih 30 meter, air terjun ini menawarkan pemandangan yang
amat indah, segar dan kehijauan. Sangat elok dipandang. Yang membuatnya menjadi
tidak enak buat gue sih karena banyak
pemandangan muda-mudi, pasangan muda-tua yang asyik berfoto dengan latar
belakang air terjun. Ngiri banget gue!
Ahahahah…
Forget it! Gue pun
benar-benar terlena dengan pemandangan di depan mata. Kamera gue tak
henti-hentinya jepret sana-sini. Satu
hal yang sulit bagi gue adalah berfoto selfie.
Ya, karena gue sendiri. Jadi, solusinya ya gue harus SKSD minta tolong kepada
orang-orang di sekitar untuk bisa mengabadikan foto gue bersama Air Terjun
Jumog yang indah ini. Dari sini, gue belajar berani untuk menanggalkan
kejelekan orang Indonesia pada umumnya, yaitu gengsi.
Kemudian,
tiba-tiba di salah satu sudut terdengar sayup-sayup suara musik dangdut. Benar
saja, ternyata ada panggung musik dangdut di sana. Gue langsung menghampiri dan
gue tidak akan pernah menyesali pelancongan gue kali ini. Kenapa? Karena gue
akhirnya bisa melihat langsung dengan mata kepala gue sendiri komunitas goyang
dangdug koplo yang kesohor itu. Sekumpulan anak muda yang memiliki hobi sama
yakni joget dangdut, serta memiliki koreografi unik yang dilakukan secara
kompak bersama-sama. Untuk lebih jelasnya, lo bisa lihat di Instagram gue: https://www.instagram.com/p/BAo0RIqgpv-Qr96VILiO_OYERX3MTeH9S_PPBQ0/?taken-by=randyislamy
Melihat
itu, hasrat gue pun terpancing untuk bergabung. Ya, gue menyatu dengan mereka,
menyatu dengan “kearifan lokal” itu. Gue ikut berjoget and I really enjoyed it!
https://www.instagram.com/p/BAozfURApufbFyEQqxxmtjVlvOnuP5gjqwHfMQ0/?taken-by=randyislamy
Seketika
itu, gue sendiri namun tidak merasa sendiri. Ada kebahagiaan membuncah yang
bertahan cukup lama di hati ini. Pengalaman ini kelak akan menjadi cerita
menarik untuk diceritakan kembali dengan orang-orang terdekat.
Hari
sudah mulai sore, hujan pun perlahan muncul. Gue memutuskan kembali ke hotel
dengan sebelumnya menyempatkan diri untuk makan di sebuah restoran. Sesampainya
di hotel, gue langsung mandi dan istirahat. FYI,
hotel gue kali ini berbeda dari hotel sebelumnya. Gue sengaja berganti
hotel karena lokasinya dekat dengan stasiun Purwosari.
TIME
IS UP! WAKTUNYA PULANG..
Keesokannya,
setelah solat dzuhur, gue menuju stasiun Purwosari berjalan kaki. Padahal
setelah dirasakan, jaraknya ternyata lumayan jauh. Informasi yang gue dapatkan
ketika bertanya kepada orang-orang, mereka menjawabnya jaraknya cukup dekat.
Mungkin maksud mereka jaraknya dekat jika gue naik becak atau taksi, bukannya
jalan kaki.
Tetapi
tidak apa lah! Gue menikmati kok suasana
kota Solo saat itu dengan berjalan kaki; Lengang, damai dan tidak banyak
menuntut. Tidak peduli cuaca siang hari itu sangat terik membakar kulit. Toh,
waktu keberangkatan kereta masih cukup lama.
Setelah
membeli minuman mineral, gue pun menunggu di kursi peron stasiun. Pikiran gue
mengawang ke perjalanan tiga hari gue selama di Solo. Sebelumnya, gue traveling tidakpernah sendiri. Traveling
ke Jogja, Semarang, Kediri, naik gunung Papandayan, gunung Rakutak selalu bareng
teman beramai-ramai (pernah juga bareng pacar sendiri). Bahkan untuk ke gunung
Prau gue cuma berdua saja dengan teman gue, yang bernama Acil.
Tapi
kali ini, ke Solo, gue benar-benar sendiri. Yup,
gue melakukan solo traveling-solo
backpacker di kota Solo. Seperti sebuah kebetulan, ya? Namun, jika
ditelusuri lebih jauh, sebenarnya niat untuk traveling sendiri sudah tersimpan cukup lama. Meskipun dulu gue
tidak tahu bahwa kota Solo yang menjadi destinasinya. But again, kota Solo memang memiliki arti tersendiri buat gue. Jadi,
bisa mengunjungi kota ini traveling sendirian
sih sudah menjadi salah satu goals dalam
hidup gue. It might sounds lebay, but it’s actually true. Cuma gue yang
bisa merasakan ini.
Di
dunia sepakbola, terdapat istilah solo
run di mana terdapat satu pemain yang berlari menggiring bola dari jarak
yang cukup jauh. Ia berhasil melewati berbagai hadangan pemain lawan hingga
akhirnya berduel satu lawan satu dengan kiper lawan. Solo run ini akan lebih indah jikalau sang pemain mampu mencetak
gol pada akhirnya.
Lalu,
bagaimana dengan perjalanan Solo Run
Traveling gue kali ini? Let me tell
you… It was perfectly awesome!
Gonna miss
this place so much…