/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Sabtu, 08 April 2017

BANDARA SIANG ITU



SATRIA UMAR

            Hendak pergi ke Yogyakarta dengan alasan yang ia tidak ketahui dengan pasti. Sulit baginya untuk bisa mencintai seorang wanita. Maka tak heran, sekalinya ia menjalin cinta, lalu kemudian berakhir dengan kegagalan, ada rasa sesak yang terasa amat menyiksa di hatinya. Dan sesak itu mengendap lama mengisi hari-harinya. Satria merasa bahwa Yogyakarta, kota favoritnya, mungkin bisa menjadi wadah baginya “bermeditasi” untuk mendamaikan batin yang tengah berkecamuk.


AYU KIRANA

            Memergoki kekasih yang ia cintai sedang berselingkuh dengan wanita lain. Apa salahku selama ini sehingga ia tega melakukan itu kepada ku? Begitu Kira membatin. Kemalangan itukah yang akhirnya membuat Kira memutuskan pergi sejenak ke Malang? Tidak juga. Ia hanya membutuhkan kota sejuk yang ia harap bisa memberikan kesejukan instan di hati dan pikirannya. Malang Kira rasa merupakan destinasi yang tepat untuk itu.




- BANDARA, pukul 10.00 WIB -

Satria sudah duduk di kursi tunggu, di salah satu sudut bandara. Sengaja ia duduk di paling pinggir untuk men-charge laptop lawas miliknya. Ia tengah asyik menulis cerita pendeknya sembari ditemani playlist musik John Mayer. Satria berniat menyelesaikan ini sebelum ia berangkat ke Yogyakarta, jadwal keberangkatan 13.00 WIB. Tidak apa baginya jika harus menunggu lama dan berangkat lebih dini dari rumah menuju bandara. Lebih baik memiliki spare waktu yang luas, ketimbang harus terburu-buru dengan datang ke bandara saat last minute. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi Satria.

Selang beberapa menit, Kira duduk di kursi tunggu tepat di sebelah Satria. Sengaja Kira duduk di sana karena posisinya memudahkan ia untuk melihat papan jadwal keberangkatan pesawat sebagai reminder. Kira suka terlampau asyik dengan dunianya sendiri ketika sedang membaca Sherlock Holmes plus mendengarkan playlist The Beatles dari ponselnya. Ia tidak boleh alpa dengan jadwal keberangkatannya ke Malang yakni pukul 12.55 WIB.
Dasar makhluk metropolitan! Ke mana perginya interaksi sosial yang seharusnya berlangsung jika saja mereka berdua tidak disibukkan dengan gadget nya? Ditambah gaya hidup individualistis membuat Satria dan Kira lebih memilih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, sehingga mereka sempat melupakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Sepuluh menit pertama kedua insan ini hanya fokus dengan aktivitasnya masing-masing, hingga akhirnya Satria menyadari sesuatu. Ia mendengar sayup-sayup lagu yang ia kenal bersumber dari earphone wanita di sebelahnya.



- HERE THERE AND EVERYWHERE & SHERLOCK-

“Hei, kamu nggak salah nih dengerin here there and everywhere?” tanya Satria setelah ia menutup layar laptopnya. Tersadar bahwa ia sedang diajak berbicara dengan pria di sebelahnya, Kira mendelik sebentar, kemudian melepaskan earphone dari telinganya. “Sorry, kamu barusan nanya apa?”

“Iya, nggak salah nih kamu lagi baca Sherlock Holmes tapi backsound nya malah lagu The Beatles yang so sweet banget, here there and everywhere?” tanya Satria sembari tersenyum. “Kok kayak sedikit kontradiktif ya? Mungkin aku bisa suggest ke kamu buat puterin lagu Revolution biar keseruan kasus yang dihadapi Sherlock Holmes nya jadi lebih berasa, hehehe.”

“Hehehe, ya mungkin karena lagi fokus sama kasusnya dan ini lagi seru-serunya, jadi nggak kepikiran ganti lagu. Lagian, playlist The Beatles nya emang aku puter secara acak, sih,” tukas Kira dengan senyum manis khasnya. Senyum lepas pertama semenjak ada pria yang tidak tahu diri dan tidak tahu di untung mematahkan hatinya.

Terus terang, Kira kaget dan tidak menyangka pria di sebelahnya itu bukan hanya menyapa, tapi juga memerhatikan musik yang sedang ia dengar dan buku yang tengah ia baca. “Kamu suka The Beatles juga?”

“Emang ada orang yang nggak suka The Beatles? hehehe” Satria balik bertanya.

“Iya sih, hampir semua orang pasti suka The Beatles,” kata Kira. “Cuma ada orang yang suka gitu-gitu aja, dalam artian suka lagu tertentu yang hits aja, di samping itu ada orang yang benar-benar suka sampai mendalami musik-musik The Beatles, bahkan sampai lagu yang tidak terkenalnya. Nah, kamu tergolong orang yang mana?”

“Hhhmm aku kayaknya golongan yang pertama deh.”

Keduanya diam sejenak.

“Kamu udah lama suka Sherlock Holmes?” giliran Satria yang bertanya.

“Seingat aku, aku baru baca Sherlock Holmes sejak SMP. Bagi aku Sherlock yang sesungguhnya itu adalah yang versi buku. Makanya, aku males banget pas tau Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch meranin Sherlock versi live action,” kata Kira. “Bayangan aku tentang sosok Sherlock yang jangkung kurus seketika buyar, hehehe.”

Dalam hati, Satria takjub dengan pilihan buku wanita itu. Ia tak menyangka bahwa wanita manis di sebelahnya memiliki selera yang lain daripada yang lain dalam memilih sebuah bacaan.



- COLDPLAY VS THE CURE VS LED ZEPPELIN -

Suasana bandara siang itu cukup ramai. Pengumuman boarding seolah bersahut-sahutan tiada henti, mengiringi langkah kaki-kaki para pelancong. Hingga kemudian dari ruang pengambilan bagasi, keluar sepasang muda-mudi –entah sudah menikah atau belum- menggiring koper kompak mengenakan kaos bertuliskan “Coldplay LIVE in Bangkok”. Ya, band asal Inggris ini memang baru saja menghelat tur di Asia Tenggara bertajuk “A Head Full of Dreams”. Band yang dikomando oleh Chris Martin ini menyambangi Thailand dan Singapura. Kenapa Indonesia tidak, ya? Hanya Coldplay, manajemen Coldplay dan Tuhan yang tahu.

“Ah, Coldplay! Kok bisa-bisanya ya mereka tergila-gila sama band satu ini. Bahkan ada temen aku, yang kebetulan nonton konsernya di Singapura, posting foto Coldplay di FB dengan caption ‘The Greatest Band on Earth’?” kata Satria memecah kesunyian.

Seolah mendapat pesan telepati dari pria di sebelahnya, Kira sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini, merujuk pada pasangan muda-mudi yang melongos di depan keduanya. “Ya bener, aku juga heran. Basically, aku penggemar musik british. Dari The Beatles, Radiohead, Blur sampai The Cure aku suka. Coldplay sebenernya aku suka juga, sih. Tapi hanya pas jamannya mereka ciptain masterpiece kayak Shiver, Speed of Sound, Clocks, Yellow, The Scientist atau Fix you.

“Di situ mereka bener-bener bermain musik. Aku garis bawahin ya ‘bermain musik’ nya. Beda banget sama musik mereka jaman sekarang. Ya, terhitung dimulai dari Viva la vida, deh,” ujar Kira semangat. “Dari sana Coldplay udah berubah musiknya jadi remix ajep-ajep yang suitable buat musik disko, hehehehe. Terlalu banyak minus one nya!”
           
            “Yoi, namanya berubah dari Coldplay jadi DJ Chris Martin and Friends. Karena yang menonjol cuma Chris Martin nya aja, tiga temennya cuma jadi pelengkap, hahahaha,” kata Satria. Dalam hati ia tidak menyangka, bahwa wanita di sebelahnya itu memiliki pemahaman musik yang baik dan bahkan sepemikiran dengannya.

“Kalau kamu, suka musik British?” tanya Kira.

“Iya, aku suka The Cure. Tapi kecenderungan aku agak beda sedikit nih dari kamu. Kalau kamu sukanya britpop, nah kalau aku lebih condong ke british rock lawas, kayak Led Zeppelin, Deep Purple, Cream, Eric Clapton,” kata Satria lugas. “Di luar Inggris, aku juga suka Mr Big, Dream Theater, ACDC, Toto. Yah, intinya aku suka yang berbau rock dan klasik, alias lawas, pokoknya hehehe. Hhmm, aku suka kasian sih sama anak-anak muda jaman sekarang yang begitu mudah mendewakan Coldplay atau band kekinian sejenis lainnya.”

“Ahahaha, lho kok gitu?” Kira ingin tahu alasannya.

“Iya, kebanyakan dari mereka pasti nggak pernah denger Stairway to Heaven, Black Night, Sunshine of Your Love, Jailbreak, Collorado Bulldog, atau Surrounded. Ya jadi nggak heran dengan kualitas musik jaman sekarang yang, sorry to say, nggak begitu bagus, mereka dengan mudahnya mengelu-elukan band macam Coldplay. Sampai nyebut band terhebat di muka bumi segala, lah, hahaha. Tapi ya, yang namanya selera masing-masing juga, sih.”

Kira hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya, tanda setuju dengan ucapan pria di sebelahnya itu. Baik menurut Satria maupun Kira sepakat bahwa musik lawas adalah yang terbaik. Classic is always class. Old is gold. Bahasan tentang musik terus menjadi pembicaraan keduanya.



- RELATIONSHIP GOALS AND BROKEN HEARTED -

Mereka dengan mudahnya akrab seolah keduanya merupakan kawan lama. Jam menunjukkan pukul 11.45 WIB. Sudah cukup lama mereka asyik mengobrol, tapi tak satupun dari keduanya sadar bahwa mereka sama sekali belum berkenalan. Mereka belum tahu siapa nama lawan bicaranya itu.

Sejumput kemudian, ada sepasang suami istri yang sudah tua, yang laki-laki sekitar 70 akhir dan yang perempuan sekitar menjelang 60 akhir, duduk kursi di seberang Satria dan Kira. Gerakan kedua pasangan kakek-nenek itu sudah melambat, kulit wajah mereka sudah keriput dengan banyaknya garis di kening. Keduanya juga kompak mengenakan sweater hangat untuk melawan dinginnya AC di dalam ruang tunggu bandara. Namun, yang membuatnya terlihat istimewa adalah keduanya amat mesra. Sang nenek memegang erat tangan kanan sang kakek, sedangkan tangan kiri si kakek sesekali mengelus-elus punggung si nenek. Keduanya, seolah tak mau dipisahkan dan ingin selalu bergantung satu sama lain.

            Cukup lama Satria dan Kira terpana akan pemandangan indah tersebut sampai akhirnya gadis manis tersebut buka suara. “That’s the real relationship goals!”

            Satria yang dari tadi meletakkan kepalan tangannya di bawah dagu lantas menoleh ke arah wanita di sebelahnya itu. “Maksud kamu?”
            “Iya, kebahagiaan seperti ini lah yang sejatinya dibutuhin sama manusia. Kebahagiaan dalam kesederhanaan. Itu indah banget,” mata Kira berbinar terpesona menyaksikan pasangan kakek-nenek di hadapannya. “Untuk bahagia, mereka nggak perlu beli tiket dan nonton konser Coldplay di Thailand. Melainkan cukup dengan menikah, ngebangun rumah tangga berdua di saat senang maupun di saat susah. No matter how hard it is, they always stick together.”

            Yeah, I couldn’t agree more,” kata Satria, sama seperti wanita sebelahnya, ia juga terpana melihat pasangan tua itu.

            “Karena hakikatnya menikah ya memang seperti itu. Mencintai dengan cara yang sejati, yakni menerima segala kekurangan yang dimiliki oleh pasangan kita.”

            “Ditambah, kita harus bisa saling mendukung satu sama lain untuk menjadi manusia yang lebih baik,” timpal Satria.

            Yup, makanya kakek nenek di depan kita bisa awet kayak gitu. Aduh, aku iri deh sama beliau. Karena kenyataannya aku nggak bisa kayak gitu,” Kira keceplosan. “Eh, sorry, aku malah curhat jadinya. Nevermind, ya!”

            Satria tidak langsung menanggapi. Namun kemudian ia tersenyum. “Aku tebak, kamu baru patah hati, ya? Hehehe”

            “Yah, udah kepalang tanggung ya. Nggak apa-apa ya aku jadi curhat begini?”
           
            My pleasure.

            “Ya, kamu bener. Ini alasannya kenapa aku mau pergi ke Malang, pesawat jam satu kurang ini. Aku baru putus sama cowok aku. Dia selingkuh. Dan aku berada di posisi di mana aku nggak tahu salah aku di mana. Kasian ya? Hehehe. Gimana menurut kamu?”

            “Hhhmm aku nggak bisa jawab, sih, karena aku nggak punya pengalaman mutusin cewek. Kasian ya? Hahaha”

            “Iya kasian. Berarti selama ini kamu yang selalu diputusin dong? Ahahahaha,” tawa Kira. Di titik ini, Satria baru menyadari bahwa tawa kira begitu memikat hatinya.

            “Iya, kamu bener. Aku selalu diputusin. Tapi, balik lagi ke masalah kamu ya. Aku kan kurang tau juga problem nya kayak apa. But still, you always have a chance to get a better guy,” ujar Satria. “Aku pernah denger kalimat yang indah banget; Tidaklah Alloh mengambil sesuatu darimu kalau bukan digantikan dengan yang lebih baik.”

Kira terkesiap mendengar kalimat terakhir dari pria di sebelahnya itu. Seolah dirinya tersadar akan satu hal yang sejauh ini tak pernah terpikirkan olehnya. Jangan-jangan rencananya ke Malang hanya merupakan pelarian, yang nyatanya takkan kunjung menyelesaikan masalahnya. Namun, dengan kalimat terakhir yang keluar dari mulut pria tersebut, hati Kira menjadi lebih terbuka. Hati yang tadinya gelap, kini terbuka terkena cahaya sejuk yang menyelinap masuk melalui perantara ucapan pria di sebelahnya. “Thanks! Entah kamu berniat menasehati aku atau nggak, but it means a lot to me,” Kira mengatakan ini dengan sungguh-sungguh.


- LANDAK -

“Kalau kamu gimana?” tanya Kira.

“Gimana apanya?”

“Ya, riwayat relationship kamu? Apa jangan-jangan kamu bernasib sama seperti aku? Hehehe,” ujar Kira sambil tersenyum sedikit.

“Ya, kurang lebih sama but the situation was lil bit different. Aku pada dasarnya introvert. Lebih suka sendiri, dan cenderung susah untuk suka sama cewek. Yang terakhir ini, sekalinya jadian, dan itu berlangsung cukup lama, pada akhirnya terbentur oleh faktor eksternal,” kisah Satria. “Singkat cerita, now I ended up here, got a plan to go to Jogja. Hahaha niatnya pengen dapetin peace of mind gitu, deh. Tapi nggak tau deh, bisa dapet atau nggak.”

I’m sorry to hear that,” ujar Kira dengan raut bersimpati.

It’s ok. Kadang aku ngerasa aku tuh kayak landak. Konyol, ya? Hehehe”

“Hah, landak? Maksudnya?”

“Iya, landak itu hakikatnya emang suka hidup sendiri. Dan memang sebaiknya dia hidup sendiri, karena duri yang ada di sekujur tubuhnya bisa membahayakan pihak lain,” tukas Satria. “Aku ngerasa orang yang deket sama aku pasti aja terluka. Padahal aku nggak pernah bermaksud untuk ngelukain orang yang aku sayang. Nggak pernah. Hehehe by the way, kok aku jadi drama gini, sih?”

“Ini bukan sesuatu hal yang pantes buat ditertawakan.”

Kira tidak ikut tertawa seperti Satria. Mimik wajah gadis manis itu sontak mendadak serius. Ia merasa ada yang ganjil. Aneh rasanya, ia bisa begitu akrab dan terbuka dengan pria di sebelahnya padahal baru beberapa jam saja bertemu. Ada perasaan nyaman bagi Kira untuk mengungkapkan segala hal yang selama ini tertahan di hati. Bahkan… What? Aku bahkan belum tahu nama pria yang sedari tadi aku ajak ngobrol, begitu Kira membatin.

Di sisi lain, Satria membisu. Ia bingung dengan perasaan yang tiba-tiba muncul dengan sendirinya ini. Durasi bertemu antara dia dengan wanita di sebelahnya itu baru hitungan jam saja. Namun, dari sekian obrolan yang terlintas barusan, Satria merasa ia bisa mengatakan apa saja secara jujur. Satria juga nyaman berbicara tentang masalah pribadinya dengan wanita yang… yang namanya saja aku belum tahu, Satria membatin.

“Nama kamu siapa?” Satria dan Kira serempak bertanya satu sama lain, setelah beberapa detik membisu.

“Hahahahahahaha,” keduanya sama-sama tertawa.

Ladies first!” tukas Satria.

“Ok. Aku Kira. Ayu Kirana!”

“Aku Satria. Satria Umar!”


- MENIKAHIMU AND STICK TOGETHER -

Keduanya saling berjabat tangan erat, dengan tawa yang tiada berhenti. Mungkin orang-orang di sekitarnya menganggap dua insan ini aneh dan mengganggu. Tetapi, tetap saja Satria dan Kira tidak memedulikan hal tersebut.

“Sekarang, aku minta nomor telepon kamu dan alamat rumah kamu, ra,” kata Satria dengan sebuah keyakinan.

“Hah, buat apa?”

“Besok aku mau bertemu orangtua kamu, meminta restu untuk menikahimu!”

Kira tidak langsung menanggapi. Ia ingin “mengerjai” Satria dengan sengaja mengulur-ulur waktu, padahal ia setuju dengan ajakan menikah oleh pria tersebut. “Nggak bisa. Aku harus pergi ke Malang. Sekarang udah jam 12.30. Sekitar 15 menit lagi aku udah harus masuk ke pesawat. ”

“Udahlah, aku tau kamu beli tiket ke Malang dapet promo kan Minggu lalu di travel fair? Aku juga sama kok. Kita sama-sama batalin aja perginya,” kata Satria. “Aku janji, setelah nikah kita bakal ke Jogja dan ke Malang selama seminggu penuh.”

“Hehehe, iya, Sat. Aku cuma bercanda kok. Iya, aku bersedia kok jadi landak betina buat nemenin kamu,” kata Kira. “Ketika aku bersama kamu, pasti duri aku bakal nusuk ke kulit kamu, pun sebaliknya duri kamu bakal nusuk ke kulit aku. Itu artinya hidup kita nggak akan bisa selalu mulus-mulus aja. Kayak yang aku bilang tadi, hakikat menikah kan kita bisa menerima kekurangan pasangan kita. Ditambah…”

Satria memotong menimpal, “… kita harus bisa saling mendukung satu sama lain untuk menjadi manusia yang lebih baik.”

No matter how hard it is, we’re gonna stick together!” ujar Satria dan Kira bersamaan.

Keduanya membatalkan keberangkatan ke Yogyakarta dan ke Malang. Satria mengantarkan Kira sampai taksi. Sedangkan ia sendiri pulang ke rumah naik bis. Besok, ia akan datang ke rumah Kira. Insha Alloh, ia sudah siap!


Terlalu dini untuk mengatakan bahwa rasa cinta sudah tumbuh di antara mereka berdua. Namun, baik Satria maupun Kira sama-sama memiliki niat dan tujuan yang baik, yakni menikah. Masa lalu yang kelam sudah memberikan Satria dan Kira pelajaran berharga, sehingga bahkan mungkin hal inilah yang sekarang malah mempertemukan mereka di bandara siang hari ini. Keduanya berkeyakinan, Insha Alloh rasa sayang dan cinta akan muncul setelah menikah nanti. Amin Allohuma amin!


                                                            -TAMAT-

Jumat, 09 September 2016

SOLO RUN DAY 3

SOLO, Minggu, 17 Januari 2015

-DAY 3-

LAST DAY… GONNA MISS THIS PLACE!

Hari ketiga adalah kesempatan terakhir gue untuk mengeksplorasi kota Solo dan sekitar. Karena keesokan siangnya gue akan kembali pulang ke Jakarta. So, ke mana gue hari ini? Rencananya gue akan mengunjungi tiga tempat, yakni Candi Ceto, Candi Sukuh dan Air Terjun Jumog. Ketiga tempat ini berada di daerah Karanganyar, yang membutuhkan waktu beberapa jam dari kota Solo.

Sehari sebelumnya gue sudah menelpon pihak hotel untuk menyewa mobil beserta sopirnya. Ya, di liburan kali ini gue ingin lebih sedikit bersantai. Tinggal duduk manis di kursi samping, mendengarkan musik, melihat pemandangan, serta mengabadikan banyak momen dengan kamera gue tanpa perlu menyetir mobil. Hehehe sekali-kali “bermewah-mewahan” nggak apa-apa dong?

Jam 9 pagi gue meluncur  ke destinasi pertama; Candi Ceto. Di sepanjang perjalanan yang gue lihat adalah tampilan khas kota kecil, di mana rumah jarang terlihat rapat-rapat, yang terlihat adalah hamparan sawah terbentang luas nan indah. Gue buka kaca jendela mobil sedikit untuk mengabadikan momen tersebut. Tape mobil gue setel playlist dari iPhone gue. Lagu Ello-Masih Ada mengiringi perjalanan gue. Awalnya gue tidak suka lagu ini. Namun, setelah melihat video clip beserta makna isi lagu tersebut, gue merasa ada kedekatan kondisi dengan yang gue alami sekarang; Traveling sendirian setelah patah hati karena putus cinta.

Kemudian lagi-lagi lagu Adhitya Sofyan-Forget Jakarta mengalun dari playlist yang gue mainkan secara acak. Ya, saat itu gue benar-benar melupakan Jakarta dengan ragam problematikanya. Entah masalah sosial - di mana dua hari sebelumnya terjadi ledakan bom di kawasan Sarinah- , rutinitas pekerjaan dan aktivitas sehari-hari gue, serta masalah kehidupan percintaan gue yang sedang kurang mulus jalannya.

Setelah kurang lebih dua jam, akhirnya sampai juga gue di Candi Ceto. Benar-benar tipe destinasi favorit gue. Berada di dataran tinggi sehingga kondisinya sejuk dan dingin. Lokasinya berada di lereng Gunung Lawu yang ditengarai dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit. Kompleks candi ini digunakan oleh masyarakat lokal setempat maupun peziarah beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Selain itu, Candi Ceto juga dijadikan tempat pertapaan bagi para penganut kepercayaan asli Jawa, Kejawen.

Cukup ramai pengunjung saat itu. Seperti gue, mereka juga terlihat antusias berada di Candi Ceto. Gue pun banyak memotret  momen maupun bangunan candi-candi yang ada. Setelah cukup puas mengambil gambar, gue pun segera beranjak untuk menuju tempat berikutnya yakni Candi Sukuh, yang pula dikenal dengan sebutan Candi porno. Mengapa? Let’s see…

Jarak dari Candi Ceto menuju Candi Sukuh tidak terlalu jauh. Ada yang lucu di sepanjang perjalanan gue menuju Candi Sukuh. Boleh percaya atau tidak, gue sempat melihat di pinggir jalan terdapat sebuah kios penjual Mie Ayam dengan label “Mie Ayam Bakso REAL MADRID”. Belum selesai, beberapa meter setelahnya terdapat (lagi) penjual MieAyam, namun kali ini dengan label “Mie Ayam Bakso BARCELONA”. Wow!

Sudah hampir dipastikan kedua penjual Mie Ayam Bakso ini merupakan kompetitor yang menyajikan rivalitas sengit. Selayaknya duel Cristiano Ronaldo versus Lionel Messi.

Setibanya di Candi Sukuh, gue menyempatkan diri untuk solat dzuhur dulu di sebuah masjid kecil. Setelah itu, tanpa buang waktu gue langsung masuk ke dalam kompleks Candi Sukuh. Sama seperti Candi Ceto, terletak di desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, candi ini digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk agama Hindu. Oh iya, mengapa candi ini juga disebut sebagai Candi porno? Sebab, banyak bangunan candinya yang kontroversial, dalam artian memiliki gambaran alat-alat kelamin manusia secara jelas pada beberapa figurnya.

Tidak begitu lama buat gue mengeksplorasi candi ini karena kompleksnya tidak terlalu luas. Selanjutnya, gue menuju Air Terjun Jumog!

Cukup beberapa menit hingga gue sampai di tujuan. Memasuki kawasan Air Terjun, gue dihadapkan dengan bentangan spanduk bertuliskan “ANDA AKAN MENURUNI 116 ANAK TANGGA”. Wah, kok tulisannya bernada meremehkan kapasitas napas gue, ujar gue dalam hati. Well, jangankan menuruni 116 anak tangga, menanjak 3000an mdpl aja gue jabanin! Hehehe sombong ya.

Sebutan “Surga yang Hilang” memang pantas disematkan pada Air Terjun Jumog ini. Memiliki ketinggian kurang lebih 30 meter, air terjun ini menawarkan pemandangan yang amat indah, segar dan kehijauan. Sangat elok dipandang. Yang membuatnya menjadi tidak enak buat gue sih karena banyak pemandangan muda-mudi, pasangan muda-tua yang asyik berfoto dengan latar belakang air terjun. Ngiri banget gue! Ahahahah…

Forget it! Gue pun benar-benar terlena dengan pemandangan di depan mata. Kamera gue tak henti-hentinya jepret sana-sini. Satu hal yang sulit bagi gue adalah berfoto selfie. Ya, karena gue sendiri. Jadi, solusinya ya gue harus SKSD minta tolong kepada orang-orang di sekitar untuk bisa mengabadikan foto gue bersama Air Terjun Jumog yang indah ini. Dari sini, gue belajar berani untuk menanggalkan kejelekan orang Indonesia pada umumnya, yaitu gengsi.

Kemudian, tiba-tiba di salah satu sudut terdengar sayup-sayup suara musik dangdut. Benar saja, ternyata ada panggung musik dangdut di sana. Gue langsung menghampiri dan gue tidak akan pernah menyesali pelancongan gue kali ini. Kenapa? Karena gue akhirnya bisa melihat langsung dengan mata kepala gue sendiri komunitas goyang dangdug koplo yang kesohor itu. Sekumpulan anak muda yang memiliki hobi sama yakni joget dangdut, serta memiliki koreografi unik yang dilakukan secara kompak bersama-sama. Untuk lebih jelasnya, lo bisa lihat di Instagram gue: https://www.instagram.com/p/BAo0RIqgpv-Qr96VILiO_OYERX3MTeH9S_PPBQ0/?taken-by=randyislamy

Melihat itu, hasrat gue pun terpancing untuk bergabung. Ya, gue menyatu dengan mereka, menyatu dengan “kearifan lokal” itu. Gue ikut berjoget and I really enjoyed it!

https://www.instagram.com/p/BAozfURApufbFyEQqxxmtjVlvOnuP5gjqwHfMQ0/?taken-by=randyislamy

Seketika itu, gue sendiri namun tidak merasa sendiri. Ada kebahagiaan membuncah yang bertahan cukup lama di hati ini. Pengalaman ini kelak akan menjadi cerita menarik untuk diceritakan kembali dengan orang-orang terdekat.

Hari sudah mulai sore, hujan pun perlahan muncul. Gue memutuskan kembali ke hotel dengan sebelumnya menyempatkan diri untuk makan di sebuah restoran. Sesampainya di hotel, gue langsung mandi dan istirahat. FYI, hotel gue kali ini berbeda dari hotel sebelumnya. Gue sengaja berganti hotel karena lokasinya dekat dengan stasiun Purwosari.

TIME IS UP! WAKTUNYA PULANG..

Keesokannya, setelah solat dzuhur, gue menuju stasiun Purwosari berjalan kaki. Padahal setelah dirasakan, jaraknya ternyata lumayan jauh. Informasi yang gue dapatkan ketika bertanya kepada orang-orang, mereka menjawabnya jaraknya cukup dekat. Mungkin maksud mereka jaraknya dekat jika gue naik becak atau taksi, bukannya jalan kaki.

Tetapi tidak apa lah! Gue menikmati kok suasana kota Solo saat itu dengan berjalan kaki; Lengang, damai dan tidak banyak menuntut. Tidak peduli cuaca siang hari itu sangat terik membakar kulit. Toh, waktu keberangkatan kereta masih cukup lama.

Setelah membeli minuman mineral, gue pun menunggu di kursi peron stasiun. Pikiran gue mengawang ke perjalanan tiga hari gue selama di Solo. Sebelumnya, gue traveling tidakpernah sendiri. Traveling ke Jogja, Semarang, Kediri, naik gunung Papandayan, gunung Rakutak selalu bareng teman beramai-ramai (pernah juga bareng pacar sendiri). Bahkan untuk ke gunung Prau gue cuma berdua saja dengan teman gue, yang bernama Acil.

Tapi kali ini, ke Solo, gue benar-benar sendiri. Yup, gue melakukan solo traveling-solo backpacker di kota Solo. Seperti sebuah kebetulan, ya? Namun, jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya niat untuk traveling sendiri sudah tersimpan cukup lama. Meskipun dulu gue tidak tahu bahwa kota Solo yang menjadi destinasinya. But again, kota Solo memang memiliki arti tersendiri buat gue. Jadi, bisa mengunjungi kota ini traveling sendirian sih sudah menjadi salah satu goals dalam hidup gue. It might sounds lebay, but it’s actually true. Cuma gue yang bisa merasakan ini.

Di dunia sepakbola, terdapat istilah solo run di mana terdapat satu pemain yang berlari menggiring bola dari jarak yang cukup jauh. Ia berhasil melewati berbagai hadangan pemain lawan hingga akhirnya berduel satu lawan satu dengan kiper lawan. Solo run ini akan lebih indah jikalau sang pemain mampu mencetak gol pada akhirnya.

Lalu, bagaimana dengan perjalanan Solo Run Traveling gue kali ini? Let me tell you… It was perfectly awesome!

Gonna miss this place so much…