SATRIA UMAR
Hendak pergi ke Yogyakarta dengan alasan yang ia tidak
ketahui dengan pasti. Sulit baginya untuk bisa mencintai seorang wanita. Maka
tak heran, sekalinya ia menjalin cinta, lalu kemudian berakhir dengan
kegagalan, ada rasa sesak yang terasa amat menyiksa di hatinya. Dan sesak itu
mengendap lama mengisi hari-harinya. Satria merasa bahwa Yogyakarta, kota
favoritnya, mungkin bisa menjadi wadah baginya “bermeditasi” untuk mendamaikan
batin yang tengah berkecamuk.
AYU KIRANA
Memergoki kekasih yang
ia cintai sedang berselingkuh dengan wanita lain. Apa salahku selama ini
sehingga ia tega melakukan itu kepada ku? Begitu Kira membatin. Kemalangan
itukah yang akhirnya membuat Kira memutuskan pergi sejenak ke Malang? Tidak
juga. Ia hanya membutuhkan kota sejuk yang ia harap bisa memberikan kesejukan
instan di hati dan pikirannya. Malang Kira rasa merupakan destinasi yang tepat
untuk itu.
- BANDARA, pukul 10.00 WIB -
Satria
sudah duduk di kursi tunggu, di salah satu sudut bandara. Sengaja ia duduk di
paling pinggir untuk men-charge
laptop lawas miliknya. Ia tengah asyik menulis cerita pendeknya sembari
ditemani playlist musik John Mayer.
Satria berniat menyelesaikan ini sebelum ia berangkat ke Yogyakarta, jadwal
keberangkatan 13.00 WIB. Tidak apa baginya jika harus menunggu lama dan
berangkat lebih dini dari rumah menuju bandara. Lebih baik memiliki spare waktu yang luas, ketimbang harus
terburu-buru dengan datang ke bandara saat last
minute. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi Satria.
Selang
beberapa menit, Kira duduk di kursi tunggu tepat di sebelah Satria. Sengaja
Kira duduk di sana karena posisinya memudahkan ia untuk melihat papan jadwal
keberangkatan pesawat sebagai reminder. Kira
suka terlampau asyik dengan dunianya sendiri ketika sedang membaca Sherlock
Holmes plus mendengarkan playlist The
Beatles dari ponselnya. Ia tidak boleh alpa dengan jadwal keberangkatannya ke
Malang yakni pukul 12.55 WIB.
Dasar
makhluk metropolitan! Ke mana perginya interaksi sosial yang seharusnya berlangsung
jika saja mereka berdua tidak disibukkan dengan gadget nya? Ditambah gaya hidup individualistis membuat Satria dan
Kira lebih memilih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, sehingga mereka
sempat melupakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Sepuluh menit pertama
kedua insan ini hanya fokus dengan aktivitasnya masing-masing, hingga akhirnya
Satria menyadari sesuatu. Ia mendengar sayup-sayup lagu yang ia kenal bersumber
dari earphone wanita di sebelahnya.
- HERE THERE AND
EVERYWHERE & SHERLOCK-
“Hei,
kamu nggak salah nih dengerin here there
and everywhere?” tanya Satria setelah ia menutup layar laptopnya. Tersadar
bahwa ia sedang diajak berbicara dengan pria di sebelahnya, Kira mendelik
sebentar, kemudian melepaskan earphone
dari telinganya. “Sorry, kamu barusan
nanya apa?”
“Iya,
nggak salah nih kamu lagi baca Sherlock Holmes tapi backsound nya malah lagu The Beatles yang so sweet banget, here there
and everywhere?” tanya Satria sembari tersenyum. “Kok kayak sedikit
kontradiktif ya? Mungkin aku bisa suggest
ke kamu buat puterin lagu Revolution biar
keseruan kasus yang dihadapi Sherlock Holmes nya jadi lebih berasa, hehehe.”
“Hehehe,
ya mungkin karena lagi fokus sama kasusnya dan ini lagi seru-serunya, jadi
nggak kepikiran ganti lagu. Lagian, playlist The Beatles nya emang aku puter secara
acak, sih,” tukas Kira dengan senyum manis khasnya. Senyum lepas pertama
semenjak ada pria yang tidak tahu diri dan tidak tahu di untung mematahkan
hatinya.
Terus
terang, Kira kaget dan tidak menyangka pria di sebelahnya itu bukan hanya
menyapa, tapi juga memerhatikan musik yang sedang ia dengar dan buku yang
tengah ia baca. “Kamu suka The Beatles juga?”
“Emang
ada orang yang nggak suka The Beatles? hehehe” Satria balik bertanya.
“Iya
sih, hampir semua orang pasti suka The Beatles,” kata Kira. “Cuma ada orang
yang suka gitu-gitu aja, dalam artian suka lagu tertentu yang hits aja, di
samping itu ada orang yang benar-benar suka sampai mendalami musik-musik The
Beatles, bahkan sampai lagu yang tidak terkenalnya. Nah, kamu tergolong orang
yang mana?”
“Hhhmm
aku kayaknya golongan yang pertama deh.”
Keduanya
diam sejenak.
“Kamu
udah lama suka Sherlock Holmes?” giliran Satria yang bertanya.
“Seingat
aku, aku baru baca Sherlock Holmes sejak SMP. Bagi aku Sherlock yang
sesungguhnya itu adalah yang versi buku. Makanya, aku males banget pas tau
Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch meranin Sherlock versi live action,” kata Kira. “Bayangan aku
tentang sosok Sherlock yang jangkung kurus seketika buyar, hehehe.”
Dalam
hati, Satria takjub dengan pilihan buku wanita itu. Ia tak menyangka bahwa
wanita manis di sebelahnya memiliki selera yang lain daripada yang lain dalam
memilih sebuah bacaan.
- COLDPLAY VS THE CURE
VS LED ZEPPELIN -
Suasana
bandara siang itu cukup ramai. Pengumuman boarding
seolah bersahut-sahutan tiada henti, mengiringi langkah kaki-kaki para
pelancong. Hingga kemudian dari ruang pengambilan bagasi, keluar sepasang
muda-mudi –entah sudah menikah atau belum- menggiring koper kompak mengenakan
kaos bertuliskan “Coldplay LIVE in Bangkok”. Ya, band asal Inggris ini memang
baru saja menghelat tur di Asia Tenggara bertajuk “A Head Full of Dreams”. Band yang dikomando oleh Chris Martin ini
menyambangi Thailand dan Singapura. Kenapa Indonesia tidak, ya? Hanya Coldplay,
manajemen Coldplay dan Tuhan yang tahu.
“Ah,
Coldplay! Kok bisa-bisanya ya mereka tergila-gila sama band satu ini. Bahkan
ada temen aku, yang kebetulan nonton konsernya di Singapura, posting foto
Coldplay di FB dengan caption ‘The Greatest Band on Earth’?” kata Satria
memecah kesunyian.
Seolah
mendapat pesan telepati dari pria di sebelahnya, Kira sudah tahu ke mana arah
pembicaraan ini, merujuk pada pasangan muda-mudi yang melongos di depan
keduanya. “Ya bener, aku juga heran. Basically,
aku penggemar musik british. Dari The Beatles, Radiohead, Blur sampai The
Cure aku suka. Coldplay sebenernya aku suka juga, sih. Tapi hanya pas jamannya
mereka ciptain masterpiece kayak Shiver,
Speed of Sound, Clocks, Yellow, The Scientist atau Fix you.
“Di situ mereka
bener-bener bermain musik. Aku garis bawahin ya ‘bermain musik’ nya. Beda
banget sama musik mereka jaman sekarang. Ya, terhitung dimulai dari Viva la vida, deh,” ujar Kira semangat.
“Dari sana Coldplay udah berubah musiknya jadi remix ajep-ajep yang suitable buat
musik disko, hehehehe. Terlalu banyak minus
one nya!”
“Yoi, namanya berubah dari Coldplay jadi DJ Chris Martin
and Friends. Karena yang menonjol cuma Chris Martin nya aja, tiga temennya cuma
jadi pelengkap, hahahaha,” kata Satria. Dalam hati ia tidak menyangka, bahwa
wanita di sebelahnya itu memiliki pemahaman musik yang baik dan bahkan
sepemikiran dengannya.
“Kalau
kamu, suka musik British?” tanya Kira.
“Iya,
aku suka The Cure. Tapi kecenderungan aku agak beda sedikit nih dari kamu.
Kalau kamu sukanya britpop, nah kalau aku lebih condong ke british rock lawas,
kayak Led Zeppelin, Deep Purple, Cream, Eric Clapton,” kata Satria lugas. “Di
luar Inggris, aku juga suka Mr Big, Dream Theater, ACDC, Toto. Yah, intinya aku
suka yang berbau rock dan klasik, alias lawas, pokoknya hehehe. Hhmm, aku suka
kasian sih sama anak-anak muda jaman sekarang yang begitu mudah mendewakan
Coldplay atau band kekinian sejenis lainnya.”
“Ahahaha,
lho kok gitu?” Kira ingin tahu alasannya.
“Iya,
kebanyakan dari mereka pasti nggak pernah denger Stairway to Heaven, Black Night, Sunshine of Your Love, Jailbreak,
Collorado Bulldog, atau Surrounded. Ya
jadi nggak heran dengan kualitas musik jaman sekarang yang, sorry to say, nggak begitu bagus, mereka
dengan mudahnya mengelu-elukan band macam Coldplay. Sampai nyebut band terhebat
di muka bumi segala, lah, hahaha. Tapi ya, yang namanya selera masing-masing
juga, sih.”
Kira
hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya, tanda setuju dengan
ucapan pria di sebelahnya itu. Baik menurut Satria maupun Kira sepakat bahwa
musik lawas adalah yang terbaik. Classic
is always class. Old is gold. Bahasan tentang musik terus menjadi
pembicaraan keduanya.
- RELATIONSHIP GOALS AND
BROKEN HEARTED -
Mereka
dengan mudahnya akrab seolah keduanya merupakan kawan lama. Jam menunjukkan
pukul 11.45 WIB. Sudah cukup lama mereka asyik mengobrol, tapi tak satupun dari
keduanya sadar bahwa mereka sama sekali belum berkenalan. Mereka belum tahu
siapa nama lawan bicaranya itu.
Sejumput
kemudian, ada sepasang suami istri yang sudah tua, yang laki-laki sekitar 70
akhir dan yang perempuan sekitar menjelang 60 akhir, duduk kursi di seberang
Satria dan Kira. Gerakan kedua pasangan kakek-nenek itu sudah melambat, kulit
wajah mereka sudah keriput dengan banyaknya garis di kening. Keduanya juga
kompak mengenakan sweater hangat
untuk melawan dinginnya AC di dalam ruang tunggu bandara. Namun, yang
membuatnya terlihat istimewa adalah keduanya amat mesra. Sang nenek memegang
erat tangan kanan sang kakek, sedangkan tangan kiri si kakek sesekali
mengelus-elus punggung si nenek. Keduanya, seolah tak mau dipisahkan dan ingin
selalu bergantung satu sama lain.
Cukup lama Satria dan Kira terpana akan pemandangan indah
tersebut sampai akhirnya gadis manis tersebut buka suara. “That’s the real relationship goals!”
Satria yang dari tadi
meletakkan kepalan tangannya di bawah dagu lantas menoleh ke arah wanita di
sebelahnya itu. “Maksud kamu?”
“Iya, kebahagiaan seperti ini lah yang sejatinya
dibutuhin sama manusia. Kebahagiaan dalam kesederhanaan. Itu indah banget,”
mata Kira berbinar terpesona menyaksikan pasangan kakek-nenek di hadapannya. “Untuk
bahagia, mereka nggak perlu beli tiket dan nonton konser Coldplay di Thailand. Melainkan
cukup dengan menikah, ngebangun rumah tangga berdua di saat senang maupun di
saat susah. No matter how hard it is,
they always stick together.”
“Yeah, I couldn’t agree more,” kata Satria, sama seperti wanita
sebelahnya, ia juga terpana melihat pasangan tua itu.
“Karena hakikatnya menikah ya memang seperti itu.
Mencintai dengan cara yang sejati, yakni menerima segala kekurangan yang
dimiliki oleh pasangan kita.”
“Ditambah, kita harus bisa saling mendukung satu sama
lain untuk menjadi manusia yang lebih baik,” timpal Satria.
“Yup, makanya
kakek nenek di depan kita bisa awet kayak gitu. Aduh, aku iri deh sama beliau.
Karena kenyataannya aku nggak bisa kayak gitu,” Kira keceplosan. “Eh, sorry, aku malah curhat jadinya. Nevermind, ya!”
Satria tidak langsung menanggapi. Namun kemudian ia
tersenyum. “Aku tebak, kamu baru patah hati, ya? Hehehe”
“Yah, udah kepalang tanggung ya. Nggak apa-apa ya aku jadi
curhat begini?”
“My pleasure.”
“Ya, kamu bener. Ini alasannya kenapa aku mau pergi ke
Malang, pesawat jam satu kurang ini. Aku baru putus sama cowok aku. Dia
selingkuh. Dan aku berada di posisi di mana aku nggak tahu salah aku di mana.
Kasian ya? Hehehe. Gimana menurut kamu?”
“Hhhmm aku nggak bisa jawab, sih, karena aku nggak punya
pengalaman mutusin cewek. Kasian ya? Hahaha”
“Iya kasian. Berarti selama ini kamu yang selalu
diputusin dong? Ahahahaha,” tawa Kira. Di titik ini, Satria baru menyadari
bahwa tawa kira begitu memikat hatinya.
“Iya, kamu bener. Aku selalu diputusin. Tapi, balik lagi
ke masalah kamu ya. Aku kan kurang tau juga problem
nya kayak apa. But still, you always
have a chance to get a better guy,” ujar Satria. “Aku pernah denger kalimat
yang indah banget; Tidaklah Alloh mengambil sesuatu darimu kalau bukan
digantikan dengan yang lebih baik.”
Kira
terkesiap mendengar kalimat terakhir dari pria di sebelahnya itu. Seolah
dirinya tersadar akan satu hal yang sejauh ini tak pernah terpikirkan olehnya.
Jangan-jangan rencananya ke Malang hanya merupakan pelarian, yang nyatanya takkan
kunjung menyelesaikan masalahnya. Namun, dengan kalimat terakhir yang keluar
dari mulut pria tersebut, hati Kira menjadi lebih terbuka. Hati yang tadinya
gelap, kini terbuka terkena cahaya sejuk yang menyelinap masuk melalui
perantara ucapan pria di sebelahnya. “Thanks!
Entah kamu berniat menasehati aku atau nggak, but it means a lot to me,” Kira mengatakan ini dengan
sungguh-sungguh.
- LANDAK -
“Kalau
kamu gimana?” tanya Kira.
“Gimana
apanya?”
“Ya,
riwayat relationship kamu? Apa
jangan-jangan kamu bernasib sama seperti aku? Hehehe,” ujar Kira sambil
tersenyum sedikit.
“Ya,
kurang lebih sama but the situation was
lil bit different. Aku pada dasarnya introvert.
Lebih suka sendiri, dan cenderung susah untuk suka sama cewek. Yang
terakhir ini, sekalinya jadian, dan itu berlangsung cukup lama, pada akhirnya
terbentur oleh faktor eksternal,” kisah Satria. “Singkat cerita, now I ended up here, got a plan to go to
Jogja. Hahaha niatnya pengen dapetin peace
of mind gitu, deh. Tapi nggak tau deh, bisa dapet atau nggak.”
“I’m sorry to hear that,” ujar Kira
dengan raut bersimpati.
“It’s ok. Kadang aku ngerasa aku tuh
kayak landak. Konyol, ya? Hehehe”
“Hah,
landak? Maksudnya?”
“Iya,
landak itu hakikatnya emang suka hidup sendiri. Dan memang sebaiknya dia hidup
sendiri, karena duri yang ada di sekujur tubuhnya bisa membahayakan pihak
lain,” tukas Satria. “Aku ngerasa orang yang deket sama aku pasti aja terluka.
Padahal aku nggak pernah bermaksud untuk ngelukain orang yang aku sayang. Nggak
pernah. Hehehe by the way, kok aku
jadi drama gini, sih?”
“Ini
bukan sesuatu hal yang pantes buat ditertawakan.”
Kira
tidak ikut tertawa seperti Satria. Mimik wajah gadis manis itu sontak mendadak
serius. Ia merasa ada yang ganjil. Aneh rasanya, ia bisa begitu akrab dan
terbuka dengan pria di sebelahnya padahal baru beberapa jam saja bertemu. Ada
perasaan nyaman bagi Kira untuk mengungkapkan segala hal yang selama ini
tertahan di hati. Bahkan… What? Aku
bahkan belum tahu nama pria yang sedari tadi aku ajak ngobrol, begitu Kira
membatin.
Di
sisi lain, Satria membisu. Ia bingung dengan perasaan yang tiba-tiba muncul
dengan sendirinya ini. Durasi bertemu antara dia dengan wanita di sebelahnya
itu baru hitungan jam saja. Namun, dari sekian obrolan yang terlintas barusan,
Satria merasa ia bisa mengatakan apa saja secara jujur. Satria juga nyaman
berbicara tentang masalah pribadinya dengan wanita yang… yang namanya saja aku
belum tahu, Satria membatin.
“Nama
kamu siapa?” Satria dan Kira serempak bertanya satu sama lain, setelah beberapa
detik membisu.
“Hahahahahahaha,”
keduanya sama-sama tertawa.
“Ladies first!” tukas Satria.
“Ok.
Aku Kira. Ayu Kirana!”
“Aku
Satria. Satria Umar!”
- MENIKAHIMU AND STICK
TOGETHER -
Keduanya
saling berjabat tangan erat, dengan tawa yang tiada berhenti. Mungkin
orang-orang di sekitarnya menganggap dua insan ini aneh dan mengganggu. Tetapi,
tetap saja Satria dan Kira tidak memedulikan hal tersebut.
“Sekarang,
aku minta nomor telepon kamu dan alamat rumah kamu, ra,” kata Satria dengan
sebuah keyakinan.
“Hah,
buat apa?”
“Besok
aku mau bertemu orangtua kamu, meminta restu untuk menikahimu!”
Kira
tidak langsung menanggapi. Ia ingin “mengerjai” Satria dengan sengaja
mengulur-ulur waktu, padahal ia setuju dengan ajakan menikah oleh pria tersebut.
“Nggak bisa. Aku harus pergi ke Malang. Sekarang udah jam 12.30. Sekitar 15
menit lagi aku udah harus masuk ke pesawat. ”
“Udahlah,
aku tau kamu beli tiket ke Malang dapet promo kan Minggu lalu di travel fair?
Aku juga sama kok. Kita sama-sama batalin aja perginya,” kata Satria. “Aku
janji, setelah nikah kita bakal ke Jogja dan ke Malang selama seminggu penuh.”
“Hehehe,
iya, Sat. Aku cuma bercanda kok. Iya, aku bersedia kok jadi landak betina buat
nemenin kamu,” kata Kira. “Ketika aku bersama kamu, pasti duri aku bakal nusuk
ke kulit kamu, pun sebaliknya duri kamu bakal nusuk ke kulit aku. Itu artinya
hidup kita nggak akan bisa selalu mulus-mulus aja. Kayak yang aku bilang tadi,
hakikat menikah kan kita bisa menerima kekurangan pasangan kita. Ditambah…”
Satria
memotong menimpal, “… kita harus bisa saling mendukung satu sama lain untuk
menjadi manusia yang lebih baik.”
“No matter how hard it is, we’re gonna stick
together!” ujar Satria dan Kira bersamaan.
Keduanya
membatalkan keberangkatan ke Yogyakarta dan ke Malang. Satria mengantarkan Kira
sampai taksi. Sedangkan ia sendiri pulang ke rumah naik bis. Besok, ia akan
datang ke rumah Kira. Insha Alloh, ia sudah siap!
Terlalu
dini untuk mengatakan bahwa rasa cinta sudah tumbuh di antara mereka berdua.
Namun, baik Satria maupun Kira sama-sama memiliki niat dan tujuan yang baik,
yakni menikah. Masa lalu yang kelam sudah memberikan Satria dan Kira pelajaran
berharga, sehingga bahkan mungkin hal inilah yang sekarang malah mempertemukan
mereka di bandara siang hari ini. Keduanya berkeyakinan, Insha Alloh rasa
sayang dan cinta akan muncul setelah menikah nanti. Amin Allohuma amin!
-TAMAT-