/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Kamis, 17 Oktober 2013

BOCAH PENJUAL TISU DI UNIVERSITAS INDONESIA

Siang itu Angga dan Septi sudah berada di kantin Mesjid Universitas Indonesia untuk makan siang. Keduanya ke UI berniat untuk mendatangi perpustakaan untuk keperluan skripsi.

            Pesanan makanan sudah datang ketika datang seorang bocah penjual tisu menawarkan dagangannya kepada mereka. Septi akhirnya membeli satu tisu seharga Rp. 2500. Memang pada dasarnya si bocah sepertinya sudah terbiasa dan akrab mengobrol dengan pengunjung kantin, yang mayoritas para mahasiswa. Perawakannya cukup gemuk, sekilas mirip Kiki personel Coboy Junior, jadi mari kita sebut saja namanya, Miki (mirip Kiki).


            “Kak, mahasiswa di sini ya?” tanya Miki kepada Angga dan Septi.

    “Wah, nggak kita berdua bukan mahasiswa sini, cuma numpang mau ke perpustakaannya aja,”


            Seperti yang disebutkan tadi, Miki memang doyang ngobrol. Bahkan ketika Angga dan Septi sedang makan, dia terus saja mengobrol kepada mereka sambil duduk di kursi kantin, semeja dengan kedua mahasiswa itu. Obrolannya ngelantur ke sana ke mari, sampai kepada suatu titik di mana arah obrolan semakin serius. Angga dan Septi pun tertarik mendengar cerita sang bocah.

            “Biasanya kamu jualan tisu dari jam berapa ke jam berapa?” tanya Septi.

       

            “Ya, biasanya saya pagi sampai siang sekolah, terus lanjut dari siang sampe sore, kadang malem jualan di sini. Di sekitaran masjid UI ini, kak,” seloroh Miki.


            Diam-diam Angga dan Septi terkejut. Ternyata Miki masih menyempatkan dirinya untuk sekolah. Anak sekecil itu mampu menjalankan dua peran sekaligus; siswa dan pekerja.


            “Itu semua tisu ngambil dari mana? Biasanya keuntungan sehari berapa?” tanya Septi.


            “Ada bos saya, saya biasanya manggil dia Tulang karena dia sama kayak saya dari Medan. Dia baik sama saya, kak. Dulunya saya sempat jadi pengamen, cuma akhirnya disuruh dagang aja sama dia. Eh, bener ternyata duitnya lebih banyak.  Untung sehari bisa seratus ribu, buat Tulang dua puluh ribu, sisanya buat saya. Baik banget kan?


            “Cuma jangan macem-macem deh sama dia. Pernah ada juga bapak-bapak, digampar sama dia karena ketahuan bawa kabur semua duit setorannya. Padahal bapak-bapaknya udah tua, lebih tua dari Tulang, cuma tetep aja dia curang bawa kabur duit setoran jadinya digampar. Keras banget!” cerita Miki agak menggebu-gebu khas anak kecil, sambil sesekali matanya curi pandang ke arah soto yang sedang Angga makan.


            Dia melanjutkan. “Asal kakak tau, dia itu abangnya Hercules, yang megang tanah abang, tuh. Jadi, jangan harap orang-orang bisa kabur dan main curang sama dia. Karena pasti dia kejar ke mana aja mereka pergi sampai ketemu. Dasarnya dia orangnya baik, kak. Apalagi sama saya, soalnya saya nggak pernah macem-macem sama dia.”


            Terus terang Angga dan Septi agak salut sekaligus bergidik mendengar ceritanya. Begitu keras hidup bocah ini, persis seperti yang sering mereka lihat di film. Khusus Angga, dia agak tersentil dengan antusiasme Miki untuk berdagang, yang menurutnya menyenangkan. Belakangan ini, Angga didesak keluarganya untuk segera berdagang, tidak lagi bekerja sebagai karyawan. Kemandirian Miki di usianya yang masih sangatlah muda membuat Angga sedikit iri sekaligus malu.


            “Saya sih, biasa ngobrol-ngobrol sama mahasiswa kayak gini. Tapi kakak juga mesti hati-hati, yang suka jualan tisu kayak gini kadang suka iseng nyolong handphone mahasiswa. Teman saya pernah kayak gitu, terus ketahuan sama Tulang, eh digampar deh. Pokoknya, Tulang paling nggak suka kalau ada anak buahnya yang nyuri, yang tangannya iseng.


            “Itu juga yang bikin saya kesel, kan kasian mahasiswanya kalau gitu. Apalagi takutnya mahasiswa jadi nggak baik lagi sama kita. Meskipun jujur, sih, saya juga pernah nyolong hape mahasiswa. Cuma takut ketahuan sama Tulang, akhirnya besoknya saya balikin hape nya ke mahasiswa itu. Saya minta maaf sama dia, dan akhirnya dia maafin dan malah ngasih duit ke saya. Hehehe..” ujar Miki polos.


            Saat Angga dan Septi hendak menyelesaikan makanannya, tiba-tiba kedua teman Miki, yang sama-sama bocah dan penjual tisu datang menghampiri meja mereka. Ada ribut-ribut dan celaan kecil khas anak-anak antara mereka berdua, yang membuat Angga berpikir, “Ah, betapa tidak beruntungnya mereka. Di saat waktunya anak seumuran mereka sedang enak tidur siang, mereka malah sedang sibuknya menjaja dagangan mereka di luar.”


            Ribut-ribut kecil itu ternyata berujung pada suatu fakta yang mengejutkan, saat salah satu bocah teman Miki mengungkapkan sesuatu yang menohok hati. “Nih, kak, si Miki payah. Duit hasil dagangnya malah dia bisin untuk biaya ngeluarin bapaknya dari penjara.”


            “Apaan sih, lo! Daripada lo, bapak lo tuh bisanya cuma nyuruh lo kerja. Tapi dia sendiri malah enak-enakan di rumah, cuma ngopi dan baca Koran,” kata Miki dengan nada tak terima.


            APA?? Bapaknya Miki dipenjara?? Dan Miki menyelamatkan bapaknya dengan uang hasil jerih payahnya berdagang?? Apa yang diperbuat bapaknya sehingga harus masuk ke penjara? Lalu di mana ibunya?. Pertanyaan demi pertanyaan langsung menyelinap ke dalam benak Angga. Namun, semakin banyak pertanyaan tentang Miki, semakin pula muncul rasa iba yang mendalam. Tak tega rasanya ia menanyakan hal-hal tersebut kepada Miki. Takutnya itu hanya akan menyakiti hati Miki.


            Setelah membayar makanan, Angga dan Septi langsung bergegas ke masjid untuk shalat dzuhur.  Melewati Miki dan kedua temannya itu, Angga dan Septi berinisiatif memberikan uang kecil untuk mereka.


            Tak lama setelah beribadah dzuhur, kami pun langsung bergegas ke perpustakaan UI. Mereka ada di dekat sana. Ya, Miki dan kedua temannya sedang bermain di tepian danau. Tak jelas apa yang mereka mainkan, sepertinya hanya melempar batu-batu ke dasar danau. Mereka tampak akur, meskipun Miki lebih pasif dengan duduk di saat kedua temannya tengah asyik tertawa di sana. Ketiganya melepaskan dagangannya (menyimpan tisu-tisunya di kantong plastik ukuran besar) ke tanah.


            Ya, inilah dunia mereka sebenarnya: Bermain. That’s it! Anak kecil memang seharusnya bermain tidak boleh tidak. Bekerja? Bukan waktunya mereka untuk itu.

             

            Terkadang banyak dari kita yang ingin kembali ke masa kanak-kanak. Masa di mana hidup tidak ada beban, tidak ada tanggungan. Tapi itu kan idealnya. Pada kenyataannya hal itu tidaklah untuk Miki dan kedua temannya itu. Masa kecil mereka diisi dengan kerja keras. Kerja di luar batasnya sebagai anak kecil yang ringkih dan lemah.


Bahkan bukan tidak mungkin, berbeda dengan kita, mereka malah ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Lepas dari segala ketakutan masa kecil yang mereka alami. Bebas dari keras dan kejamnya ibu kota. Berubah menjadi manusia yang kuat, yang bisa berdiri sendiri menjalani hidup.


Angga sering merasa tidak bersyukur selama ini. Keluhan atas dirinya yang bekerja sekaligus kuliah terus menerus ia lontarkan. Padahal, situasi yang ia rasakan tidak jauh beda dengan apa yang tengah dijalani Miki. Bahkan Angga jauh lebih beruntung bisa bekerja di kantoran yang sejuk ber-AC dengan gaji yang cukup. Berbeda dengan Miki, yang penghasilannya tidak melulu pas dan untuk mendapatkan uang ia harus rela berpanas-panasan di bawah terik matahari, bermandikan keringat. 

Dan ingat, Miki masih sangat belia untuk bekerja membanting tulang.





Well, khusus bagi saya, penulis, hal ini diharapkan bisa menjadi cambuk penyemangat dan penyentil di saat saya sering berkeluh kesah mengenai skripsi saya yang sedang  dalam proses. Skripsi yang sedang saya jalani nyatanya hanya secuil bila melihat cerita Miki di atas. Bisa saja Miki tertawa melihat saya yang terlalu membesar-besarkan masalah bernama SKRIPSI setiap harinya, dibandingkan dengan apa yang dihadapi Miki sepanjang hidupnya.


Mudah-mudahan tulisan ini bisa selalu saya baca ketika masa-masa sulit sekonyong-konyong datang, nantinya.