Siang itu Angga dan Septi sudah berada di
kantin Mesjid Universitas Indonesia untuk makan siang. Keduanya ke UI berniat
untuk mendatangi perpustakaan untuk keperluan skripsi.
Pesanan
makanan sudah datang ketika datang seorang bocah penjual tisu menawarkan
dagangannya kepada mereka. Septi akhirnya membeli satu tisu seharga Rp. 2500.
Memang pada dasarnya si bocah sepertinya sudah terbiasa dan akrab mengobrol
dengan pengunjung kantin, yang mayoritas para mahasiswa. Perawakannya cukup
gemuk, sekilas mirip Kiki personel Coboy Junior, jadi mari kita sebut saja
namanya, Miki (mirip Kiki).
“Kak,
mahasiswa di sini ya?” tanya Miki kepada Angga dan Septi.
“Wah, nggak
kita berdua bukan mahasiswa sini, cuma numpang mau ke perpustakaannya aja,”
Seperti yang disebutkan tadi, Miki
memang doyang ngobrol. Bahkan ketika Angga dan Septi sedang makan, dia terus
saja mengobrol kepada mereka sambil duduk di kursi kantin, semeja dengan kedua
mahasiswa itu. Obrolannya ngelantur ke sana ke mari, sampai kepada suatu titik
di mana arah obrolan semakin serius. Angga dan Septi pun tertarik mendengar
cerita sang bocah.
“Biasanya kamu jualan tisu dari jam
berapa ke jam berapa?” tanya Septi.
“Ya, biasanya saya pagi sampai siang
sekolah, terus lanjut dari siang sampe sore, kadang malem jualan di sini. Di
sekitaran masjid UI ini, kak,” seloroh Miki.
Diam-diam Angga dan Septi terkejut.
Ternyata Miki masih menyempatkan dirinya untuk sekolah. Anak sekecil itu mampu
menjalankan dua peran sekaligus; siswa dan pekerja.
“Itu semua tisu ngambil dari mana?
Biasanya keuntungan sehari berapa?” tanya Septi.
“Ada bos saya, saya biasanya manggil
dia Tulang karena dia sama kayak saya dari Medan. Dia baik sama saya, kak.
Dulunya saya sempat jadi pengamen, cuma akhirnya disuruh dagang aja sama dia.
Eh, bener ternyata duitnya lebih banyak.
Untung sehari bisa seratus ribu, buat Tulang dua puluh ribu, sisanya
buat saya. Baik banget kan?
“Cuma jangan macem-macem deh sama
dia. Pernah ada juga bapak-bapak, digampar sama dia karena ketahuan bawa kabur
semua duit setorannya. Padahal bapak-bapaknya udah tua, lebih tua dari Tulang,
cuma tetep aja dia curang bawa kabur duit setoran jadinya digampar. Keras
banget!” cerita Miki agak menggebu-gebu khas anak kecil, sambil sesekali
matanya curi pandang ke arah soto yang sedang Angga makan.
Dia melanjutkan. “Asal kakak tau,
dia itu abangnya Hercules, yang megang tanah abang, tuh. Jadi, jangan harap
orang-orang bisa kabur dan main curang sama dia. Karena pasti dia kejar ke mana
aja mereka pergi sampai ketemu. Dasarnya dia orangnya baik, kak. Apalagi sama
saya, soalnya saya nggak pernah macem-macem sama dia.”
Terus terang Angga dan Septi agak
salut sekaligus bergidik mendengar ceritanya. Begitu keras hidup bocah ini,
persis seperti yang sering mereka lihat di film. Khusus Angga, dia agak
tersentil dengan antusiasme Miki untuk berdagang, yang menurutnya menyenangkan.
Belakangan ini, Angga didesak keluarganya untuk segera berdagang, tidak lagi
bekerja sebagai karyawan. Kemandirian Miki di usianya yang masih sangatlah muda
membuat Angga sedikit iri sekaligus malu.
“Saya sih, biasa ngobrol-ngobrol
sama mahasiswa kayak gini. Tapi kakak juga mesti hati-hati, yang suka jualan
tisu kayak gini kadang suka iseng nyolong handphone mahasiswa. Teman saya
pernah kayak gitu, terus ketahuan sama Tulang, eh digampar deh. Pokoknya,
Tulang paling nggak suka kalau ada anak buahnya yang nyuri, yang tangannya
iseng.
“Itu juga yang bikin saya kesel, kan
kasian mahasiswanya kalau gitu. Apalagi takutnya mahasiswa jadi nggak baik lagi
sama kita. Meskipun jujur, sih, saya juga pernah nyolong hape mahasiswa. Cuma
takut ketahuan sama Tulang, akhirnya besoknya saya balikin hape nya ke
mahasiswa itu. Saya minta maaf sama dia, dan akhirnya dia maafin dan malah
ngasih duit ke saya. Hehehe..” ujar Miki polos.
Saat Angga dan Septi hendak
menyelesaikan makanannya, tiba-tiba kedua teman Miki, yang sama-sama bocah dan
penjual tisu datang menghampiri meja mereka. Ada ribut-ribut dan celaan kecil
khas anak-anak antara mereka berdua, yang membuat Angga berpikir, “Ah, betapa
tidak beruntungnya mereka. Di saat waktunya anak seumuran mereka sedang enak
tidur siang, mereka malah sedang sibuknya menjaja dagangan mereka di luar.”
Ribut-ribut kecil itu ternyata
berujung pada suatu fakta yang mengejutkan, saat salah satu bocah teman Miki
mengungkapkan sesuatu yang menohok hati. “Nih, kak, si Miki payah. Duit hasil
dagangnya malah dia bisin untuk biaya ngeluarin bapaknya dari penjara.”
“Apaan sih, lo! Daripada lo, bapak
lo tuh bisanya cuma nyuruh lo kerja. Tapi dia sendiri malah enak-enakan di
rumah, cuma ngopi dan baca Koran,” kata Miki dengan nada tak terima.
APA?? Bapaknya Miki dipenjara?? Dan
Miki menyelamatkan bapaknya dengan uang hasil jerih payahnya berdagang?? Apa
yang diperbuat bapaknya sehingga harus masuk ke penjara? Lalu di mana ibunya?.
Pertanyaan demi pertanyaan langsung menyelinap ke dalam benak Angga. Namun,
semakin banyak pertanyaan tentang Miki, semakin pula muncul rasa iba yang
mendalam. Tak tega rasanya ia menanyakan hal-hal tersebut kepada Miki. Takutnya
itu hanya akan menyakiti hati Miki.
Setelah membayar makanan, Angga dan
Septi langsung bergegas ke masjid untuk shalat dzuhur. Melewati Miki dan kedua temannya itu, Angga
dan Septi berinisiatif memberikan uang kecil untuk mereka.
Tak lama setelah beribadah dzuhur,
kami pun langsung bergegas ke perpustakaan UI. Mereka ada di dekat sana. Ya,
Miki dan kedua temannya sedang bermain di tepian danau. Tak jelas apa yang
mereka mainkan, sepertinya hanya melempar batu-batu ke dasar danau. Mereka
tampak akur, meskipun Miki lebih pasif dengan duduk di saat kedua temannya
tengah asyik tertawa di sana. Ketiganya melepaskan dagangannya (menyimpan
tisu-tisunya di kantong plastik ukuran besar) ke tanah.
Ya, inilah dunia mereka sebenarnya:
Bermain. That’s it! Anak kecil memang seharusnya bermain tidak boleh tidak.
Bekerja? Bukan waktunya mereka untuk itu.
Terkadang banyak dari kita yang
ingin kembali ke masa kanak-kanak. Masa di mana hidup tidak ada beban, tidak
ada tanggungan. Tapi itu kan idealnya. Pada kenyataannya hal itu tidaklah untuk
Miki dan kedua temannya itu. Masa kecil mereka diisi dengan kerja keras. Kerja
di luar batasnya sebagai anak kecil yang ringkih dan lemah.
Bahkan bukan tidak mungkin, berbeda dengan kita, mereka malah
ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Lepas dari segala ketakutan masa kecil yang
mereka alami. Bebas dari keras dan kejamnya ibu kota. Berubah menjadi manusia
yang kuat, yang bisa berdiri sendiri menjalani hidup.
Angga sering merasa tidak bersyukur selama ini. Keluhan atas
dirinya yang bekerja sekaligus kuliah terus menerus ia lontarkan. Padahal,
situasi yang ia rasakan tidak jauh beda dengan apa yang tengah dijalani Miki.
Bahkan Angga jauh lebih beruntung bisa bekerja di kantoran yang sejuk ber-AC
dengan gaji yang cukup. Berbeda dengan Miki, yang penghasilannya tidak melulu
pas dan untuk mendapatkan uang ia harus rela berpanas-panasan di bawah terik
matahari, bermandikan keringat.
Dan ingat, Miki masih sangat belia untuk bekerja membanting tulang.
Well, khusus bagi saya, penulis, hal ini diharapkan bisa
menjadi cambuk penyemangat dan penyentil di saat saya sering berkeluh kesah
mengenai skripsi saya yang sedang dalam
proses. Skripsi yang sedang saya jalani nyatanya hanya secuil bila melihat cerita
Miki di atas. Bisa saja Miki tertawa melihat saya yang terlalu
membesar-besarkan masalah bernama SKRIPSI setiap harinya, dibandingkan dengan
apa yang dihadapi Miki sepanjang hidupnya.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa selalu saya baca ketika
masa-masa sulit sekonyong-konyong datang, nantinya.