/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Jumat, 30 Juli 2010

Tangis Obasute

Saya baru saja menonton pertunjukkan teater berjudul OBASUTE di IKJ. Obasute adalah legenda di masyarakat Jepang tentang sebuah adat yang mengharuskan meninggalkan Baba(nenek-nenek yang sudah sangat tua) di gunung untuk menghemat persediaan makanan.

Malam itu pertunjukkannya begitu indah. Akting para lakon sungguh memukau meskipun beberapa aktor berasal dari Jepang yang mengharuskan berbicaranya mesti dengan bahasa Jepang pula. Namun, kami para penonton masih dapat mengerti jalannya cerita lewat bantuan Voice Over (suara latar) berbahasa Indonesia untuk menjelaskan isi cerita. Dalam beberapa adegan, tubuh sayapun bergetar, terlena oleh backsound musik yang menghipnotis diri.

Hingga tiba adegan pada suatu ketika, sang anak harus melepaskan orang tuanya (Baba) di gunung sendirian. Setelah sebelumnya sang anak harus menggendong Baba --yang sudah teramat tua itu -- di balik punggungnya, menuju ke atas gunung. Seketika mereka sudah sampai, sang anak tetap tidak rela meninggalkan Baba sendiri di sana. Baba sudah berkeyakinan kuat bahwa dia harus pergi meninggalkan keluarga dan hidup menyendiri. Sang anakpun tidak menyerah, dia terus menerus menceritakan momen indah mereka berdua semasa kanak-kanak, lalu terus menerus bercerita kisah lucu juga menari hanya untuk membuat si Baba tersenyum. Karena alkisah menceritakan bahwa jika si anak mampu membuat Babanya tersenyum atau tertawa, maka Baba berhak kembali tinggal bersama anaknya di rumah.

Ketika si anak ingin menarik Baba, si Baba langsung memerintahkan anaknya untuk berhenti dan segera ia membuat garis batas di tanah, dengan tongkatnya.

"Baba...Tolong aku, baba...Maafkan aku jika selama ini aku tidak pernah menjadi anak yang sebagaimana kau harapkan" teriak si anak memohon, sambil menangis. Pada momen ini sungguh bulu kuduk ini merinding mendengar dan menyaksikannya.

Baba hanya setengah duduk lemas, sembari menundukkan kepalanya. Tak sampai hatinya melihat anaknya menangis seperti itu. Dia hanya mampu diam.

"Aku mohooonnnn Baba...Ubahlah keputusanmu ini!!! aku mohon..." teriakan sang anak menggelegar seisi ruangan. Tidak ada tanggapan dari Baba, si anakpun akhirnya luluh dan putus asa. Ketika ia sudah terduduk lemas, Baba memberinya sebuah permen. Lalu, keduanya tersenyum bahagia.

"Baiklah, Baba...Kini aku rela melepasmu...Selamat tinggal Baba" lirih sang anak sebelum pergi meninggalkan Babanya. Sang Baba lalu memperhatikan anaknya pergi jauh, seperti ada seonggok penyesalan yang luar biasa besarnya menyelimuti hatinya. Sakit ia rasakan hingga tangis air mata keluar segera.

Iringan musik latarnya menambah haru suasana dalam adegan itu. Pemandangan itu terasa menyesakkan dan menusuk. Hingga air mata saya keluar tiba-tiba. Entah mengapa saya begitu emosionalnya melihat itu. Yang jelas, saat itu saya membayangkan peristiwa itu terjadi dalam hidup saya dalam suatu dimensi dan arti yang lain.

Dimensi itu berupa: ketika mungkin suatu saat nanti saya yang meninggalkan orangtua saya, ataupun sebaliknya, mereka yang meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Sama seperti yang si anak dalam lakon itu rasakan, bahwa saya --sampai saat ini-- rasanya belum pernah menjadi anak yang diharapkan oleh orang tua saya.

Sebelum semuanya tiba, sebelum semuanya telat, jelas sekali bahwa saya ingin membahagiakan mereka. Karena mereka berhak mendapatkannya...berhak atas kebahagiaan dalam hidup, sebelum lenyap dan lepas nilai sebuah nafas...

Pelayan Masyarakat



Akhir-akhir ini kita semua sering mendengar pemberitaan yang cenderung negatif mengenai kepolisian Indonesia. Berbagai isu bertubi-tubi menyerang hingga menyebabkan citra buruk menyemat di tubuh salah satu institusi negara itu . Tidak sedikit masyarakat yang mulai membenci pihak kepolisian. Tidak perlulah saya membahas kasus penyuapan dan sebagainya seperti yang sudah terpampang di berbagai media tanah air, karena itu cukup rumit untuk saya pahami.

Saya lebih tertarik mengambil sudut pandang masyarakat mengenai "pertarungan"nya dengan para polisi di lalu lintas. Keluhan tentang kinerja polantas sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat, khususnya di kota besar macam Jakarta ini. Mari saya kerucutkan menjadi kasus tilang.

Di beberapa kawasan di Jakarta, sering terjadi penilangan yang dianggap tidak beralasan. Seolah para polisi itu mengantongi segudang cara untuk mencari kesalahan para pengguna kendaraan. Jujur saya pun juga turut resah jika faktanya sudah seperti ini. Namun, kali ini saya punya cerita yang mungkin bisa mengurangi citra buruk Polisi, setidaknya membimbing hati agar kita mampu jernih berpikir bahwa tidak semua polisi itu ber-cap "Kotor".

Maghrib itu saya dan beberapa teman saya sudah dalam perjalanan menuju tempat Futsal, di daerah Kalimalang. Agak tergesa dan ngebut saya menyetir mobil, karena kami sudah telat dari jadwal main kami. Sungguh tidak beruntung saya tidak dapat menemukan jalur putar balik di sana, jadinya saya terpaksa mengambil jalan yang agak jauh. Namun, tetap tidak terlihat jalur putar balik hingga saya melihat sebuah bajaj berputar arah secara ilegal di lampu merah, di ujung jalan --dekat bantaran kalimalang. Saya yang saat itu ingin cepat-cepat tiba di tempat futsal, sama sekali tidak berpikir panjang.
Langsung saja saya mengikuti "jejak" bajaj tadi dan PRRIITTTTTT !!!!!

Di trotoar, dekat emperan toko yang sudah tutup, sudah berdiri seorang polisi yang marah sedang meniup peluitnya kencang. Sungguh saya tidak melihatnya sebelumnya. Mungkin karena mata saya yang kurang awas memerhatikan keadaan sekitar, jika malam tiba. Sudah sangat jelas, saya yang melanggar peraturan maka saya yang bersalah.

" Aduh, gimana nih...Masya Allah...Ya Allah..Ya Allah " seru saya panik karena memang baru kali inilah saya kena tilang. It was the first time.

" Tam, please ya lo temenin gue,, sumpah gue ngeri banget neh " jelas saya yang sangat membutuhkan partner untuk menghadapi ini.

Lalu, saya dan Tama langsung digiring masuk ke posko polisi.

Singkatnya, seperti biasa polisi itu segera mengecek SIM dan STNK saya, lalu selanjutnya meminta saya untuk menjalani sidang. Sayangnya, kalau tidak salah ingat, saya harus menjalani ujian kampus di hari sidang yang sudah ia tentukan itu. Saya benar-benar panik, dan saya yakin sekali wajah saya sudah sangat pucat saat itu. Kehadiran Tama tidak terlalu membantu dalam me"lobi", namun cukuplah menenangkan hati ini sedikit, bahwa ada seorang teman yang mendampingi saya.

Polisi itu masih terbilang muda, dan hal itulah yang membuat diri ini semakin cemas karena biasanya yang muda itu darahnya masih panas dan menggebu-gebu dalam bersikap. Dia akhirnya meminta pengganti berupa sejumlah uang --saya lupa berapa nominalnya--, namun yang diminta tidak cocok dengan yang ada di dompet saya.

"Pak, beneran deh uang saya ya cuma segini aja, RP.15000. Uang ini buat nanti patungan main futsal" kata saya jujur,sembari menunjukkan isi dompet saya padanya. Tama pun juga membawa uang yang pas untuk patungan futsal.

"Aduh...kamu ini...bandel sekali sih kamu !!! Kamu tau kan kalau kamu salah dan melanggar tadi??" kata Polisi itu tegas.

"Iya..iya pak saya ngaku salah banget. Tadi saya bener-bener nggak kepikiran sama sekali, karena buru-buru jadinya saya ikutin aja bajaj itu. Maafin saya pak..."

Mungkin karena iba melihat rupa saya yang sudah amat sangat memelas ditambah sikap tulus minta maaf atas kesalahan yang saya buat, akhirnya polisi muda itu melunak.

"Ya sudah, kali ini nggak apa-apa...Cuma saya nggak mau tanggung jawab ya kalau hal ini terulang lagi"

"Iya pak, pasti...InsyaAllah lain kali saya akan lebih hati-hati" ketakutan saya perlahan mereda.

Polisi muda itupun lalu mengantarkan kami kembali ke mobil. "Oh iya, kamu pada main futsalnya di mana?"

"Itu lho, pak, nggak jauh dari sini, terus aja dan tempatnya di sisi kiri jalan" kata gue.

"Saya sama teman-teman juga sering lho main futsal, cuma kayaknya bukan di tempat kalian itu, deh" kata Polisi itu sangat Friendly.

Karena keramahan plus keberadaan satu fakta bahwa sepakbola adalah alat pemersatu, sayapun jadi leluasa untuk berbasa-basi. "Wah, boleh donk kalau kapan-kapan kita sparring, pak "

Polisi itupun mengangguk setuju sembari tersenyum, ketika kemudian saya meralat tawaran saya itu. "Eh, nggak jadi deh, pak. Ntar kaki saya bisa patah adu kaki lawan bapak-bapak polisi, hehehehe. Yaudah, terima kasih ya pak, saya jalan dulu", sebelum berlalu saya sempat menyalami tangan polisi baik hati itu.

Pengalaman itu sampai kini masih kuat terekam di kepala. Ketika saya melihat berbagai pemberitaan maupun gambaran buruk mengenai polisi --khususnya yang beroperasi di jalanan-- saya selalu mencoba berhenti memaki, laluu membuka lagi ingatan itu. Sehingga saya sadar bahwa Polisi itu masihlah berwujud manusia. Di samping ada yang menyalahgunakan wewenang, masih banyak pula yang mau menjaga dan bertanggungjawab penuh atas profesinya.

Ke depannya, saya selalu mengharapkan keberadaan polisi tidak lagi meresahkan bahkan menakuti masyarakat, karena sejatinya mereka mengemban tugas yang teramat mulia yaitu melayani masyarakat...

Minggu, 25 Juli 2010

Kecut, Bebal, Timpang...

Peluh membasahi kulit, pula menembus pakaian kumal terhantam polusi...

Rambut semrawutan ditebas laju angin terhias di atas wajah dekil berminyak...

Jari-jari berkuku hitam mahir memilah-milah uang, lembar demi lembar, receh demi receh...

Bau badan kecut menyengat seolah berteriak:"Akulah pekerja keras !!!"

Tuli sudah telinganya mendengar jerit marah klakson --mewahnya mobil kota...

Hatinya pun sudah mengeras, bebal, tidak mempan oleh cacian, hinaan kasar mereka yang murka...

Anak, Istri menunggu seraya berharap ia akan pulang mengantongi uang banyak...

Demi urusan perut, ia terjang semua ketakutan,ketidakpastian dan ketimpangan yang selalu disajikan oleh sang Metropolitan...

La Revelacion

Terpatri dalam lamunan siang itu...

Mengapa wajahmu menyembulkan gundah ?
Rasa-rasanya paras murammu itu tidaklah cocok terus menerus ada di sana

Dulu kau menganggap dunia ini indah dan mudah...Wajar saja, karena dirimu masih kuat tertopang oleh bermacam sendi

Sekarang perlahan topangan itu terkikis, hanya mampu mengandalkan diri yang bergerak maju...mau tidak mau...

Jangan..Janganlah sampai terbersit untuk menyalahkan mereka..karena murammu itu kau sendirilah yang bentuk

Mereka menghujanimu salju, bukan dengan kerikil tajam seperti yang kau duga

Sedangkan yang lain pergi tidak untuk menjauhi, melainkan bersiap kembali untuk menghampiri dirimu diiringi tawa

Kini tiba waktunya engkau melesat, tidak perlu terlalu kencang...Cukup bergerak, sekalipun tertatih, sekalipun berguncang...

Jumat, 23 Juli 2010

Hamka Van Der Wijck

Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainudin bahwa saya pulang ke kampungku,hanya dua yang kunantikan : pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku yang bermula, yaitu akan menunggumu,biar berbilang tahun, biar berganti musim. Dan yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang-awang

Agak terenyuh saya sekejap setelah membaca salah satu penggalan surat terakhir Hayati untuk Zainudin, di atas.

Mungkin terkesan cengeng, namun tidak bagi siapapun yang membaca utuh keseluruhan roman "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya Buya Hamka ini. Si penulis berhasil mengombang-ambingkan emosi laki-laki saya dalam cerita ini. Kemenangan yang luar biasa hebat bisa menjadi hambar bila masih ada luka yang menganga lebar yang didapat di hari lampau.

Zainudin benar-benar sudah benci dan muak terhadap Hayati. Namun pada akhirnya iapun menyesal karena perasaan benci itu hanya bergerumul di emosinya saja, tidak di hatinya yang terdalam. Sesal yang teramat sangat dideritanya kemudian, dan hingga saatnya itu datang, Zainudin merasa menjadi orang yang paling hina sedunia. Karena ia tak mampu memberikan maaf, sedangkan tuhannya, ALLAH SWT selalu mampu memberikan itu pada setiap umatNya.

Juga, dalam roman ini ada beberapa quote Hamka yang berhubungan dengan wanita yang menarik buat saya:

"Orang yang sampai gugur rambut di kepala mencari uang kian kemari, hanyalah semata-mata lantaran diperintah oleh senyuman perempuan"


"Tetapi itulah perempuan, dia kerap kali sampai membunuh orang dengan perbuatannya yang tidak disengaja"

"Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya"


Awalnya,agak terkejut saya membaca kutipan-kutipan, yang menurut saya cukup sinis dan sangat menohok itu. Entah mengapa Hamka begitu luwes melepas pemikiran yang sebetulnya sederhana itu ,hingga saya menjadi tersadar bahwa pandangan seperti itu benar adanya. Saya dapat melihat hal tersebut di hari-hari saya hingga saat ini.

Setelah membaca habis "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", terbesit kesimpulan seperti ini: Mungkin saja Hamka pernah mengalami kisah cinta yang kurang beruntung di hari mudanya, pula bahkan "luka" yang dideritanya itu pernah sebegitu parah hingga lahirnya roman mengagumkan ini. Tokoh Zainudin yang seorang pujangga sungguh lekat dan kuat merefleksikan bahwa ia sebenarnya adalah Hamka sendiri.

Meminjam perkataan teman yang mengatakan bahwa cerita yang baik selalu lahir dari penciptanya memposisikan diri sebagai pembaca. Dan benar, sebagai pembaca, saya menilai Hamka sangat berhasil mempermainkan laju emosi saya pada cerita ini. Ceritanya begitu tajam dan mengalir seolah semuanya itu terhampar di depan mata kita: Percintaan dua anak manusia yang berujung nyata menyakitkan.

Di sisi lain saya juga beranggapan bahwa cerita yang bagus akan muncul dari pencerita yang berusaha menelusuri dalam-dalam tokoh cerita,menempatkan diri masuk ke dalam cerita...Atau bahkan si penulis pernah mengalami kejadian seperti yang ia ceritakan, sehingga tertanam pada kisah itu sebuah nyawa yang kuat.

Ya, saya yakin anggapan saya itu tidak meleset,setidaknya tidak terlalu.

Karena, siapa yang berani menjamin bahwa seorang ulama seperti Hamka tidak pernah patah hati??

Bye..Dudu...


Cukup emosional para pendukung Arsenal melepas kepergian Eduardo Da Silva ke Shakhtar Donetsk.Perjalanan karir dia di Arsenal terbilang singkat, hanya 3 tahun. Tapi hal itu cukup membuat kami (baca: para Gooners) mempunyai rasa simpatik yang tinggi terhadapnya.

Diawali dengan kedatangannya di Arsenal, yang diproyeksikan sebagai suksesor sang legenda: Thierry Henry. Kita semua tahu bahwa Henry merupakan salah satu "raja" yang mengharumkan dinasti Arsenal sepanjang sejarah. Iapun memegang rekor sebagai pemain Arsenal yang paling banyak mencetak gol -- belum tertandingi sampai saat ini. Tentunya, siapapun yang ditasbihkan menjadi penerusnya akan membopong beban yang maha berat di pundaknya.

Namun, faktanya Dudu, panggilan Eduardo, mampu menjawab tantangan tersebut. Di musim perdananya ia berhasil mencetak 12 gol plus 8 assist untuk Arsenal. Itu jelas merupakan hal yang luar biasa bagi seorang debutan, dan karena ini pula para Gooners pelan-pelan mampu menghapus tangis air mata akibat kepergian King Henry. Dudu mampu membuat kami segera "melupakan" legenda super Arsenal itu.

Hingga datanglah mimpi buruk itu. Ketika ada seseorang pemain yang mempunyai niat jahat atas keindahan permainan Arsenal. Dan berhasil, ketika sang nasib memilih Dudu sebagai tumbalnya. Dalam suatu pertandingan, pemain Birmingham City, Martin Taylor, sukses mencederai Dudu hingga engkelnya rusak parah...

Meskipun pada akhirnya Dudu dapat kembali pulih, namun mentalnya belumlah dapat dikatakan normal kembali. Wajar karena cedera yang menghantuinya itu sangatlah fatal, bahkan bagi saya itu adalah salah satu kasus cedera yang paling parah dalam dunia persepakbolaan. Arsene Wenger jarang memberikannya waktu bermain karena permainannya yang tidak lagi sehebat dulu, pula tambahan faktor cedera hamstring kambuhan yang sering menggerogoti.

Sekarang ia sudah berlabuh ke Shakhtar Donetsk demi mendapatkan jam terbang main yang lebih banyak. Kepergiannya cukup memberikan duka bagi para Gooners, bahkan levelnya cukup melebihi moment ketika Henry cabut ke Barcelona.

Dia sudah menjadi pahlawan bagi Arsenal karena pernah memberikan inspirasi pada kami semua: jangan menyerah, karena waktu selalu tersedia bagi mereka yang mau bangkit. Ya,cedera parah yang sudah hampir mematikan karirnya dulu tidak lantas membuatnya takut dan berhenti. Sebaliknya, ia lawan itu semua dan tetap maju ke depan.

Salah satu kutipan pesan terakhirnya untuk keluarga besar Arsenal :

I want to say thank you to the Arsenal supporters - you have been fantastic to me and always sung my name and I will never forget this.

Although I have now left the Club, Arsenal will always be in my heart. I will always look for the Arsenal results and of course, I wish Arsène Wenger and the great players at the Club well for next season and the future.


Ya, saya juga tidak akan pernah melupakanmu Mr.Dudu...Karena tidak seperti yang lain, anda meninggalkan kami dengan cara yang baik...

GOOD LUCK FOR YOUR NEXT DAY DUDU....

Senin, 12 Juli 2010

Unknown Rock Musician

Bagian yang gue tunggu-tunggu akhirnya keluar juga dari sang vokalis itu :

I’ve been walking these street at night...
Just trying to get it right...


Iya, itu adalah bagian teriakan atau lengkingannya AXL Rose saat dia menyanyikan lagu PATIENCE by Guns n Roses. Malam itu gue dan kedua temen gue (Igo dan Feby) sedang berada di depan salah satu gerai produk Handphone, pelataran PRJ. Di gerai tersebut tersaji akustikan musik yang menampilkan dua musisi Rock (gue nggak tahu siapa nama mereka). Kira-kira umur mereka berdua baru sekitar awal 30an. Yang memegang gitar berambut panjang sebahu sedangkan sang vokalis lebih nyentrik lagi : berambut gondrong sepunggung sedikit keriting –di cat pirang pula—, dan tato memenuhi sekujur kedua lengannya. Sepintas mirip Robert Plant, atau lebih tepatnya Robert Plant wanna be,,hehehe...

Hal ini pula yang membuat gue yakin kalau Rocker seperti mereka itu pastinya juga menggemari Led Zeppelin. So, ketika mereka menawarkan para pengunjung untuk mengajukan request lagu, gue tanpa segan langsung menuju ke stage kecil itu.

“Bang, LED ZEPPELIN ya !!” seru gue.

Merekapun agak terkejut. “Wuehhh, LED ZEPPELIN !! Gila..gila jarang banget tuh yang request lagu beginian “ kata sang vokalis, diikuti anggukan bahagia si gitaris. Terlihat jelas mereka salut atas pilihan lagu gue yang mungkin cenderung Rare.

Kemudian langsung saja mereka memainkan STAIRWAY To HEAVEN dengan cantiknya. Meskipun hanya bermodalkan satu gitar akustik, namun lagu keramat itu nggak hilang esensinya. Lengkingan Vokalisnya pun ikut menghidupkan suasana –sekalipun kualitasnya masih cukup jauh di bawah si empunya lagu – ini terbukti dari menjadi penuhnya pengunjung berhenti di depan stage untuk menonton. Padahal sebelum request an gue ini muncul animo pengunjung nggak terlalu besar terhadap sajian musik akustik tersebut.

Dari hal itu gue semakin menyadari bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mencintai musik Rock klasik dan tentunya berkualitas tinggi.

Seusai mereka membawakan lagu Stairway to Heaven, tepuk tangan kamipun riuh memecah. Sang gitaris tertawa puas dapat mampu menyelesaikan “amanat” dari Mbah Jimmy Page dengan baik. Lalu, diapun mengarahkan jempolnya kepada kami yang menonton agak paling depan. Pula, nggak mau ketinggalan Si Vokalis gondrong itu mengayunkan tangannya ke atas lalu membentuk simbol salam tiga jari pada kami.

“Setelah ini masih ada Rock n Roll nya Led Zeppelin, jadi tunggu aja” suara si Vokalis membahana melalui mikrofon.

Lagu Going Where The Wind Blow dari MR BIG kemudian mereka mainkan. Cukup memikat mereka memainkan karena masih saja para pengunjung memadati sekitar stage. Sehingga datanglah lagu berikut yang gue tunggu-tunggu, lagu yang mereka sudah janjikan : ROCK AND ROLLL!!!

It’s been a long time since i rock and rolled...
It’s been a long time since i did a stroll...


Perform mereka sungguh memukau, meskipun lagi-lagi mereka memainkan itu hanya dengan satu gitar akustik, namun kali ini Sang Vokalis memamerkan kebolehannya dalam memainkan harmonika. WOW AWESOME!!!

Agak aneh memang, mengingat di saat yang bersamaan Panggung Utama PRJ sedang tampil pula beberapa band papan atas Indonesia, namun gue sama sekali nggak tertarik menonton perform mereka. Mungkin beda ceritanya kalau yang tampil misalnya The Gribs atau bahkan God Bless, pasti gue lebih memilih menonton di panggung utama PRJ itu ketimbang hanya menyaksikan dua musisi unknown, di stage yang mini pula.

Hujan yang terus menerus turun di PRJ dari sore hingga menjelang maghrib ditambah kondisi kami – gue,Igo dan Feby— yang sempat basah kuyup membuat suasana hari menjadi dingin. Namun, permainan gitar yang ciamik dan teriakan canggih dari kedua musisi Rock itu mampu membuat PRJ diliputi kehangatan tersendiri untuk kami, malam itu.

Sabtu, 10 Juli 2010

DUA PENGAMEN KECIL

Saya sudah duduk di tepian kursi –tepat di bagian belakang kursi sang sopir— ketika angkot yang saya tumpangi masih “mengetem”, menunggu penuhnya penumpang mengisi kapasitas mobil. Sengaja saya memilih duduk di situ agar dapat keluar dengan mudah, karena pemberhentian yang saya tuju tidaklah terlalu jauh jaraknya. Di luar sana, saya melihat ada beberapa pengamen kecil sedang asyik bermain di pelataran ruko, tak jauh dari tempat angkot ini terparkir.

Tak lama kemudian, penuhlah seisi angkot oleh beberapa penumpang. Agak ganjil mengingat saat itu jam tangan saya sudah hampir menunjukkan pukul 10 malam. Bangku kecil yang selalu tersedia di dekat pintu belakangpun sampai harus terisi dua orang, saking penuhnya.

Segera saja Pak Sopir memulai menancap gas. Namun, ketika Pak Sopir baru saja memasukkan gigi 1, muncullah dua anak kecil pengamen –yang sedang asyik bermain tadi—sekejap menyelinap dan berdiri,bergelantung di pintu masuk angkot. Saya terka salah satu anak kecil itu berumur 10 tahun sedangkan yang satunya lagi berumur kira-kira 6 tahun. Kemudian, berjalanlah angkot ini ketika terdengar teriakan kasar seorang pemuda (kalau boleh saya kembali menebak dia adalah salah satu “preman” terminal) yang mengarah kepada dua anak kecil itu : “ WOYY, PENGAMEN !!! BIKIN PENUH AJA LO !!”

Laju angkot agak kencang. Mungkin karena malam itu jalanan sudah berangsur sepi. Lalu, mulailah si pengamen 10 tahun bernyanyi –ya, hanya bernyanyi tanpa ada atribut musik lainnya—sedangkan satunya hanya diam, dengan sesekali angkat suara pula jarang-jarang. Tidak jelas lagu apa yang mereka nyanyikan kala itu. Yang mampu saya tangkap: Lagu yang dibawakan bertemakan rohani islami.

Lalu, muncullah rasa iba di hati. Melihat dua anak sekecil itu harus mengamen di malam hari. Kumalnya pakaian serta penampilan mereka menunjukkan bahwa pasti sudah hampir seharian mereka berkerja mencari nafkah dengan mengamen, di kerasnya kota.

Rasa ngeri dan takutpun muncul saat melihat mereka mengamen dengan cara yang bahaya: Bergelantung di ambang pintu angkot dengan minim pijakan maupun pegangan. Tentu saya tidak seberani mereka dalam hal ini. Mungkin saja mereka sudah terbiasa, atau mungkin pula mereka tidak peduli atas bahaya yang bisa saja terjadi pada mereka, ke depannya. Ya, mereka masihlah sangat terlalu kecil untuk berpikir sepanjang itu.

Lucu mendengar nyanyian mereka yang terkesan semaunya, tidak beraturan dan agak malas-malasan. Namanya juga anak kecil. Maka dari itu, seketika angkot ini baru saja berhenti di sekitar stasiun Tebet untuk menuruni salah satu penumpang, merekapun langsung selesaikan nyanyiannya. Kemudian segera saja si pengamen 10 tahun mengedarkan tangannya kepada seluruh penumpang untuk menagih “bayaran”.

Angkot ini baru hendak melanjutkan perjalanan menyeberangi rel stasiun Tebet, ketika dua pengamen cilik itu turun. Kemudian sayup-sayup telinga ini mendengar:

“Ah, anj*ng...dapetnya cuma sedikit !!“ keluhan itu keluar dari mungilnya suara si pengamen 6 tahun.