/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Rabu, 27 Oktober 2010

Mengkhianati Angan ? Tidak...

Terus saja kaki ini melaju dari Terminal Ciamis menuju entah kemana...Tengah hari yang semestinya terik itu kini malah menjadi mendung. Tapi aku tidak peduli. Datanglah sang hujan kalau memang Dia maunya seperti itu. Saat ini aku sedang tidak berselera untuk mengeluh. Sekalipun nanti turun hujan dan membasah kuyupkan badan, setidaknya di saat-saat seperti itu akan ada banyak orang yang dapat mencuri setitik kebahagiaan. Mereka itu selalu menantinya bukan sebaliknya: mengeluhkan.

Langkah ini terhenti di Stadion Galuh --tak jauh dari Terminal Ciamis. Kosong, di sana tidak ada siapa-siapa. Rasanya tempat ini cocok untuk rehatku sebentar,sementara otak berpikir mengenai langkahku berikutnya. Lalu lalang bermacam kendaraan menjadi tontonan saat aku duduk di salah satu pojokan luar stadion.

Cukup lama berpikir hingga aku menemukan jawabannya: SOLO !!! aku harus pergi ke sana sekarang juga.

Sedari dulu hanya angan ini saja yang sudah menginjak tanah Solo, tempat di mana Stadion Manahan berada. Mungkin secara tidak langsung ada suatu kontak yang kuat antara stadion di mana aku berpijak saat ini dengan stadion Manahan itu, sehingga secara tidak sadar daya magis ini mengingatkanku pada sesuatu yang sebenarnya telah lama mengendap di memoriku.

Sebuah bis yang kuyakin baru saja lepas dari Terminal melintas. Aku bergegas menghentikan lajunya, lalu mendapatkan kursi di bagian dekat pintu depan. Ada kelegaan yang amat sangat saat aku mampu memuaskan dan meringankan beban angan lamaku ini.

Di dalam bis belum terlalu ramai sesak penumpang, meskipun baru saja masuk sepasang ibu-bapak bersama satu anaknya yang masih bocah. Sedangkan, angan ini kembali beranjak ke Solo. Aku mulai mempersiapkan apa saja nanti yang akan aku lakukan seketika sampai di Stadion Manahan.

Ahhh..banyak orang yang mengatakan: kita semua seharusnya mampu membayangkan berbagai hal di otak kita,karena Tuhan sudah menganugerahi manusia dengan sebuah teater mimpi yang besar, yang bisa kita utak-atik semaunya, sekehendak hati kita. Namun, nyatanya tetap saja anganku tidak benar-benar sanggup membayangkan seperti apa rupa Stadion itu, seperti apa wajah Solo tersebut.

Aku memang sudah sepatutnya tidak harus selalu menyerap mentah-mentah perkataan orang-orang macam itu. Itu akan kumulai dari sekarang.

Sementara bis terus melaju, di luar sana hujan mulai turun rintik-rintik dan tidak butuh waktu lama, sekonyong-konyong hujan deras mulai turun dengan megah. Dan kemegahannya itu kemudian seenaknya membelot menukik masuk ke dalam bis melalui pintu masuk, yang berada tepat di depanku. Tubuhku diterpa angin dan air hujan dingin jadinya.

Ingat, jangan pernah ada yang berpikir aku akan berkhianat pula seperti laju hujan itu, menilik pada perkataanku sebelumnya: Aku tidak akan mengeluh kala hujan datang. Buktinya, sekalipun perlahan pakaian dan tubuhku basah sebagian aku tetap tidak berpindah ke kursi lain --yang masih banyak belum terisi. Aku akan mencoba menikmatinya tanpa harus memikirkan akibat di beberapa jam kemudian. Namun,jangan lalu menyalahkanku ketika sang kondektur kemudian malah menutup pintu itu demi kenyamanan para penumpangnya --yang tentunya bukan saja aku seorang.

Kulempar pandangku ke luar lewat jendela. Kulihat tiga anak kecil, masih di tengah guyuran hujan, sedang bermain sepak bola di sebuah lapangan sepakbola yang hijau, terbuka dan luas. Melihat sekilas dari bentuk lapangannya, layaknya melihat sekelompok petani yang sedang bercocok tanam menggarap sawah. Rumput-rumputnya tinggi yang tertanam pada tanah dengan genangan air yang tinggi pula.

Sesaat lagi aku akan meninggalkan Ciamis. Daerah yang sangat kuyakin tidak pernah aku singgahi sebelumnya.

Benar saja, sejumput kemudian aku sudah berada di Tasikmalaya. Segera menuju Pool Bis yang mengantarkanku ke Jakarta.

Jakarta?

Ya, aku harus pulang ke Jakarta sekarang. Aku tidak peduli, dan bahkan aku mendapatkan ilmu baru: selain tidak lagi mempercayai mentah-mentah perkataan orang, aku juga tidak akan mempercayai segelimang anganku begitu saja.

Jadi, akan kubiarkan anganku saja yang pergi ke Solo, ke Stadion Manahan, namun, tidak serta merta diriku...Itu pasti.

Kamis, 07 Oktober 2010

Siluet Nyata

ALLAHUAKBAR...ALLAHUAKBAR...LAA ILAA HAILALLAH...
MALING !!! MALING !!!

Senja itu, baru saja adzan magrib berangsur menuju akhir, ketika terdengar teriakan orang-orang menyebut Maling.

Sontak saya yang awalnya agak malas untuk beranjak dari tempat tidur --tidak menghiraukan seruan adzan-- jadi terbangun dengan agak tersentak. Teriakan maling itu bersumber dari mesjid samping rumah saya.

Dengan langkah sedikit terhuyung saya mengintip dari balik jendela. Seseorang sudah duduk berjongkok di perempatan gang. Dia menjadi pusat perhatian warga yang terus menerus berdatangan dari berbagai arah. Saya begitu penasaran ingin melihat maling tersebut. Tak berapa lama kemudian saya sudah menjadi bagian dari kerumunan dan menyaksikan maling itu.

Dari perbincangan singkat dengan salah satu warga saya mendapat info bahwa maling itu berusaha mencuri sendal juga sepatu,sebelum akhirnya tertangkap basah oleh warga. Sudah menjadi sebuah rutinitas di tiap harinya, mesjid samping rumah saya itu selalu didatangi orang-orang --terutama mereka yang beraktivitas di pasar Tebet dan sekitar-- untuk solat berjamaah. Rupanya,sebelum ini memang sudah tersiar kabar tidak jarang para jamaah kehilangan sandal maupun sepatunya.

Melihat kondisi jalan dipenuhi oleh membludaknya warga, pihak keamanan setempat berinisiatif untuk membawa maling tersebut ke posko keamanan. Karena dari tadi saya belum sempat melihat dengan jelas rupa sang maling, sayapun mengikuti mereka hingga ke posko.

Di sana baru terlihat jelas bahwa sosok maling itu adalah seorang pria dengan umur berkisar 30 tahun ke atas. Berperawakan pendek,kurus,berkulit gelap dan ikal pendek rambutnya. Dari atas batang hidungnya mengalir darah yang pekat. Saat digiring pihak keamanan tadi saya juga sempat melihat jalannya yang terpincang-pincang. Entah apa yang dilakukan oleh para warga saat pertama kali menyergapnya tadi.

Dengan tangan terikat di belakang, ia diinterogasi. Berbagai pertanyaan, pernyataan yang bernada ancaman muncul:
"Kamu tinggal di mana?!"
"Mana teman kamu?! Kamu sendiri atau berkomplot?!
"Masih untung kamu! Kalau di daerah lain kamu pasti sudah dibakar !!"

Bersandar pada sebuah tiang listrik dan beralaskan lembabnya aspal jalanan ia terus menjawab satu per satu pertanyaan, dengan nada mengiba, dengan wajah tertunduk.

Saat dompet dalam kantong kreseknya diperiksa, sama sekali tidak ada sehelaipun lembar uang. KTP maupun kartu identitas lainnya pun nihil. Lalu, seorang pemuda berseloroh "Pak, dibuka saja bajunya!". Dilepaskanlah kemeja lusuhnya itu. Tampaklah kemudian badan kurus kering yang nyatanya tidak segelap yang terlihat seperti sebelumnya.

Salah seorang keamanan sudah mengambil ancang-ancang untuk memukul perut atau dadanya --saya tahu itu hanyalah sebuah gertakan semata-- ketika salah seorang ibu menegur dan melarang keras tindakan itu: "Sudah, jangan...Badan kurus kering begitu,kasihan..."

Kemudian saya teringat bahwa saya belum solat maghrib. Alih-alih terus menyaksikan interogasi itu sayapun memilih kembali ke rumah. Lagipula rasa iba saya berangsur memuncak melihat pemandangan seperti itu. Bulu kuduk inipun sempat lama tegak berdiri kala mengingat hukuman yang sudah,sedang dan akan diterima si maling akibat perbuatannya itu. Ya, mencuri sandal/sepatu di mesjid.

Baru saja saya membelok arah menuju rumah, sudah datang mobil sedan abu-abu, bersirine dan beratapkan lampu besar kelap-kelip, di perempatan gang tadi. Rupanya, seorang warga sudah melapor Polisi.

Saya tertegun. Mengapa harus seperti ini???

Dari ujung gang maling itu kembali digiring pihak keamanan dan beberapa warga, untuk kemudian dimasukkan ke dalam mobil polisi. Wajahnya penuh dengan warna ketakutan. Dan jalannya masih tetap terpincang. Segera setelah ia didudukkan di kursi belakang, mobil polisi itupun berjalan meninggalkan kami semua.

Sepintas saya sempat menangkap pemandangan itu: Langit sudah menghitam, sedangkan terang sudah menjadi milik lampu jalan. Cahayanya yang kuning menyala menembus masuk kaca mobil polisi itu. Membentuk siluet nyata sang maling yang tengah duduk,tanpa bersandar pada punggung jok, dengan mata menerawang lurus ke depan.


Di suatu tempat, di hari yang lain, suasana yang berbeda dengan tajuk yang berlainan pula:
"Maaf kawan, terpaksa aku lakukan ini. Terkadang aktivitas anda kerap meresahkan masyarakat", kataku, setelah menepuk sepasang nyamuk yang tengah kawin, hingga tewas mengesankan.