Kamis itu, tepatnya saat terang
siang berubah menjadi abu – abu mendung, gue udah ada di belakang boncengan
motor Ano, temen gue. Kami sudah berada di kawasan salah satu Universitas
terbesar, termahsyur, dan terbaik di Indonesia. Hari itu, disamping mengisi
kekosongan waktu ( baca: menganggur, nggak ada kerjaan ) ,kebetulan kami ada
suatu keperluan di sana, untuk mendapatkan beberapa informasi program perkuliahan
ekstensi di sana.
Di sepanjang perjalanan
tak henti gue menoleh kanan – kiri melihat dan merasakan atmosfer kampus itu.
“ Kambiiingggg….neh baru
kampus, no!!, nggak kayak kampus situ sepi… “, kata gue.
“kampus situ juga, njir!! “, Ano membalas.
Sejurus kemudian gue
melihat gadis cantik melintasi trotoar jalan.
“ Tuh 10…10…!!” , sahut
gue dari belakang.
“ 10 ape? “
“ Arah jam 10 geblek!! “,
gue gemes terhadap kegeblekan teman gue itu.
“Oiye…beuh , beuh…seger.
Ga ada tu yang modelnya kayak gitu di kampus kita”, kata Ano setelah tersadar.
“ Ya iyalah nggak ada,
isinya aja hampir laki semua. Kalo ada juga mata lo nggak bakal burem terus
kayak gitu”
“ Anjir lo “
**
Setelah kami mendapat berbagai informasi program
perkuliahan di sekretariat, kami berniat untuk tidak langsung pulang. Perut gue
lapar, butuh sesuatu untuk diisi.
“ Heh jy, samar – samar
gue inget salah satu temen gue ada yang pernah ngomong… “ kalimat Ano berhenti,
memberikan waktu untuk otaknya berpikir. “itu lo bukan sih yang ngomong?? ”,
lanjut Ano.
“Ngomong apaan?, timpal
gue.
“ Oh, berarti itu bukan
lo ya yang ngomong ? “
Gue bersungut heran sama
omongan Ano yang nggak jelas.
“ Iya jadi gini, temen
gue bilang kalo suatu saat lo kelaperan pas lagi berada di kawasan ini kampus,
lo makan aja ke kantinnya Fakultas Psikologi”, Ano melanjutkan.
“ Mang nape? “
“ Dia bilang lo bisa
kenyang dua kali kalo makan disana”
“Padahal gue Cuma makan
sekali, gitu maksut lo? “ , tanya gue tambah heran.
“Iya, maksudnya bukan
perut lo noang yang kenyang, tapi mata lo ikut – ikutan kenyang ”, kata Ano.
Gue udah bisa membaca
kemana arah pembicaraan Ano itu.
“Ooooo…Oke ngarti gue,
ngarti , ngarti “
“ Hehehehe…” ,Ano
tersenyum licik. Senyum itu mematikan, karena pernah memakan korban, yaitu gue.
Pernah pas gue demam, ngeliat senyum dia yang macam itu gue langsung muntah tak
terkendali.
Gue sama Ano langsung
meluncur mencari zona kayangan itu.
**
Sesampai di pelataran
fakultas psikologi tersebut, hujan mulai turun. Tubuh gue bergetar, perut
berguncang, hati berdebar. Beberapa gadis elok rupawan lalu lalang saat kami
memasuki lobby, ini merupakan pemandangan mahal buat kami yang dalam
kesehariannya sulit menemukan gadis di kampus, tempat kami kuliah saat ini.
“ elok nian para makhluk
psikologi ini”, sesaat Ano mencoba menjadi pujangga sebelum kepalanya gue
keplak.
“Busyet…Bahasa lo timpang
ma muka !, udah gue laper, cari yok kantinnya”
Gue nggak bisa bohong,
kalau sebenarnya gue juga takjub melihat para gadis cantik itu. Cuma, karena
gue gengsi sama Ano, jadilah gue tahan niat gue untuk ikut mendendangkan pusi saat
itu.
“ Masya Allah….” , kata
Gue dan Ano berbarengan saat kami sampai di kantin.
Rupanya di sinilah tempat
berkumpulnya bidadari kayangan kala mereka lapar di siang hari. Kalau saja gue
menggunakan kode “arah jarum jam” untuk menunjukkan dimana gadis cantik berada
saat ini, mungkin angka jam yang biasa kita lihat akan berubah dari 12 angka saja
menjadi 30 angka. It’s incredible !!...
“ Gue nge take-in meja
dulu ya, jy. Lo pesenin alpuket sama… bakso juga boleh”, kata Ano
“Ah kambing, bisa aja lo
nyolong start. Tapi okelah, daripada ga dapet tempat nanti. Eh, no, ambil yang agak dipojokkan itu
ya, kayaknya strategis tuh view nya” kata gue setengah berbisik.
“Apaan yang strategis?”,
sahut Ano.
“View nya…” , jawab gue
dengan senyum menyeringai.
Ano tetap terpaku tidak
mengerti, dahinya mengernyit. Dia masih tidak mengerti maksud gue, kalau view
itu sudut pandang pewe kita untuk
cuci mata.
“View nya???”, kata Ano
“View…..view nyaaaaahhh!!”,
suara gue berteriak namun tertahan, udah gemes sama kebolotan Ano.
“View ?”, Ano masih
berpikir keras , sebelum akhirnya dia mengerti maksud gue. “ Ooh, view itu maksudnya, oke oke ngerti
gue”, kata Ano sedikit berbisik
Gue pengen ngakak merhatiin
Ano menerobos melaju menembus meja – meja yang mostly dijajah para mahasiswi itu. Kelihatan banget dia agak canggung
dari cara jalannya yang nggak kayak biasanya.
“ Bang, bakso dua,
alpukat satu, ma aqua satu”, kata gue ke abang – abang kantin.
Gue berdiri nungguin aja
sambil celingak – celinguk lagi ke arah meja – meja. Mudah – mudahan gue nggak
bangun – bangun dari mimpi gue ini, para bidadari itu masih ada di sana, bahkan
beberapa diantara mereka ada yang melihat kearah gue, wah bahagianya. Tapi
mimpi gue langsung buyar waktu abang kantin tadi menepuk pundak gue dari belakang.
Emosi gue langsung memuncak, gimana sih rasanya lo lagi mimpi indah terus
dibangunin dengan cara dikagetin??...
“Udeh lo tunggu aja di meja
sono, ntar gue anterin. Ah, elo kayak anak baru aja masih segen ma gue”, sentak
abang kantin, yang rupanya tidak menyadari kalau gue bukan mahasiswa universitas
itu. Berarti emang gue punya tongkrongan anak Psikologi ya, hehehe.
Berubah langsung muka gue
yang tadi merah karena marah, jadi biru karena malu.
“ Oh, gitu ya…yaudah sip
- sip bang”, jawab gue rada salting.
Gue menghampiri Ano yang
jelas – jelas lagi baca buku untuk ngilangin rasa gugup dan mati gayanya. Kocak
banget ngeliatnya.
“Oi, kura, baca apaan lo
?? ini- bapak - budi , ya? “, ledek
gue dengan gaya pengucapan seorang guru TK sedang mengajari muridnya.
“Sst, njir pelan – pelan
lo ngomong gitu!!” kata Ano. “Lo inget nong kita lagi dimana sekarang?,
pemikiran makhluk – makhluk cantik di sekitar kita tu terpelajar, nggak kayak
kita barbar. Jaga sikap lah sementara waktu… “
Bener juga kata Ano. “
Oiya ya.. sorry nggak kepikiran ma gue tadi”, kata gue.
Sesaat kemudian datang
abang kantin tadi membawa pesanan kami.
“ neh bos, oiya tuh kecap
sambel kalo mau ada di meja sebelah. Ambil sendiri ya”, kata abang kantin.
“ Sip bang, nggak usah
repot – repot, kayak baru kenal aja lo masih segen ma gue”, sahut gue ngeledek.
“ Yeeee sempet aje lo
ngebales…udeh, balik dulu gue ya…bayar jangan lupa”, kata abang kantin, sambil
berlalu.
Kepala gue dikeplak sama Ano
“ Macam mahasiswa sini aja
lo dah akrab ma doi,,hehehe” , kata Ano sambil cekikikan.
Hujan mulai turun agak
deras dan kami lalu menyantap hidangan itu. Namun tak lama setelah itu ada yang
mengganjal di hati gue. Kok mereka sembunyi pandang melihat kearah gue?. Mereka
itu ya beberapa gadis yang meja nya terpaut beberapa baris noang dari meja kami.
Muka gue memerah, malu, salting, gugup karena jarang – jarang aja gue
berhadapan dengan situasi seperti ini.
Tanpa sepengetahuan Ano
yang lagi takzim dengan baksonya, hati gue berdebar – debar kencang. Salah satu
dari para gadis itu, ada yang intens ngelirik – ngelirik ke arah gue sambil
tersenyum kecil saat mengobrol dengan temannya. Sebutlah gadis itu bernama
“gadis ACER”, karena jemari – jemarinya terlihat kompeten memencet tooth –
tooth laptop bermerk ACER. Ampun, gue gugup tak terperi, namun ada riak – riak
bahagia menggelegar di hati gue. Is it
what they called LOVE??
Gue berusaha untuk
menghindari gede rasa, tapi gue nggak bisa menghindari hentakan kencang geledek
di luar sana. BRRANGGGGG!!!!
Semua orang kaget
tersentak tak terkecuali gue sama Ano.
“ KAMBING , LO KAMBING!!…
“, gue spontan latah, dengan volume suara yang tidak bisa dikatakan kecil.
“ Subhanallah….”, kata Ano
lebih bijak
“ Astagfirullah…iya iya
maap nggak sengaja…Subhanallah”, gue tersadar.
Gadis itu ketawa
cekikikan, mungkin karena melihat perangai gue yang bodoh saat kaget tadi. Gue
tengsin berat lalu mencoba mengalihkan pandangan dari gadis ACER.
“ Eh, no gimana kalo kita
cabut sekarang? Udah nggak nyaman neh gue”, ujar gue.
“ Yah baru kelar gue
makan, belom puas cuci mata, lo udah puas emang?, kalo gue sih belom? “
“Ah, kura lo nggak asik,
udah nggak enak neh perasaan gue”
“Yaelah, kok lo yang jadi
manja gitu, udah kayak cewek gue lo”, Ano terganggu “kesibukannya” oleh oecehan
gue.
“ Huh, kura kayak punya
cewe aja lo !!“, kata gue, sambil mengeplak kepalanya.
“Emang kagak punya, kan
calon –calonnya lagi bertebaran di sini…Siapa tau gue jadi rejekinya salah satu
cewek – cewek itu. Makanya sabar dulu, jy, lagian masih hujan gede gitu”
Gue menghela nafas. Lalu
gue tersadar bahwa semenjak tragedi
latah gue tadi, mahasiswa – mahasiswa di beberapa meja lain ,sesekali melempar
lirikan tajam kearah gue. Mungkin mereka merasa terusik dengan kehadiran gue
berdua sama Ano, yang konyol dan tentunya berstatus asing bagi mereka . Tuh kan
perasaan gue nggak enak.
Mereka yang serius, elegan
dan sangat menyukai kehidupan yang terkonsep jelas tentunya merasa risih dengan
kehadiran dua makhluk yang pecicilan, rada kumal, yang suka setengah – setengah
dalam berkonsep ,kayak gue ma Ano. Setidaknya itu yang gue pikir saat itu.
Oiya!! Jangan – jangan si
Gadis ACER adalah salah satu dari mereka. Mereka yang terganggu dengan
kehadiran gue sama Ano. Tapi cara dia sedikit lebih sopan , cukup dengan
menyunggingkan senyum dan tawa yang sebenarnya berniat melecehkan tingkah kami
berdua.
Belum selesai hati ini
bergemuruh hebat, datang lagi seekor penderitaan. ANJING!!!. Iya benar,
melintas seekor anjing di samping meja kami. Sekelebat gue sempat berfikir
kalau itu yang lewat macan, kaget bukan kepalang, soalnya warnanya kuning
keemasan dan ukurannya yang naudzubillah, cukup gede. Muka gue pucat, Ano juga,
tapi dia lebih bisa menyimpan ketakutannya dibanding gue. Huh,,,kenapa di sini bisa
ada anjing, sih??
Jujur gue agak trauma
sama anjing. Dulu waktu kecil pernah gue main sepakbola sama anak – anak
tetangga. Salah satu dari teman gue ada yang nendang bolanya cukup kuat,
jadilah bola itu mengenai anjing kampung yang sedang tidur. Lalu, layaknya sang
Rambo yang mengamuk karena dicolek pantatnya sama bencong Los Angeles, anjing
itu kalap menyerang kami membabi buta ( patut diingat yang menyerang kami hanya
anjing, babi nggak ngikut waktu itu).
Dasar memang waktu itu
gue termasuk yang paling kecil, dan lari gue nggak sekencang yang lain, jadilah
gue tertinggal sendirian, tinggal “one
by one” dengan anjing itu.
GERRR!!, anjing itu
menyalak marah ke arah gue, gue pun pucat pasi berada di situasi yang tidak
menguntungkan, yaitu berdiri persis di tepi got yang menganga. Sebenarnya anjing
itu cukup kecil ukurannya, tapi kelincahan dan kecepatannya nomor satu. Kalau
dalam perkancahan Sepakbola dunia, mari kita analogikan ia layaknya seorang
Lionel Messi nya versi anjing lah.
Dengan kecepatan kurang
dari sedetik, ia melesat menyerang ke arah gue. Namun, dasar dari kecil sudah
terlihat berbakat sebagai calon pesepakbola masa depan, gue dengan mudahnya
menghindar dari serangan itu. Kurang lebih tiga kali gue mampu “menggocek” dan
mengecoh anjing itu, layaknya Zidane menari – nari menggiring bola melewati
para pemain lawan. Hampir semaput, anjing itupun akhirnya menyerah dan pergi
menjauh.
Ya, kalau ditarik
kesimpulan, secepat apapun Lionel Messi melesat tetap akan terkalahkan oleh
tekhnik, karisma dan kejeniusan si Legenda Hidup Zinedine Zidane. So, Gue 1 – 0 Anjing.
Kembali ke kantin Fakultas
Psikologi. Sehebat- hebatnya dulu gue mengecoh anjing, tentu kondisinya berbeda
dengan sekarang yang gue hadapi. Dulu gue masih kecil, belum berpikir panjang,
anjingnya kecil pula. Sekarang, anjingnya segede kambing, dan gue udah gede
pula. Masa iya, ditengah – tengah kantin gue harus “menggocek” itu anjing?.
Lagian kalau boleh jujur, waktu itu “kemenangan” gue melawan Messi, eh anjing
itu lebih dikarenakan naluri bocah aja, yang keluarnya spontan karena panik. Sampai udah gede pun sebenarnya gue selalu
jiper parah sama yang namanya anjing.
Anjing itu bersungut –
sungut duduk di samping gue dan Ano. Seolah – olah itu adalah anjing remote
control yang dikendaliin oleh salah satu dari para mahasiswa itu ( gue lagi di
fakultas psikologi ato fakultas teknik, sih?? Kok ada robot anjing? ) . Mereka
seakan mencoba mengusir gue perlahan dengan anjing itu. Keringat dingin keluar dari tengkuk gue.
“ No, beneran gue dah
nggak tahan di sini, kita cau yuk? “
“ iya yuk, tuh anjing
kayaknya berasa kangen ma emaknya, tuh dari tadi adem ayem aja di samping lo “,
ledek Ano
“kampret!! “
Kami menuju dengan jalan
agak tergesa ke tempat abang kantin.
“Dua puluh lima ribu kan
, bang?... Neh …“
Gue meletakkan uangnya
dan segera pergi meninggalkan kantin, namun tetap mata gue terus mengawasi
keadaan, kali aja itu anjing tiba – tiba meng –upper cut gue dari samping.
Lalu, sejurus kemudian sempat gue melirik ke arah gadis ACER ,dan
benar, dia dan teman – temannya terbahak cukup lama melihat gue berdua pergi
meninggalkan kantin. Raut wajah yang pucat pasi plus keluarnya keringat dingin,
dapat dengan mudah dikenali oleh para awam sebagai salah satu ciri orang yang
sedang mengalami ketakutan. Well, apalagi di mata si Gadis ACER itu, yang
notabene menjadi makanan sehari – harinya di bangku kuliah, sudah jelas tentunya
dia lebih memahami ciri psikologis manusia secara mendalam. So, gue nggak heran
ngeliat mereka ketawa – ketiwi seperti itu.
Emhh.... Niat cuci mata
gue sama Ano, di kantin Fakultas Psikologi berakhir sial. Namun, gue berharap
itu bukan pertanda penolakan Universitas hebat itu terhadap kami. Karena,
seperti banyak pemuda di negeri ini, gue
dan Ano juga ingin merasakan perkuliahan di sana, suatu saat nanti.
Guyuran hujan terus
menerus membasahi aspal, namun tak henti Ano dan gue melaju diatas motor
menerobos gerbang kampus itu. Tak lama setelah keluar gerbang, masih di sekitar
pelataran kampus itu, gue yang masih dalam posisi dibonceng Ano, lalu menoleh
ke arah belakang, seolah – olah ada supermagnet yang mampu memutar arah posisi
kepala gue dengan cepat. Ada apa gerangan??.... Gue melihat adanya dua kata, dua puluh huruf,
dengan font yang sangat besar, terukir di permukaan batu yang besar pula, persis
di atas danau yang tenang.
Dua kata yang berdaya
magnet super itu bertuliskan UNIVERSITAS INDONESIA……
-TAMAT-
050309