/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Sabtu, 21 Juli 2012

Tribute to Led Zeppelin


Rock n Roll
Masa muda identik dengan pencarian jati diri, di mana terkadang nafsu sulit terkontrol, dan kita tidak pernah peduli apa kata orang lain....

Heartbreaker
Mempermainkan hati seseorang terkadang membuat kita lupa diri, seakan kita tidak lagi memiliki hati....

Thank you
Namun perlahan ini semua akan segera berubah, di kala kita sudah memiliki dia yang sejati. Terima kasih telah datang menemani...

Stairway to Heaven
Berubahnya warna rambut menjadi putih menjadi peringatan bagi kita, bahwa pada akhirnya kulit yang keriput ini akan kembali bertemu dengan teman lamanya...


Ini hanya untuk pecinta LED ZEPPELIN…Karena hanya kalian yang akan mengerti ini…


                        Tribute to LED ZEP

Selasa, 17 Juli 2012

Siang di Pasar Silungkang


                                                SIANG DI PASAR SILUNGKANG

            Teringat olehku saat kunjunganku ke desa Silungkang, Sumatera Barat, beberapa tahun yang lalu. Silungkang adalah desa yang masuk di dalam kawasan kota Sawahlunto, yang menjadi perbatasan antara kota Sawahlunto dengan kota Solok. Desa yang sangat sejuk ini terbagi oleh beberapa bagian , yang masing – masing memiliki wilayahnya sendiri, diantaranya yaitu Palakoto, Sawahjuai, Panai, Dalimo Jao, Malowe ,dan masih banyak lagi yang tidak aku sebutkan.

Aku pergi ke sana bersama Agung, sahabatku. Sebenarnya tidak ada rencana besar yang akan kita lakukan di sana kecuali mendokumentasikan Prosesi adat Pernikahan Silungkang, yang kebetulan mempelai pria nya adalah saudara sepupuku. Sungguh sebelumnya sekalipun aku tidak pernah menyaksikan prosesi itu, dan beruntung sekali saat itu kuliah kami berdua sedang dalam masa liburan. Jadi, kami meluangkan waktu untuk pergi ke sana, sekalian berlibur.

            Namun, bukan Prosesi pernikahan adat itu yang ingin aku jadikan bahasan utama kali ini. Ada hal lain yang membuatku benar – benar tidak bisa melupakan desa itu. Desa yang jika anda melihatnya langsung anda akan percaya bahwa “karpet hijau raksasa” itu benar keberadaannya. Mereka berwujudkan hamparan sawah –sawah luas nan hijau, juga perbukitan tinggi bersandangkan pepohonan hijau, yang terisi penuh hingga kaki tebing. Seakan dari berbagai arah-- kanan atau kiri, mereka terus menyapa ketika kami melewati mereka sepanjang menembus perjalanan  . Apa yang sulit aku lupakan tentang desa itu?  Semoga tidak terdengar aneh jika  jawabannya adalah pasar. 

            Saya ceritakan sedikit tentang Pasar Silungkang. Dari yang saya ketahui, mayoritas penduduk Silungkang bermatapencaharian sebagai Pedagang, selain bertani, dan menenun songket. Pernah suatu saat, mungkin bertahun – tahun yang lalu, Pasar Silungkang menjadi primadona desa. Tempat dimana kita dapat melihat kesuksesan dan kemapanan para pedagang, yang tidak pernah sepi dikunjungi para pembelinya. Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi perdagangan di pasar itu berangsur sepi, dikarenakan banyak dari mereka yang merantau ke luar kota dengan harapan akan mendapat peruntungan yang lebih baik. 

            Namun, setidaknya terdapat dua hari di mana Pasar Silungkang akan terlihat lebih hidup. Jumat dan terutama Minggu terpilih menjadi hari pelipur lara bagi Silungkang, karena pada hari – hari itu kondisi pasar akan dipenuhi oleh para pedagang, baik dari Silungkang, maupun yang datang dari berbagai daerah lain di luar Silungkang, seperti Solok, Muaro Kalaban,atau juga Sungai Lasi. Transaksi jual beli pun akan sesak, berbeda dengan hari – hari lainnya yang cenderung sangat sepi .

            Waktu terasa cepat berlalu, sudah hampir seminggu aku dan Agung berada di sini. Tugas kami untuk mendokumentasikan Prosesi adat pernikahanpun sudah selesai kemarin. Lusa, yaitu hari Senin kami akan kembali ke Jakarta. Selama di Silungkang kami menginap di rumah kerabatku. Dan di sana, kami berkenalan dengan seorang pemuda baik bernama Rahmat, dia pulalah yang menjadi “guide” kami selama kami di Silungkang. 

            Sabtu malam, Rahmat mengajak untuk pergi ke balai oko’ besok pagi. Balai oko’ adalah bahasa Padangnya Pasar Minggu, atau Pasar di hari Minggu. Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, bahwa hari Minggu termasuk hari yang ramai di pasar Silungkang. Tentunya aku dan Agung tidak mau melewatkan itu.

            “ Kosongkan perut kalian sekosong mungkin malam ini, agar besok pagi kalian bisa memburu makanan lezat ala pasar Silungkang, sepuasnya… “, kata Rahmat. “ sebagai makanan pembuka silahkan kalian menikmati kue Ale – ale , lalu makanan utama Kupuak Samba atau juga Sate Padang Mak Sukur, sedangkan Es Tebak untuk hidangan penutup “.  

            Belakangan aku ketahui dari Rahmat, bahwa kue Ale – ale itu sejenis kue serabi, sedangkan Kupuak Samba mirip dengan Lontong Sayur, lalu Es Tebak mungkin hampir bisa disamakan dengan Es Campur. Namun, tetap saja kesemuanya itu berbeda dari yang pernah aku rasakan selama ini dan makanan – makanan itu  memiliki cita rasa tersendiri, yaitu cita rasa khas Silungkang yang sangat mengagumkan.  


           
Embun dingin sedang mendekap erat bumi , dan matahari sedang memulai usahanya untuk menghangatkan desa Silungkang,  ketika Rahmat membangunkan kami pagi itu.  

“Cepatlah kalian bangun, jangan sia – siakan hari terakhirmu disini ! “ seru Rahmat.

“ Tunggu sebentar lah, Rahmat. Bangunkan kami sekitar sejam lagi…” kataku sambil menahan berat kantuk.

“ Memang sudah jam berapa ini, mat? “ tanya Agung, dalam kondisi setengah sadar.

“ Jam 7 pagi, teman”

“ HAH !!!! “ teriak aku dan Agung serempak. 

Sebenarnya aku dan Agung sudah merencanakan bahwa sebelum kami menuju Balai Oko’, kami ingin mengelilingi seluruh desa Silungkang terlebih dahulu. Kami ingin mendokumentasikan keseluruhan areanya, itupun juga jika sempat. Namun, kami agak sedikit telat bangun karena malam sebelumnya kami menonton sepakbola di TV hingga larut.

Rahmat, aku dan Agung sudah berada di pinggir rel kereta Silungkang tepatnya berada di wilayah Panai, ketika sesosok kereta hitam nan panjang melintas begitu saja tanpa menghiraukan kami. Kontan saja aku langsung merekam momen indah tersebut dengan Handy cam ku, dan Agung memotretnya dengan kamera SLR nya.

“ Kereta batu bara itu hanya lewat sekali dalam seminggu, yaitu pada hari Minggu ini saja,” kata Rahmat ,“ Kereta itu hanya diperuntukkan sebagai fasilitas wisata, berangkat dari stasiun kota Solok, lalu melintasi desa Silungkang ini, sampai nanti berhenti di stasiun kota Sawahlunto. Setelah itu kembali melintasi Silungkang untuk kemudian menuju stasiun kota Solok kembali. “

“ Habis itu selesai? “ tanyaku.

“ Ya..”

Kami terus berjalan di atas rel menelusuri kampung Panai, yang jika kita menengok ke atas akan tampak tebing hijau, berisikan pepohonan dan beberapa rumah warga, yang tentunya kebanyakan masih berupa rumah adat. Sebenarnya setelah kami melewati Panai, kami akan langsung berada di kawasan Pasar Silungkang. Namun mengingat tujuan awal kami adalah mengelilingi Silungkang, maka jadilah kami menskip Pasar Silungkang, dan terus melanjutkan perjalanan. Kali ini kami sudah berada di daerah Paliang, yang letaknya bisa dikatakan tepat dibelakang Pasar Silungkang. Paliang terdiri menjadi dua bagian, yaitu Paliang Ateh (Paliang atas) yang posisinya berada menanjak di atas tebing dan Paliang Bawah, yang tentunya berada di bawah tebing.

Lalu, seterusnya kami melewati kampung Tanah Sirah, Lokuang, hingga tiba kami di suatu daerah yang berisi hamparan sawah, yang dikelilingi pepohonan rindang bertemankan beberapa rumah penduduk. Kampung tersebut bernama Sawah Juai. Sungguh siang itu sebenarnya cukup panas, namun entah mengapa saat aku melihat pemandangan maha hijau seperti ini, mataku terasa sejuk, dan kesejukan ini mengalir sampai ke otak, dan apa yang kurasakan? SEMPURNA… Sudah hampir tidak mungkin aku mengemis dan mengharap meminta lukisan tuhan macam ini, di Jakarta. Aku tersenyum girang, sambil terus merekam daerah ini. Agungpun tak kalah terpesonanya, itu terlihat dari rasa antusiasnya memotret tanpa henti. Dari kami bertiga, hanya Rahmat yang tampak seperti manusia normal. 

Setelah kami melewati jembatan Kuti Anyir barulah kami berputar arah menuju Pasar Silungkang. Sayup – sayup terdengar panggilan shalat dari salah satu surau, hari sudah menunjukkan pukul 12 siang. Tepat saat perut kami sudah lapar bukan main. Benar saja, pasar saat itu sangatlah ramai. Di pinggir jalan sudah terparkir banyak motor. Jalan – jalan disulap menjadi lapak para pedagang tersebut. Mereka menjual aneka sayur, daging, buah – buahan, dan yang pasti kebutuhan pangan hampir semuanya ada di sana. Layaknya pasar – pasar lain, kita juga bisa menemukan pakaian, maupun alat tulis disana. 

Namun itu semua masih dibungkus dalam balutan pasar tradisional, dimana sebagian pedagang menggelar dagangannya di tikar, dan berlesehan di bawah langit yang lebar terbuka. Juga berpayungkan tenda – tenda warna – warni, yang jika kita melihat itu dari atas, kita akan melihat kombinasi warna yang menarik dari gabungan beberapa tenda yang memayungi pedagang. 

Karena aku dan Agung tidak tahu menahu arah jalan, jadilah mengikuti Rahmat, dari belakang menyusuri space sempit di antara para pedagang, di kanan-kiri kami. Tadi kami sepakat, bahwa pertama yang akan kami makan adalah Sate Padang Mak Sukur.  

Lalu, tiba-tiba mata ini menunjuk ke satu titik, beberapa meter di samping kananku. Aku melihat ada sesosok gadis yang menarik perhatianku. Dia berbaju hitam, mengenakan rok putih panjang selutut, dan sedang membeli sesuatu di lapak sayuran.  Rambut sebahunya menambah kesan elok pada parasnya. Dia kulihat hanya sendiri waktu itu. Sangat ingin aku menghampirinya saat itu juga. Namun karena waktu terasa cepat, dan langkah kakiku cepat pula mengikuti Rahmat dan Agung, yang ada di depanku, jadilah tertunda niatku itu. 

Di tengah kesesakan dan kelaparan seperti itu, sementara aku lebih memilih mengikuti dua sahabatku itu untuk mencari makan. Setelah itu aku pasti akan kembali, dan menghampirinya. Toh aku sangat yakin di pasar yang tidaklah terlalu luas ini, aku pasti bisa menemukannya kembali.

Satu piring Sate Padang sudah kami lahap dengan rakusnya. Cukup hanya lima menit untuk kami memanjakan perut kami menghabiskan satu porsi. Es tebak pun menunggu gilirannya untuk disantap. Namun, sebelum itu datang di meja kami, aku langsung mengingat gadis itu tadi. Akupun berpamitan sebentar pada dua sahabatku itu. Aku hanya mengatakan ingin mengambil gambar lagi suasana keramaian pasar.

Lagi – lagi aku harus melewati space sempit saat itu. Aku terus berjalan tanpa hentinya merekam, sampai suatu ketika ada seorang bapak meneriakiku dari arah belakang.

“ Hei, Minggir !!! “, teriak bapak itu tentunya dengan bahasa Padang.

“ Iya ,maaf pak “, kataku.

Aku tidak kesal sama sekali, karena aku tahu mungkin bapak itu sedang sibuk dan diburu oleh waktu. Di pundaknya teronggok karung tebal berisi beras. Berat memang…

Setelah itu aku langsung meluncur ke tempat gadis itu tadi berada, dan… Dia sudah tidak ada…

Aduh kemana perginya gadis itu??... Mataku mengelilingi seisi pasar mencarinya, siapa tahu dia masih ada di sekitar sini. Akupun setengah berlari ke segala penjuru untuk menemukannya. Tapi, tidak bisa kutemukan sama sekali. Dia benar – benar menghilang.

 Lalu aku teringat sesuatu. Ya, handycam !!. Aku akan merewind rekamanku, siapa tahu ada yang tidak terlihat olehku, namun terlihat oleh mata kameraku. Jantungku berdegup kencang,  hingga benar – benar aku merasakan kecewa karena gadis itu luput pula dari penglihatan kameraku.

Keriuhan transaksi sekelilingku perlahan memudarkan harapanku. Aku menyesal, sangat menyesal. Coba saja tadi aku langsung menemuinya, berkenalan dengannya, mengobrol… Bodoh !! Aku mengutuk diriku sendiri.

Lalu aku kembali menemui kedua sahabatku. Mereka masih melahap es tebaknya. Ketika mereka bertanya mengapa mukaku terlihat lesu, aku hanya menjawab hanya sedikit lelah saja. Kelezatan Es tebak pun menjadi sedikit hambar di mulutku. Tanpa para sahabatku sadari, aku terus saja menyesali diriku sendiri, dan pikiranku terus melayang menuju sosok gadis elok itu.

Hei, gadis elokku, mengapa kau lenyap begitu saja ? Siapakah namamu ?

Berasal dari kampung manakah kamu?

Mengapa pilihanmu aneh sekali? Ketika cuaca sangat terik seperti ini kamu memilih pakaian berwarna hitam? 

Tapi, itu tidak masalah bagiku, mungkin hitam memang warna favoritmu…Hei aku juga sedang mengenakan warna hitam !! dan aku juga memprioritaskan hitam dalam hari - hariku…

Bukankah kita sama? Bukankah kita berjodoh?... 



Hari berangsur menjadi gelap milik maghrib. Besok aku dan Agung akan kembali ke Jakarta. Silungkang telah memberikan warna lain untuk perjalananku kali ini. Ini adalah kampungku, tempat di mana para nenek moyangku bertempur melawan kebengisan Jepang. Di Silungkang pula orangtuaku pertama kalinya menghirup nafas bumi. Ini berarti jelas bahwa darah Silungkang mengalir deras di dalam tubuhku.

Pada akhirnya aku merasakan seperti ada sesuatu yang tertinggal di sini, tepatnya di Pasar itu. Tapi, aku pasti akan kembali ke sini suatu hari nanti, dan saat itu aku harap tuhan mempertemukan aku kembali dengannya. Percayalah bahwa si keledai ini tidak akan sebodoh keledai – keledai lainnya yang jatuh terperosok dua kali dalam lubang yang sama…

End
RG

(Diselesaikan tgl 22-02-2010, jam 3 pagi…)

           

KANTIN PSIKOLOGI


Kamis itu, tepatnya saat terang siang berubah menjadi abu – abu mendung, gue udah ada di belakang boncengan motor Ano, temen gue. Kami sudah berada di kawasan salah satu Universitas terbesar, termahsyur, dan terbaik di Indonesia. Hari itu, disamping mengisi kekosongan waktu ( baca: menganggur, nggak ada kerjaan ) ,kebetulan kami ada suatu keperluan di sana, untuk mendapatkan beberapa informasi program perkuliahan ekstensi di sana.
Di sepanjang perjalanan tak henti gue menoleh kanan – kiri melihat dan merasakan atmosfer kampus itu.
“ Kambiiingggg….neh baru kampus, no!!, nggak kayak kampus situ sepi… “, kata gue.
 “kampus situ juga, njir!! “, Ano membalas.
Sejurus kemudian gue melihat gadis cantik melintasi trotoar jalan.
“ Tuh 10…10…!!” , sahut gue dari belakang.
“ 10 ape? “
“ Arah jam 10 geblek!! “, gue gemes terhadap kegeblekan teman gue itu.
“Oiye…beuh , beuh…seger. Ga ada tu yang modelnya kayak gitu di kampus kita”, kata Ano setelah tersadar.
“ Ya iyalah nggak ada, isinya aja hampir laki semua. Kalo ada juga mata lo nggak bakal burem terus kayak gitu”
“ Anjir lo “
**
Setelah kami mendapat berbagai informasi program perkuliahan di sekretariat, kami berniat untuk tidak langsung pulang. Perut gue lapar, butuh sesuatu untuk diisi.
“ Heh jy, samar – samar gue inget salah satu temen gue ada yang pernah ngomong… “ kalimat Ano berhenti, memberikan waktu untuk otaknya berpikir. “itu lo bukan sih yang ngomong?? ”, lanjut Ano.
“Ngomong apaan?, timpal gue.
“ Oh, berarti itu bukan lo ya yang ngomong ? “
Gue bersungut heran sama omongan Ano yang nggak jelas.
“ Iya jadi gini, temen gue bilang kalo suatu saat lo kelaperan pas lagi berada di kawasan ini kampus, lo makan aja ke kantinnya Fakultas Psikologi”, Ano melanjutkan.
“ Mang nape? “
“ Dia bilang lo bisa kenyang dua kali kalo makan disana”
“Padahal gue Cuma makan sekali, gitu maksut lo? “ , tanya gue tambah heran.
“Iya, maksudnya bukan perut lo noang yang kenyang, tapi mata lo ikut – ikutan   kenyang ”, kata Ano.
Gue udah bisa membaca kemana arah pembicaraan Ano itu.
“Ooooo…Oke ngarti gue, ngarti , ngarti “
“ Hehehehe…” ,Ano tersenyum licik. Senyum itu mematikan, karena pernah memakan korban, yaitu gue. Pernah pas gue demam, ngeliat senyum dia yang macam itu gue langsung muntah tak terkendali.
Gue sama Ano langsung meluncur mencari zona kayangan itu.
**
Sesampai di pelataran fakultas psikologi tersebut, hujan mulai turun. Tubuh gue bergetar, perut berguncang, hati berdebar. Beberapa gadis elok rupawan lalu lalang saat kami memasuki lobby, ini merupakan pemandangan mahal buat kami yang dalam kesehariannya sulit menemukan gadis di kampus, tempat kami kuliah saat ini.
“ elok nian para makhluk psikologi ini”, sesaat Ano mencoba menjadi pujangga sebelum kepalanya gue keplak.
“Busyet…Bahasa lo timpang ma muka !, udah gue laper, cari yok kantinnya”
Gue nggak bisa bohong, kalau sebenarnya gue juga takjub melihat para gadis cantik itu. Cuma, karena gue gengsi sama Ano, jadilah gue tahan niat gue untuk ikut mendendangkan pusi saat itu.
“ Masya Allah….” , kata Gue dan Ano berbarengan saat kami sampai di kantin.
Rupanya di sinilah tempat berkumpulnya bidadari kayangan kala mereka lapar di siang hari. Kalau saja gue menggunakan kode “arah jarum jam” untuk menunjukkan dimana gadis cantik berada saat ini, mungkin angka jam yang biasa kita lihat akan berubah dari 12 angka saja menjadi 30 angka. It’s  incredible !!...
“ Gue nge take-in meja dulu ya, jy. Lo pesenin alpuket sama… bakso juga boleh”, kata Ano
“Ah kambing, bisa aja lo nyolong start. Tapi okelah, daripada ga dapet tempat  nanti. Eh, no, ambil yang agak dipojokkan itu ya, kayaknya strategis tuh view nya” kata gue setengah berbisik.
“Apaan yang strategis?”, sahut Ano.
“View nya…” , jawab gue dengan senyum menyeringai.
Ano tetap terpaku tidak mengerti, dahinya mengernyit. Dia masih tidak mengerti maksud gue, kalau view itu sudut pandang pewe kita untuk cuci mata.
“View nya???”, kata Ano
“View…..view nyaaaaahhh!!”, suara gue berteriak namun tertahan, udah gemes sama kebolotan Ano.
“View ?”, Ano masih berpikir keras , sebelum akhirnya dia mengerti maksud gue.  “ Ooh, view itu maksudnya, oke oke ngerti gue”, kata Ano sedikit berbisik
Gue pengen ngakak merhatiin Ano menerobos melaju menembus meja – meja yang mostly dijajah para mahasiswi itu. Kelihatan banget dia agak canggung dari cara jalannya yang nggak kayak biasanya.
“ Bang, bakso dua, alpukat satu, ma aqua satu”, kata gue ke abang – abang kantin.
Gue berdiri nungguin aja sambil celingak – celinguk lagi ke arah meja – meja. Mudah – mudahan gue nggak bangun – bangun dari mimpi gue ini, para bidadari itu masih ada di sana, bahkan beberapa diantara mereka ada yang melihat kearah gue, wah bahagianya. Tapi mimpi gue langsung buyar waktu abang kantin tadi menepuk pundak gue dari belakang. Emosi gue langsung memuncak, gimana sih rasanya lo lagi mimpi indah terus dibangunin dengan cara dikagetin??...
“Udeh lo tunggu aja di meja sono, ntar gue anterin. Ah, elo kayak anak baru aja masih segen ma gue”, sentak abang kantin, yang rupanya tidak menyadari kalau gue bukan mahasiswa universitas itu. Berarti emang gue punya tongkrongan anak Psikologi ya, hehehe.
Berubah langsung muka gue yang tadi merah karena marah, jadi biru karena malu.
“ Oh, gitu ya…yaudah sip - sip bang”, jawab gue rada salting.
Gue menghampiri Ano yang jelas – jelas lagi baca buku untuk ngilangin rasa gugup dan mati gayanya. Kocak banget ngeliatnya.
“Oi, kura, baca apaan lo ?? ini- bapak - budi , ya? “, ledek gue dengan gaya pengucapan seorang guru TK sedang mengajari muridnya.
“Sst, njir pelan – pelan lo ngomong gitu!!” kata Ano. “Lo inget nong kita lagi dimana sekarang?, pemikiran makhluk – makhluk cantik di sekitar kita tu terpelajar, nggak kayak kita barbar. Jaga sikap lah sementara waktu… “
Bener juga kata Ano. “ Oiya ya.. sorry nggak kepikiran ma gue tadi”, kata gue.
Sesaat kemudian datang abang kantin tadi membawa pesanan kami.
“ neh bos, oiya tuh kecap sambel kalo mau ada di meja sebelah. Ambil sendiri ya”, kata abang kantin.
“ Sip bang, nggak usah repot – repot, kayak baru kenal aja lo masih segen ma gue”, sahut gue ngeledek.
“ Yeeee sempet aje lo ngebales…udeh, balik dulu gue ya…bayar jangan lupa”, kata abang kantin, sambil berlalu.
Kepala gue dikeplak sama Ano
“ Macam mahasiswa sini aja lo dah akrab ma doi,,hehehe” , kata Ano sambil cekikikan.
Hujan mulai turun agak deras dan kami lalu menyantap hidangan itu. Namun tak lama setelah itu ada yang mengganjal di hati gue. Kok mereka sembunyi pandang melihat kearah gue?. Mereka itu ya beberapa gadis yang meja nya terpaut beberapa baris noang dari meja kami. Muka gue memerah, malu, salting, gugup karena jarang – jarang aja gue berhadapan dengan situasi seperti ini.
Tanpa sepengetahuan Ano yang lagi takzim dengan baksonya, hati gue berdebar – debar kencang. Salah satu dari para gadis itu, ada yang intens ngelirik – ngelirik ke arah gue sambil tersenyum kecil saat mengobrol dengan temannya. Sebutlah gadis itu bernama “gadis ACER”, karena jemari – jemarinya terlihat kompeten memencet tooth – tooth laptop bermerk ACER. Ampun, gue gugup tak terperi, namun ada riak – riak bahagia menggelegar di hati gue. Is it what they called LOVE??
Gue berusaha untuk menghindari gede rasa, tapi gue nggak bisa menghindari hentakan kencang geledek di luar sana. BRRANGGGGG!!!!
Semua orang kaget tersentak tak terkecuali gue sama Ano.
“ KAMBING , LO KAMBING!!… “, gue spontan latah, dengan volume suara yang tidak bisa dikatakan kecil.
“ Subhanallah….”, kata Ano lebih bijak
“ Astagfirullah…iya iya maap nggak sengaja…Subhanallah”, gue tersadar.
Gadis itu ketawa cekikikan, mungkin karena melihat perangai gue yang bodoh saat kaget tadi. Gue tengsin berat lalu mencoba mengalihkan pandangan dari gadis ACER.
“ Eh, no gimana kalo kita cabut sekarang? Udah nggak nyaman neh gue”, ujar gue.
“ Yah baru kelar gue makan, belom puas cuci mata, lo udah puas emang?, kalo gue sih belom? “
“Ah, kura lo nggak asik, udah nggak enak neh perasaan gue”
“Yaelah, kok lo yang jadi manja gitu, udah kayak cewek gue lo”, Ano terganggu “kesibukannya” oleh oecehan gue.
“ Huh, kura kayak punya cewe aja lo !!“, kata gue, sambil mengeplak kepalanya.
“Emang kagak punya, kan calon –calonnya lagi bertebaran di sini…Siapa tau gue jadi rejekinya salah satu cewek – cewek itu. Makanya sabar dulu, jy, lagian masih hujan gede gitu”
Gue menghela nafas. Lalu gue tersadar bahwa semenjak tragedi latah gue tadi, mahasiswa – mahasiswa di beberapa meja lain ,sesekali melempar lirikan tajam kearah gue. Mungkin mereka merasa terusik dengan kehadiran gue berdua sama Ano, yang konyol dan tentunya berstatus asing bagi mereka . Tuh kan perasaan gue nggak enak.
Mereka yang serius, elegan dan sangat menyukai kehidupan yang terkonsep jelas tentunya merasa risih dengan kehadiran dua makhluk yang pecicilan, rada kumal, yang suka setengah – setengah dalam berkonsep ,kayak gue ma Ano. Setidaknya itu yang gue pikir saat itu.
Oiya!! Jangan – jangan si Gadis ACER adalah salah satu dari mereka. Mereka yang terganggu dengan kehadiran gue sama Ano. Tapi cara dia sedikit lebih sopan , cukup dengan menyunggingkan senyum dan tawa yang sebenarnya berniat melecehkan tingkah kami berdua.
Belum selesai hati ini bergemuruh hebat, datang lagi seekor penderitaan. ANJING!!!. Iya benar, melintas seekor anjing di samping meja kami. Sekelebat gue sempat berfikir kalau itu yang lewat macan, kaget bukan kepalang, soalnya warnanya kuning keemasan dan ukurannya yang naudzubillah, cukup gede. Muka gue pucat, Ano juga, tapi dia lebih bisa menyimpan ketakutannya dibanding gue. Huh,,,kenapa di sini bisa ada anjing, sih??
Jujur gue agak trauma sama anjing. Dulu waktu kecil pernah gue main sepakbola sama anak – anak tetangga. Salah satu dari teman gue ada yang nendang bolanya cukup kuat, jadilah bola itu mengenai anjing kampung yang sedang tidur. Lalu, layaknya sang Rambo yang mengamuk karena dicolek pantatnya sama bencong Los Angeles, anjing itu kalap menyerang kami membabi buta ( patut diingat yang menyerang kami hanya anjing, babi nggak ngikut waktu itu).
Dasar memang waktu itu gue termasuk yang paling kecil, dan lari gue nggak sekencang yang lain, jadilah gue  tertinggal sendirian, tinggal “one by one” dengan anjing itu.
GERRR!!, anjing itu menyalak marah ke arah gue, gue pun pucat pasi berada di situasi yang tidak menguntungkan, yaitu berdiri persis di tepi got yang menganga. Sebenarnya anjing itu cukup kecil ukurannya, tapi kelincahan dan kecepatannya nomor satu. Kalau dalam perkancahan Sepakbola dunia, mari kita analogikan ia layaknya seorang Lionel Messi nya versi anjing lah.
Dengan kecepatan kurang dari sedetik, ia melesat menyerang ke arah gue. Namun, dasar dari kecil sudah terlihat berbakat sebagai calon pesepakbola masa depan, gue dengan mudahnya menghindar dari serangan itu. Kurang lebih tiga kali gue mampu “menggocek” dan mengecoh anjing itu, layaknya Zidane menari – nari menggiring bola melewati para pemain lawan. Hampir semaput, anjing itupun akhirnya menyerah dan pergi menjauh.
Ya, kalau ditarik kesimpulan, secepat apapun Lionel Messi melesat tetap akan terkalahkan oleh tekhnik, karisma dan kejeniusan si Legenda Hidup Zinedine Zidane.  So, Gue 1 – 0 Anjing.
Kembali ke kantin Fakultas Psikologi. Sehebat- hebatnya dulu gue mengecoh anjing, tentu kondisinya berbeda dengan sekarang yang gue hadapi. Dulu gue masih kecil, belum berpikir panjang, anjingnya kecil pula. Sekarang, anjingnya segede kambing, dan gue udah gede pula. Masa iya, ditengah – tengah kantin gue harus “menggocek” itu anjing?. Lagian kalau boleh jujur, waktu itu “kemenangan” gue melawan Messi, eh anjing itu lebih dikarenakan naluri bocah aja, yang keluarnya spontan karena panik.  Sampai udah gede pun sebenarnya gue selalu jiper parah sama yang namanya anjing.
Anjing itu bersungut – sungut duduk di samping gue dan Ano. Seolah – olah itu adalah anjing remote control yang dikendaliin oleh salah satu dari para mahasiswa itu ( gue lagi di fakultas psikologi ato fakultas teknik, sih?? Kok ada robot anjing? ) . Mereka seakan mencoba mengusir gue perlahan dengan anjing itu.   Keringat dingin keluar dari tengkuk gue.
“ No, beneran gue dah nggak tahan di sini, kita cau yuk? “
“ iya yuk, tuh anjing kayaknya berasa kangen ma emaknya, tuh dari tadi adem ayem aja di samping lo “, ledek Ano
“kampret!! “
Kami menuju dengan jalan agak tergesa ke tempat abang kantin.
“Dua puluh lima ribu kan , bang?... Neh …“
Gue meletakkan uangnya dan segera pergi meninggalkan kantin, namun tetap mata gue terus mengawasi keadaan, kali aja itu anjing tiba – tiba meng –upper cut gue dari samping.
Lalu, sejurus kemudian  sempat gue melirik ke arah gadis ACER ,dan benar, dia dan teman – temannya terbahak cukup lama melihat gue berdua pergi meninggalkan kantin. Raut wajah yang pucat pasi plus keluarnya keringat dingin, dapat dengan mudah dikenali oleh para awam sebagai salah satu ciri orang yang sedang mengalami ketakutan. Well, apalagi di mata si Gadis ACER itu, yang notabene menjadi makanan sehari – harinya di bangku kuliah, sudah jelas tentunya dia lebih memahami ciri psikologis manusia secara mendalam. So, gue nggak heran ngeliat mereka ketawa – ketiwi seperti itu.
Emhh.... Niat cuci mata gue sama Ano, di kantin Fakultas Psikologi berakhir sial. Namun, gue berharap itu bukan pertanda penolakan Universitas hebat itu terhadap kami. Karena, seperti banyak pemuda di negeri ini,  gue dan Ano juga ingin merasakan perkuliahan di sana, suatu saat nanti. 
Guyuran hujan terus menerus membasahi aspal, namun tak henti Ano dan gue melaju diatas motor menerobos gerbang kampus itu. Tak lama setelah keluar gerbang, masih di sekitar pelataran kampus itu, gue yang masih dalam posisi dibonceng Ano, lalu menoleh ke arah belakang, seolah – olah ada supermagnet yang mampu memutar arah posisi kepala gue dengan cepat. Ada apa gerangan??....  Gue melihat adanya dua kata, dua puluh huruf, dengan font yang sangat besar, terukir di permukaan batu yang besar pula, persis di atas danau yang tenang.
Dua kata yang berdaya magnet super itu bertuliskan UNIVERSITAS INDONESIA……
-TAMAT-                                                                                 050309