/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Minggu, 24 Juli 2011

Hey Sita... Dunia Ini Sempit, Lho !

Sabtu 23 Juli 2011, malam hari , saya sedang berjalan menempuh panjangnya halte busway di bilangan Semanggi. Saya baru saja dari Istora Senayan setelah menghadiri event besar tahunan yang diselenggarakan oleh Perusaahan tempat di mana saya bekerja. Begitu menyusahkannya jembatan transit dari halte Busway Benhil menuju Halte Busway Semanggi. Belum lagi sudah sedari tadi kepala ini terasa sakit, yang saya yakini karena waktu jam tidur saya yang tidak cukup paginya.

Sesampainya di dalam bus, semua kursi sudah ada yang menempati. Namun, tidaklah terlalu jadi masalah karena malam itu busway sangat lapang, tidak sesak seperti di hari kerja. Hembusan Surga dari AC pun membuat kepala ini berangsur menjadi lebih ringan.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa di dalam, sebelum mata ini tertuju pada satu gadis cantik –yang tidak mendapat kursi seperti saya— berdiri di dekat pintu. Berkulit putih dengan sandang luarnya berwarna merah yang melapisi kaus biru tua. Rambutnya yang cukup panjang, sepertinya, terikat atau dijepit di bagian atas kepala. Khas perempuan lainnya yang menandakan “bukan waktunya lagi menghias diri” sepulang kerja atau setelah mengakhiri kegiatan.

Busway terus saja melaju dengan kecepatan sedang, meskipun jalur lancar dalam artian tidak ada kendaraaan lain yang ikut masuk ke jalurnya. Dan sampailah saya di pemberhentian saya di halte Pancoran. Tak lama setelah saya keluar Bus, ada seseorang yang menepuk ringan pundak saya. Betul sekali, gadis cantik itu.

“ Eh, sorry..Gue mau nanya dong, kalau mau ke Tebet dari mana ya naik ojeknya?”, Tanya dia sembari kami berdua terus melangkahkan kaki.

“ Oh, sebenernya ini juga udah daerah Tebet sih. Kalau boleh tau Tebetnya mana ya?”

“ Tebet utara ? “

Saya yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Tebet Barat Dalam sudah mampu menerka. “ Ooh, Deket Distro-distro dan kafe-kafe itu bukan?”

“ Yap, di sekitar sana” , jawabnya.

“ Yaudah, gue searah kok, jadi bareng aja. Sorry, gue Rendy “, kata saya sembari mengulurkan tangan.

“ Gue Sita. Tapi panggil aja Geisya”, balasnya. Dan saya melihat senyumnya sedikit tersungging saat mengucap “Geisya”.

“ Iya ren, jadi tuh biasanya gue pulang pergi kerja ada mobil anteran. Dan biasanya juga gue sama temen. Kali ini gue sendiri jadi masih agak bingung” , lanjut Sita.

“ Wah, malam Minggu gini lo kerja?”

“ Iya, gue abis SPG-an di daerah Slipi”, sahutnya.

“Oh gitu. Emang lo belum lama tinggal di Tebet?”

“ Iya, sebenernya gue tinggal di Bogor dan kuliah di sana. Weekend nya gue kerja di sini”

Kami terus saja berjalan menyusuri trotoar di bawah flyover Pancoran, yang patungnya masih saja sanggup “berpose” seperti itu, pagi-siang-malam, hujan maupun terik.

“ Oh oke, begitu toh. Hebat ya lo Sit, bisa ngebagi waktu kuliah-kerja kayak gitu. Bogor-Jakarta pula “

Kami bersiap menyeberang jalan ketika saya mendengar jawabannya sayup bercampur kebisingan kendaraan : “Ya mau gimana lagi, dengan gini gue masih bisa kuliah”.

Pancoran malam itu tidak terlalu sibuk seperti biasa. Selain kendaraan yang tak berhenti berlalu-lalang, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu angkutan umumnya datang. Suasananya pun terbilang cukup muram. Penerangan dari lampu jalan berwarna kuning dan dan cahaya minim dari Supermarket yang sudah mau tutup, saya rasakan membuat malam lebih pucat.

“ Kalau lo gimana, Ren? . Tadi itu lo dari mana?”, dia bertanya .

“ Gue dari Istora Senayan. Ada acara kantor”

“ Ohh lo udah kerja?”

“ Iya” , jawab saya singkat. “ Eh Sit, omong-omong yang di Tebet Utara itu rumah keluarga atau lo ngekos?”

“ Ngekos”

“ Wah, ngekos? Pasti mahal ya di daerah situ. Berapa Sit sebulannya?”

“ Iya, 700 lah sebulan “

“ Wuidih mahal ya, hehe”

Tak jauh kami berjalan sudah ada tukang ojek yang sedang mangkal. “ Pak, tolong anterin dia ya ke Tebet Utara”

“ Tebet Utaranya yang sebelah mana nih?” tanya Bapak tukang Ojek.

“ Yah itu Pak, yang banyak distro sama kafenya itu lho”

“ Oh iya iya…” ujar si Bapak dengan medok. “ Ayok, mbak”

Kemudian saya beralih ke Sita. “ Okeh Sit. Lo hati-hati ya”. Tangan ini spontan memberikan “Tos” padanya.
“ Yap Ren. Makasih banget lho ini” ,balasnya dengan senyum.

Nah, seperti kebanyakan kisah romansa di Film, FTV, Sinetron ataupun novel remaja, di saat-saat seperti ini perlu ada sesuatu yang bisa membuat munculnya sebuah “twist” agar ceritanya menghasilkan Happy Ending, atau setidaknya bisa berkelanjutan lagi menjadi sebuah cerita baru yang lain.

Kalimat-kalimat seperti :

“ Hmm Sit, mudah-mudahan ngga terlalu cepet ya kalau gue minta nomor Handphone lo. Boleh? “

“ Entah,ini sopan atau nggak. Cuma kayaknya seru kali ya kalau lain waktu kita bisa jalan atau nonton bareng. Lo ada pin BB?”

“ Eh,iya Sit, hampir gue lupa. Lo kan tinggal di Tebet juga, dan nggak jauh dari rumah gue. Bisa kan kita ngobrol-ngobrol lagi. Tuh, di kafe-kafe deket kostan lo juga enak tuh kapan-kapan. Nomor hape lo berapa ya?”

“ Sit, lo orangnya asik juga ya. Minggu depan nonton Transformer yok ! Gue traktir deh. Nomor lo berapa?”

Namun, dengan perasaan sesal sehancur-hancurnya tidak ada satupun dari kalimat di atas yang melesat keluar dari mulut saya.

Pula, tidak dipungkiri diri ini masih kaku. Tidak ada sulitnya sama sekali mengucapkan kalimat-kalimat itu, sebenarnya. Durasinya pun tidak akan memakan waktu bermenit-menit. Bahkan 10 detikpun jadi. Tapi apa maknanya kemudahan dan durasi singkat jika keberanian yang nihil membuat diri ini tak berdaya.

Sampai pada saatnya dia melesat, terpajang senyum indahnya, seraya berseru: “Daahh Rendy, gue duluan ya, Daaaahhh”.

Lagi-lagi saya merasakan efek "slowmotion" dalam kisah saya kali ini, yaitu saat dia perlahan meninggalkan saya. Seolah pohon-pohon rindang di atas saya berteriak gemuruh dan bergema: "RENDI !! Kau bisa mengejarnya, kau bisa menghentikannya sekarang juga. Mumpung gerakannya masih "slowmotion", cukup kau berlari kecil untuk menggapainya kembali..AYOO !"

Dan, saya tidak melakukan apa-apa.

Sampai bertemu kembali Sita “Geisya”. Saya percaya bahwa Dunia itu sempit, Indonesia itu sempit, Jakartapun juga sempit….Apalagi Tebet?