/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Minggu, 28 Juli 2013

Ke Jakarta Aku Kan Kembali

                                                                                                            16 Juni 2013




Saat ini saya baru saja melewati Stasiun Malang menuju jalan pulang ke Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan, kunjungan ke malang 2 hari 1 malam ini tidak cukup. Perjalanan banyak tersita di atas rel ketimbang jalanan aspal kota Malang.

Di hari pertama, setelah melalui kurang lebih 15-16 jam perjalanan keretam saya dan Igo langsung menemui Feby untuk segera ke rumah pengantin yakni teman kami, Dita. Tidak ada waktu istirahat, karena pada jam 11 acara resepsi akan berlangsung. Tak sia-sia perut kososng selama perjalanan, pada saat acara resepsi hampir semua jenis makanan yang tersedia kami lahap. Kenyang!

Setelah selesai acara resepsi, kami langsung menuju hotel untuk istirahat sejenak. Ema, teman kami menyusul ke hotel untuk kemudian mengajak kami untuk berwisata kuliner bakso bakar. FYI, Ema adalah teman kami –begitu juga Dita- saat  “berguru” di kampung Inggris-Pare, beberapa tahun yang lalu.

Malamnya, pengantun baru mengajak kami mlaku-mlaku alias jalan-jalan ke Batu. Sekitar setengah jam perjalanan kami tiba di daerah wisata Batu, tepat di alun-alunnya. Langsung saja kami menuju kedai susu murni yang terletak di pinggir alun-alun. Rasa susu hangatnya tetap sama, suegerr tenaaannn..

Suasana alun-alun begitu berbeda dibanding terakhir saya ke sini 4 tahun lalu. Orang lalu-lalang oenh dan disesaki pula oleh kendaraan bermotor yang memarkir di sana –sini. Kebetulan pula sedang ada BATU FAIR (sejenis Jakarta Fair) di sekitar alun-alun. Muda-mudi hilir mudik membuat mata yang mengantuk ini menjadi segar sekejap. Ditambah banyak penampakan gadis cantik rupawan di sini.

Alun-alunnya meriah sekali dikarenakan banyaknya arena bermain seperti kincir-kincir, playground dan mobil-mobilan kecil untuk anak bermain. Khusus kincir-kincir, bentuknya begitu megah mengingatkan saya kepada The London Eye-nya Inggris.




Di salah satu sudut pun kita bisa melihat anak-anak kecil main air. Airnya muncul dari bawah tanah, seperti permainan air mancur yang ada di Lollypop dalam mal-mal Jakarta. Tetapi yang ini berbeda, anak-anak bisa bermain secara cuma-cuma, ya Gratis. Hebat juga, ya, main air diselimuti udara dingin kota Batu..

Saya sungguh salut dengan pemerintah setempat yang bisa membaurkan masyarakat ke dalam suatu wadah yang meriah dan murah. Muda-mudi memadu kasih, anak kecil main yang ditemani para orang tua menjadi pemandangan lumrah di tengah warna-warni dan kelap-kelip alun-alun Batu.

Tidak lama kemudian kami pun pulang. Selain karena saya, Igo dan Feby sudah lelah tentu kami juga ingin mempersilakan Dita dan mas Fajar, suaminya, untuk melanjutkan “kegiatan” lainnya. If you know what I mean..

Pertandingan sepakbola antara Spanyol U-21 vs Norwegia U-21 pun menjadi tidak menarik bagi saya. Hanya sanggup menonton satu babak, akhirnya pun saya tertidur.

Keesokan paginya, saya menyempatkan diri untuk melihat aktivitas  “Car Free Day” di jalan raya sekitar hotel, sebelum sarapan pagi. Ya, ramai dan tertib.

Selepas dzuhur kami pun check out dari hotel kemudian kembali ke rumah Dita untuk pamitan. Seperti biasa, sambutan orangtua dan keluarganya begitu baik. Sang ibu memberi jaminan tempat numpang menginap bila suatu saat kami kembali datang ke Malang lagi. Kami benar-benar berterima kasih atas sambutan keluara Dita yang tulus. Keluarga yang hangat dan menyenangkan.

Empat stasiun sudah terlewati saat saya ingin mengakhiri tulisan ini. Oh iya, saat perjalanan kereta dari Jakarta menuju Malang kemarin saya mendapat kabar baik. Kakak saya melahirkan seorang putri cantik, Vania namanya. Tentu, sudah tidak sabar saya ingin bertemu dan mencium pipi imut si kecil Vania.

Bukan hanya itu, saya juga tidak sabar ingin bersua kembali denganmu, iya, kamu…

Ke Jakarta aku kan kembali…


Selasa, 09 Juli 2013

Ujian di Hari Pertama Ramadhan

Rabu, 9 Juli 2013.

Tuhan melalui JakartaNya langsung memberikan ujian berat buat gue di hari pertama bulan Ramadhan. Pulang kerja yang sudah seharusnya jam 5 sore, agak tertunda ketika gue masih ingin melanjutkan pekerjaan. Terlebih di luar hujan dari siang nggak berhenti-berhenti. Akhirnya pun gue keluar kantor tepat pukul 17.22 WIB.

Seperti biasa, Transjakarta di kondisi hujan seperti ini sulit untuk diharapkan, karena hujan sedikit saja sudah pasti membuat lajunya tersendat sehingga diharuskan menunggu waktu yang lama, ditambah kondisi jalanan macet membuat gue lebih memilih kereta sebagai transportasi alternatif.

Sial buat gue ketika angkot yang gue naiki ternyata harus berputar mencari jalan lain saat sang sopir menemui kebuntuan di kemacetan Jakarta. Padahal gue harus naik angkot ke-dua di step berikutnya. Jadilah gue diturunkan di dekat jembatan Jati Petamburan yang untuk menaiki angkot rute lain berikutnya.

Hujan benar-benar nggak mau berhenti dan gue lupa bawa jaket parasut. Kuyup.

Angkot yang gue tunggu-tunggu nggak kunjung datang. Akhirnya, gue memutuskan untuk jalan kaki di tengah guyuran hujan. Jalanan yang becek penuh genangan air yang tinggi membuat gue harus berhati-hati dalam berjalan. Trotoar yang semestinya sudah menjadi hak gue pun dijajah oleh para pedagang makanan warung tenda. Bahkan, ada satu adegan yang memuakkan ketika gue harus, “Permisi ya, pak. Numpang lewat, maaf,” mengatakan ini kepada pedagang tersebut saat melewati warung tendanya. Gue pun bingung kenapa bisa minta maaf pada mereka.

Perjalanan pun dilanjutkan dengan gue berjalan di sisi kali Jati Petamburan yang airnya sudah begitu tinggi. Lagi-lagi gue harus berjibaku dengan motor-motor yang lewat plus trotoar yang dijajah oleh para pedagang. Jarak tempuh yang harus gue lalui dengan jalan kaki ini mungkin mencapai 1 km, dan hari sudah semakin senja, gue harus tetap bisa mengejar kereta jam 6 karena gue bertekad untuk berbuka puasa hari pertama di rumah.

Tak terhitung sudah berapa kali ucapan kotor berbau kebun binatang keluar dari benak atau mulut gue, memaki kondisi yang gue alami saat ini. Jarak yang jauh, cipratan genangan air dari pengendara sepeda motor dan hujan yang kadang deras-kadang sedang.

Akhirnya, setelah jalan kaki cukup jauh gue menaiki angkot yang mengarah stasiun Tanah Abang. Sebenarnya, nggak terlalu jauh, tapi karena gue harus mengejar waktu jadilah gue naik angkot ini. Sesampainya di stasiun, gue dan penumpang lainnya pun turun untuk lalu memberikan ongkos ke sopir. Di sini gue kalut, hehehe. Gue yang buru-buru pun kesal saat gue ingin kasih uang, sang Sopir malah sibuk menghitung uangnya. Jadilah gue melempar duit gue ke jok samping Sopir. Gue pun harus menabrak seorang penumpang untuk itu, saking nggak sabarnya.

Lalu, gue pun berlari menaiki tangga stasiun Tanah Abang tanpa terlalu memperdulikan kondisi anak tangga yang becek terkena hujan. Setelah membeli tiket, gue pun bertanya ke petugas, “kereta ke Bogor sudah datang?.” “Itu baru saja datang, buruan cepat ke peron 3!” kata petugas. Gue pun berlari dan menerobos puluhan orang yang baru turun kereta, di tangga stasiun menuju peron. Di sini gue sempat khilaf dengan agak kasar mendorong pemuda yang berjalan lambat di depan gue, untuk “overlapping."

Kereta masih menunggu, namun pintu sudah siap tertutup sampai, Gue berlari secepat mungkin masuk ke dalam kereta. Tak peduli, gue menabrak (lagi) sekumpulan penumpang kereta yang mengendap di mulut pintu. Untuk yang satu ini gue nggak peduli, dan nggak merasa bersalah sekalipun meskipun terdengar keluhan-keluhan minor dari mereka setelah gue menabrak –sebenarnya kata menyenggol lebih tepat—, karena siapa suruh mereka berkumpul di situ,di saat sebenarnya di deretan kursi masih banyak space kosong untuk berdiri. Gue paham sih, hal itu mereka lakukan agar nggak sulit turun ketika sudah sampai di stasiun tujuan.

Napas gue pun tersengal setelah melewati berbagai macam “rintangan” tadi menuju stasiun dari kantor. Sebenarnya untuk jadwal kereta Bogor berikutnya masih ada jam 18.33 WIB. Namun, butuh waktu setengah jam lagi buat gue tunggu. Jelas gue nggak mau, karena gue sudah tekad untuk berbuka puasa hari pertama di rumah.

Ahh, betapa durasi setengah jam sangat berarti di Jakarta. Meleset sedikit saja semuanya bisa berantakan. Kalau saja tadi gue telat beberapa detik saja, dipastikan gue bisa nggak ikut kereta 18.00 dan ini akan berujung pada kemacetan atau hambatan lain, sehingga gue akan telat berbuka puasa di rumah.


Adzan sayup-sayup terdengar dari masjid di dekat stasiun. Hampir saja gue lupa kalau saat ini gue sedang berpuasa. Korma 3 buah yang sudah gue siapkan pun jadi enggan gue cicipi karena kondisi dalam kereta yang cukup penuh.

Akhirnya, setelah sukses mengatur napas , gue pun membatalkan puasa pertama gue dengan tegukan air minum saja. Alhamdulillah.