/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Jumat, 16 November 2012

PSMS (Paul, Sheehan, Mike, Sherenian) @RockFest 2012


(photo by: Apri)

Malam itu saya dan 3 teman saya, Apri, Igo, dan Polin sudah berada di lapangan D Senayan untuk nonton RockFest. Jakarta yang baru saja diguyur air hujan nyatanya bersahabat dengan para pencinta music Rock. Lapangan yang dijadikan venue cukup kering dan tidak becek serta langit tidak menunjukkan “niat”nya untuk mengeluarkan hujan lagi.


“Gila, ini keren banget pawang hujannya,” celetuk Igo.

Di sana tampil begitu banyak band-band Rock yang notabene bukan mainstream seperti Besok Bubar Band, Miracle Band, dsb. Bahkan ada juga sebuah band, yang vokalisnya adalah Ringgo Agus Rahman (Artis Ibu kota) yang sayang musiknya tidak dapat saya cerna.

Sampai akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga, yakni PSMS Band (Jangan heran akronimnya mirip dengan klub Sepakbola Indonesia milik Medan) bermaterikan Mike Portnoy (Drum), Derek Sherenian (Keyboard & Piano), Paul Macalpine, dan Billy Sheehan. Tak heran begitu banyak orang mengenakan kaos bertajuk Dream Theater dan MR BIG (saya pun mengenakan  kaos MR BIG). 

Terbersit di hati, “Wajar ya pakai baju MR BIG, soalnya kan Billy Sheehan masih menjadi salah satu personilnya. Nah, bagaimana dengan Dream Theater? Bukankah Mike Portnoy sudah terdegradasi dan belum lama ini digantikan oleh Mike Mangini?”

Langsung saja saya men-twit, “Menonton aksi Mike Portnoy dengan kaos Dream Theater kondisinya nyaris serupa dengan orang yang menonton aksi Manchester United dengan mengenakan jersey Arsenal bertuliskan nama punggung Van Persie. Susah Move On.”

Setelah gerai hitam diturunkan dari atas panggung, muncullah satu persatu sekelompok yang sudah lama kita nanti-nanti. Dimulai dari Derek Sherenian, disusul oleh Macalpine, lalu muncul sosok yang sudah kita “kenal” yakni Mr Billy Sheehan, dan terakhir Mike Portnoy maju dan menjadi pusat perhatian.

Saya harus mengakui bahwa saya bukanlah seorang musisi, saya bukanlah pula seorang drummer, melainkan saya hanya penikmat music. Namun, saya mendadak berkeinginan menjadi seorang drummer setelah menikmati music Dream Theater. Tak lain ini karena jasa seorang Portnoy. Performanya menggebuk drum membuat saya menepikan “dogma” lama yang bodohnya sudah terlalu lama melekat di otak saya, bahwa: Drum hanyalah elemen music pelengkap yang tidak terlalu penting.

Saya mensejajarkan skill Portnoy dengan Joe Satriani dalam versi Drum. Ya, dengan ketukan, speed, dan teknik Drumnya, Portnoy seolah bisa membuat alunan drum menjadi sebuah music yang indah tanpa menggunakan instrument lainnya.

PSMS Band hanya menampilkan music instrument tanpa ada vokalis. Di sela-selanya, bergantian mereka melakukan solo. Pertama, Tony Macalpine memamerkan keahliannya bermain gitar, yang bagi saya – orang awam yang tidak tahu menahu tentang teknik music – permainannya ya kurang lebih sama seperti John Petrucci dan Guitar heroes lainnya. Tony terbilang personel yang cukup kalem di sini.

Sedangkan Derek Sherenian lebih terlihat arogansinya. Lucu, sesaat setelah dia melakukan solo yang disusul oleh sorakan decak kagum penonton, dia memilih memasang muka angkuh (tentu dengan gaya bercanda), mengingatkan saya dengan tokoh Severus Snape dalam film Harry Potter.

Beralih ke Billy Sheehan. Ya, dia tidak banyak berubah dibanding saat saya menonton MR BIG di Java Rockinland 2009 lalu. Bergaya flamboyan – namun kali ini rambut kuncir emasnya mengenakan topi hitam-- , masih dengan jeans hitam ketat, dan sepatu ber-heels (gaya pria tentunya) agak tinggi. Dalam solonya dia banyak mengeluarkan jurus-jurus aneh, dengan manuver kedua tangannya yang bergerak dinamis. Saya pernah berkata pada Igo, “Go, dia tuh kayak gitu cuma gaya-gayaan ya?.” Igo menepis itu dengan mengatakan bahwa itu memang skill dia yang pastinya bawa perubahan besar dalam musiknya, dalam artian itu bukan asal-asalan yang nirmakna, melainkan itu ada tekniknya.

Seperti saya sebutkan di awal, bahwa Portnoy menjadi sorotan utama dalam pertunjukan kali ini. Bahkan, Portnoy yang saat maupun pasca menjadi personel Dream Theater memang banyak membentuk band project menjadi juru bicara selama konser. Dia lebih lantang berkali-kali menyapa kami para penonton  dengan beragam lawakannya, di jeda antar lagu. Yang cukup fenomenal adalah saat ia suatu kali menyinggung DREAM THEATER – tentu tanpa menyebutkan nama. Seperti kita ketahui bahwa Portnoy dikeluarkan oleh John Petrucci cs. dari band yang ironisnya juga dibentuk oleh Portnoy sendiri. Derek Sherenian pun juga “alumni” Dream Theater, yang kini posisinya ditempati oleh Jordan Rudes.

Ya, sepertinya band ini memang bentukkannya dia dan secara tak tertulis ini memang bisa disebut sebagai “konser tunggal”nya.

Saya tak hentinya berdecak kagum melihat permainan mereka membawakan lagu-lagu yang hampir seluruhnya saya tidak tahu. Hanya satu lagu yang sangat akrab di telinga saya, yakni saat Billy memainkan reff “To be with you” di tengah-tengah solonya. Selebihnya, belakangan saya ketahui bahwa PSMS juga membawakan lagu “Acid Rain” dan “Hells Kitchen” milik Dream Theater (correct me if I am wrong), secara instrumental.

Konser berjalan hampir 2  jam lamanya hingga mereka ber-4 perlahan meninggalkan panggung. Ahh cerita lama, ini hanyalah sebuah “aksi wajib” yang memancing penonton untuk meneriakkan ENCORE. Tak sampai 2 menit, mereka sudah kembali ke atas panggung. Lagu SHY BOY milik David Lee Roth band (yang juga di-cover oleh MR BIG) dibawakan sebagai lagu pamungkas. Di lagu ini, Billy Sheehan didaulat sebagai vokalis juga dan tentu sang actor utama, Mike Portnoy, ikut bernyanyi.

Selama pertunjukkan konser, mata saya hampir selalu tertuju pada Mike Portnoy. Entah apa yang salah, beberapa kali Portnoy berdiskusi dengan salah satu teknisi drumnya sepanjang lagu dimainkan. Saya ulangi lagi: sepanjang lagu dimainkan! Kepalanya menoleh ke samping untuk menyelesaikan masalahnya dengan sang teknisi, tanpa harus kehilangan tempo bermusiknya. Ingat, music yang mereka mainkan adalah rock progresif. Tentu dibutuhkan skill yang dahsyat untuk meladeni tempo yang random (kadang cepat, kadang lambat), ketukan aneh, dan banyaknya settingan drum (tidak selumrah yang digunakan para drummer pada umumnya) yang ia gunakan. Portnoy melakukan itu semua dengan tanpa melihat, dan tanpa merusak irama lagu yang sedang dimainkan! Semuanya terlihat dan terdengar tetap perfect!

Saya sempat berpikir kalau Portnoy bukanlah manusia. Sama seperti Lionel Messi dalam kancah persepakbolaan. Ajaib dan di luar nalar manusia!

Maklum, saya menulis ini dengan point of view saya sebagai penikmat music yang tidak mahir bermain music, jadi apa yang disajikan oleh Portnoy dkk. Menjadi salah satu hal paling gila yang  pernah saya lihat, ya secara langsung. Terutama Portnoy, saya tak bosan dan henti mengatakan bahwa ketukan drumnya begitu empuk, cepat, dan mampu “membentuk”  indah suatu lagu itu sendiri. Flashback ke belakang, saya mengaguminya saat ia bersama Paul Gilbert meng-cover lagu  Led Zeppelin – band favorit saya. Yup, Portnoy juga merupakan pengagum berat almarhum John Bonham (Zeppelin's Drummer)

Saya dan teman-teman sempat menerobos masuk ke tenda tempat PSMS beristirahat pasca tampil. Sayang seribu sayang, mereka masih terlalu lama untuk berdiam di dalam tenda. Padahal saya ingin sekali bertemu dengan jarak yang dekat dengan Portnoy cs. saat nantinya mereka menaiki bus untuk menuju hotel. Yang membuat saya penasaran adalah: setinggi apa Mike Portnoy itu? Sepertinya tidak jauh dengan tinggi badan saya. Berbeda dengan Billy Sheehan yang memang cukup jangkung.

Kalau saja besoknya hari libur – bukannya hari Senin – tentu saya akan rela menunggu berjam-jam, bahkan menyusul ke hotel tempat mereka menginap.  Ya sudahlah, pada akhirnya saya hanya berharap bahwa Portnoy bakal menepati janjinya, sesaat sebelum turun panggung, untuk segera kembali datang ke Indonesia suatu hari nanti.

Ya, saya sudah menyaksikan langsung Mike Portnoy, drummer idola saya!

-RG-
16 Nov 2012
                                                                                                             (sumber foto: kapanlagi.com)

Sabtu, 10 November 2012

"Nge-date" Bareng Ibu

Sore ini, akhirnya gue bisa ngajak Ibu untuk makan bareng lagi di luar. Kedengarannya standard banget ya tema tulisan ini. Tapi, setidaknya buat gue ini beda.

Sudah beberapa bulan terakhir gue agak kesulitan menemukan momen yang pas untuk ini. Ibu sudah lama "ngidam" ingin makan Tomyam, dan hampir selalu menagih ini di tiap Minggunya. Hal ini nggak terlepas dari sembuhnya Ibu dari sakit yang membatasinya untuk makan secara "bebas". Gue yang dari Senin sampai Jumat kerja plus Sabtu-Minggu (weekend) mesti kuliah, cukup bingung untuk memenuhi permintaan yang sejatinya sepele ini.

Hari ini, Sabtu sore sepulang UTS gue langsung cabut ke rumah dari kampus. Langsung saja gue ajak Ibu berangkat ke resto terdekat. Ibu pesan Tomyam, gue pesan Kwetiau. Dua makanan itu biasa aja rasanya di lidah gue, nggak ada yang istimewa. Bahkan porsinya cukup sedikit, agak ironi dengan harganya, hehehe. Yah, yang penting rasa penasaran Ibu terpenuhi, akhirnya. Ya, akhirnya..

Cuma ini aja sih yang ingin gue tulis.. Nggak ada yang istimewa, tapi jujur ini sangat berarti untuk gue. Seenggaknya, tulisan ini bisa jadi pengingat gue kalau sewaktu-waktu mulai jarang berdialog-makan bareng Ibu.  Ini akan menjadi "penampar" gue kalau gue mulai arogan dengan berkata, "Ah, gue sibuk nggak ada waktu..." atau "Aduhh, pengen main sama teman-teman, nih!"

Ya, gue nggak berani berjanji untuk ini. Tapi, gue akan berusaha..


Minggu, 04 November 2012

TANGISAN AYAH

       

           Seringkali kita sebagai manusia mempertanyakan dimana kasih sayang sejati itu?.. Sebagian orang mungkin akan menjawab kasih sayang yang sejati akan kita dapatkan dari seseorang yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pasangan hidup kita kelak. Jawaban ini tidak sepenuhnya salah mengingat memang tiap manusia diciptakan untuk saling berpasangan, untuk kemudian menghasilkan keturunan. Namun, bagi Gea kasih sayang sejati bukan datang dari pasangan hidupnya kelak, melainkan murni selalu datang dari Ayahnya tercinta, Nirwan.

            Nirwan harus menerima kenyataan pedih ketika Arini meninggal saat melahirkan Gea. Jadilah ia mengurus Gea dari kecil, hidup hanya berdua dengan anak tercintanya itu,  berusaha memegang peranan seorang ibu dan ayah dengan sama baiknya. Namun, jelas Nirwan gagal, didikan pria tegas macamnya nyatanya membuat Gea menjadi anak yang berwatak keras.
 Dalam kesehariannya, ia lebih menyukai mengenakan celana jeans panjang, dengan kaus kasual, sangat jauh minatnya terhadap fashion gadis seumurnya. Badannya cukup tinggi semampai, tegap, berkulit kuning langsat, dan berparas ayu seperti ibunya. Meskipun tomboi, namun kecenderungan sexnya normal, ia sering menyukai teman laki – lakinya di sekolah, dan pula gadis manis itupun tidak jarang ditaksir oleh teman laki – lakinya itu.  Namun sengaja ia menolak itu semua, bahkan ia telah bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menjalin cinta, selama Ayahnya masih hidup di dunia ini. Gea terlalu mencintai dan menyayangi Ayahnya, ia tidak ingin perhatiannya terpecah dan jelas ia akan merasa berlaku sangat tidak adil terhadap sang Ayah jika berani melanggar sumpahnya itu.
Tidak ada yang mampu pungkiri betapa besar cinta Nirwan terhadap anaknya itu, sering dalam sujud malamnya ia menangis, bertanya pada tuhannya apa alasanNya tidak memberi Gea kesempatan untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ia seringkali merasa kasihan pada Gea, maka dari itu dalam hidupnya ia bertekad untuk selalu menjaganya apapun yang terjadi. 
Hubungan keduanya sangatlah akrab, kedekatan mereka sudah selayaknya dua orang sahabat. Hampir tiap malam Gea membantu Ayahnya memasak, dan dalam hal memasak dua orang ini termasuk ahlinya. Lalu, seringkali Gea lebih memilih hang out dengan Ayahnya ketimbang bersama para temannya. Bagi kita yang melihatnya akan berkata, sungguh betapa indahnya persahabatan Ayah – anak tersebut.
Namun, “masalah” seketika datang, dikala Gea beranjak dewasa, saat umurnya mencapai dua puluh lima tahun, saat ia perlahan menjelma menjadi sesosok wanita yang cantik dan matang. Seorang pemuda bernama Adi, yang dalam beberapa bulan ini cukup dekat dengannya, melamarnya untuk dinikahi. Perdebatan lahir antara Gea dengan Ayahnya. Gea tidak ingin menikah, dengan alasan hal ini akan membuatnya terpisah jauh dengan Ayahnya, ditambah fakta bahwa saat ini Adi bekerja dan tinggal di Australia. Sedangkan sang ayah merasa bahwa saatnya sudah tepat untuk “melepas” anaknya, meskipun berat untuk itu. 

       “Gea, apa mungkin kamu menunggu Ayah mati dulu, sebelum kamu menikah, hah? Kelak Ayah ingin menimang cucu dari kamu, anakku,” kalimat itu terlontar dari mulut Nirwan. 


             Segera saja pelukan hangat menimpa tubuh tua Nirwan. Menempel di bahu Ayahnya, wajah manis Gea basah oleh air matanya. Sang Ayah juga tidak mampu menahan laju tangisnya. Keduanya larut dalam kesedihan. “Baik, yah…Aku akan nikah dengan Adi,” kata Gea sambil sesenggukan.
Sehari sebelum pernikahan, Nirwan mengajak Gea ke suatu tempat. Sore itu, sengaja Nirwan menutup mata anaknya dengan kain, hingga ia membukanya sesaat setelah mereka sampai di tempat tujuan. Arena Fantasi. Gea tertawa bahagia, diselingi senyum Ayahnya. Ini adalah tempat nostalgia mereka, dan ini adalah salah satu memori terindah mereka berdua. Di tempat ini, saat masih kecil, pernah Gea mengompoli punggung Ayahnya, saat tertidur dalam gendongan Nirwan. “Ayah dulu lupa menyuruhmu ke toilet dulu sebelum kamu ayah gendong,hahaha..,” tawa Nirwan membuat pipi Gea memerah karena malu. Sungguh menggemaskan.

DI BANDARA
Adi, Gea, dan Nirwan sudah berada di Bandara. Adi, pemuda baik hati itu sekarang resmi menjadi suami Gea, mereka benar – benar pasangan yang serasi. Lalu, tiba saat mereka harus berpisah, hati Gea bergemuruh keras saat ingin berpamitan pada Ayahnya, untuk pergi ke Australia. Dia memeluk Ayahnya lama, erat, tangisanpun meledak dari Gea. Pipinya kembali basah oleh air matanya. Sedangkan tangisan Nirwan agak samar tertutupi oleh kaca mata plus, coklat mudanya. Hatinya pun bergejolak hebat saat itu. 
Sejurus kemudian, Nirwan sudah terpisah dengan Adi dan Gea yang sudah menuju boarding room. Sebuah tangan Gea melambai ke arah Ayahnya, sementara tangan yang lain menutup separuh mukanya, masih menangis. 
Ketika anaknya sudah hilang dari penglihatan, Nirwan melepas kacamatanya. Terjangan angin di pelataran bandara hanya mampu menyapu rambut putihnya, tetapi tidak mampu menyapu deras air matanya. Nirwan masih berdiri mematung.

Story by: Randy A Islamy