/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Minggu, 17 Februari 2013

Surat Konvensional


Tidak ada maksud saya untuk merayakan hari Valentine. Namun, hanya kebetulan saja bila tulisan saya kali ini agak berhubungan dengan percintaan. Saya menyadari bahwa ada tulisan yang belum ter-posting di dokumen saya. Jadi, daripada tulisan ini nantinya akan terlupakan atau bahkan hilang, lebih baik saya dokumentasikan di blog ini.. Hehehe... So, here's the story begin:


Mungkin saya adalah satu dari sekian banyak orang yang merindukan penggunaan surat secara konvensional (surat tulis tangan + amplop) bisa kembali eksis. Tak bisa dipungkiri dalam beberapa tahun terakhir fungsi surat konvensional ini tergeser oleh maraknya penggunaan surat elektronik seperti email, sms, bbm, bahkan Whats App.

Mengapa saya merindukan hal tersebut? Karena saya yakin surat konvensional memiliki value yang lebih mengesankan, ditambah lagi esensinya lebih mengena dan yang pasti terkadang memiliki efek hasil akhir yang di luar perkiraan. Ya, mungkin perasaan ini dikarenakan kondisi yang ada sekarang (baca: email, bbm, dsb) “mempermudah” segala sesuatunya, sehingga tidak menimbulkan kesan tertentu pada akhirnya.

Ambil contoh, sebut saja sepasang kekasih bernama Kanda dan Dinda (Ingat, ini bukan tokoh di sinetron Ind*siar, ya). Sore itu, mereka merencanakan untuk jalan dan makan bareng dalam rangka merayakan 3 bulanan mereka. Beberapa hari sebelumnya, Kanda sudah menyiapkan surat (ya bisa dibilang surat cinta) untuk Dinda. Cuma ingat, Kanda tidak menuliskan suatu hal yang bersifat puitis, melainkan hanya surat biasa dengan topik pengalaman mereka berdua sejauh ini dan ucapan terima kasih.

Namun, ternyata hal-hal manis yang sudah dibayangkan oleh Kanda tidak semulus yang diharapkan. Ada beberapa kondisi yang membuat Kanda agak kesal dengan Dinda. Sore itu, perdebatan kecil terjadi di kostan nya Dinda. Kanda sebisa mungkin menahan amarah, karena dia tidak mau merusak kencannya malam nanti. Saat sudah menuju mobilpun situasi kaku pun kental terasa. Masing-masing menahan ego nya entah dengan tujuan apa.

Sesampainya di mobil, Kanda tidak langsung menginjak gasnya, melainkan berhenti sejenak, dan mempersilahkan Dinda membaca surat yang sudah Kanda letakkan di kursi depan. Perlahan suasana mencair. Ada seutas senyum dari mereka berdua. Kanda yang malu, memilih untuk agak menjauh beberapa meter untuk membiarkan Dinda membaca suratnya.

Selesai Dinda membacanya, Kanda melihat kekasihnya tersebut menangis. Lalu, didekatinya dan Kanda tidak menyangka situasinya akan seperti ini, “Kamu kenapa nangis?.”

“Aku sedih, terharu aja. Aku nggak nyangka kamu buat surat kayak gini,” kata Dinda dengan air mata sedikit menggenang. “Terima kasih ya, Kanda.”

Lalu, Kanda memberi seutas bunga mawar merah yang memang sudah dipersiapkan dari tadi. Tambahlah deras air mata Dinda.

Kali ini suasana begitu hangat. Hanya keindahan yang mereka berdua rasakan, saat masing-masing memeluk orang terkasihnya dengan sangat erat. Begitu dalam. Begitu lama. Hingga pudar segera rasa ego masing-masing.

“Maafin aku ya, Kanda.”

“Kamu yang mesti maafin aku. Karena aku ngerasa aku terlalu keras untuk masalah sesepele ini,” ujar Kanda, sesaat setelah mencium ubun-ubun kekasihnya itu.

Well, menulis surat secara konvensional memang menyenangkan. Sebab, sekalipun sederhana namun tak terduga efeknya begitu monumental.