Tidak ada maksud saya untuk merayakan hari Valentine. Namun, hanya kebetulan saja bila tulisan saya kali ini agak berhubungan dengan percintaan. Saya menyadari bahwa ada tulisan yang belum ter-posting di dokumen saya. Jadi, daripada tulisan ini nantinya akan terlupakan atau bahkan hilang, lebih baik saya dokumentasikan di blog ini.. Hehehe... So, here's the story begin:
Mungkin saya adalah satu dari sekian banyak orang yang
merindukan penggunaan surat secara konvensional (surat tulis tangan + amplop)
bisa kembali eksis. Tak bisa dipungkiri dalam beberapa tahun terakhir fungsi
surat konvensional ini tergeser oleh maraknya penggunaan surat elektronik
seperti email, sms, bbm, bahkan Whats App.
Mengapa saya merindukan hal tersebut? Karena saya yakin
surat konvensional memiliki value yang lebih mengesankan, ditambah lagi
esensinya lebih mengena dan yang pasti terkadang memiliki efek hasil akhir yang
di luar perkiraan. Ya, mungkin perasaan ini dikarenakan kondisi yang ada
sekarang (baca: email, bbm, dsb) “mempermudah” segala sesuatunya, sehingga tidak
menimbulkan kesan tertentu pada akhirnya.
Ambil contoh, sebut saja sepasang kekasih bernama Kanda dan
Dinda (Ingat, ini bukan tokoh di sinetron Ind*siar, ya). Sore itu, mereka
merencanakan untuk jalan dan makan bareng dalam rangka merayakan 3 bulanan
mereka. Beberapa hari sebelumnya, Kanda sudah menyiapkan surat (ya bisa
dibilang surat cinta) untuk Dinda. Cuma ingat, Kanda tidak menuliskan suatu hal
yang bersifat puitis, melainkan hanya surat biasa dengan topik pengalaman
mereka berdua sejauh ini dan ucapan terima kasih.
Namun, ternyata hal-hal manis yang sudah dibayangkan oleh Kanda
tidak semulus yang diharapkan. Ada beberapa kondisi yang membuat Kanda agak
kesal dengan Dinda. Sore itu, perdebatan kecil terjadi di kostan nya Dinda.
Kanda sebisa mungkin menahan amarah, karena dia tidak mau merusak kencannya
malam nanti. Saat sudah menuju mobilpun situasi kaku pun kental terasa.
Masing-masing menahan ego nya entah dengan tujuan apa.
Sesampainya di mobil, Kanda tidak langsung menginjak gasnya,
melainkan berhenti sejenak, dan mempersilahkan Dinda membaca surat yang sudah
Kanda letakkan di kursi depan. Perlahan suasana mencair. Ada seutas senyum dari
mereka berdua. Kanda yang malu, memilih untuk agak menjauh beberapa meter untuk
membiarkan Dinda membaca suratnya.
Selesai Dinda membacanya, Kanda melihat kekasihnya tersebut
menangis. Lalu, didekatinya dan Kanda tidak menyangka situasinya akan seperti
ini, “Kamu kenapa nangis?.”
“Aku sedih, terharu aja. Aku nggak nyangka kamu buat surat
kayak gini,” kata Dinda dengan air mata sedikit menggenang. “Terima kasih ya,
Kanda.”
Lalu, Kanda memberi seutas bunga mawar merah yang memang
sudah dipersiapkan dari tadi. Tambahlah deras air mata Dinda.
Kali ini suasana begitu hangat. Hanya keindahan yang mereka
berdua rasakan, saat masing-masing memeluk orang terkasihnya dengan sangat
erat. Begitu dalam. Begitu lama. Hingga pudar segera rasa ego masing-masing.
“Maafin aku ya, Kanda.”
“Kamu yang mesti maafin aku. Karena aku ngerasa aku terlalu
keras untuk masalah sesepele ini,” ujar Kanda, sesaat setelah mencium ubun-ubun
kekasihnya itu.
Well, menulis surat secara konvensional memang menyenangkan.
Sebab, sekalipun sederhana namun tak terduga efeknya begitu monumental.