/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Kamis, 17 Oktober 2013

BOCAH PENJUAL TISU DI UNIVERSITAS INDONESIA

Siang itu Angga dan Septi sudah berada di kantin Mesjid Universitas Indonesia untuk makan siang. Keduanya ke UI berniat untuk mendatangi perpustakaan untuk keperluan skripsi.

            Pesanan makanan sudah datang ketika datang seorang bocah penjual tisu menawarkan dagangannya kepada mereka. Septi akhirnya membeli satu tisu seharga Rp. 2500. Memang pada dasarnya si bocah sepertinya sudah terbiasa dan akrab mengobrol dengan pengunjung kantin, yang mayoritas para mahasiswa. Perawakannya cukup gemuk, sekilas mirip Kiki personel Coboy Junior, jadi mari kita sebut saja namanya, Miki (mirip Kiki).


            “Kak, mahasiswa di sini ya?” tanya Miki kepada Angga dan Septi.

    “Wah, nggak kita berdua bukan mahasiswa sini, cuma numpang mau ke perpustakaannya aja,”


            Seperti yang disebutkan tadi, Miki memang doyang ngobrol. Bahkan ketika Angga dan Septi sedang makan, dia terus saja mengobrol kepada mereka sambil duduk di kursi kantin, semeja dengan kedua mahasiswa itu. Obrolannya ngelantur ke sana ke mari, sampai kepada suatu titik di mana arah obrolan semakin serius. Angga dan Septi pun tertarik mendengar cerita sang bocah.

            “Biasanya kamu jualan tisu dari jam berapa ke jam berapa?” tanya Septi.

       

            “Ya, biasanya saya pagi sampai siang sekolah, terus lanjut dari siang sampe sore, kadang malem jualan di sini. Di sekitaran masjid UI ini, kak,” seloroh Miki.


            Diam-diam Angga dan Septi terkejut. Ternyata Miki masih menyempatkan dirinya untuk sekolah. Anak sekecil itu mampu menjalankan dua peran sekaligus; siswa dan pekerja.


            “Itu semua tisu ngambil dari mana? Biasanya keuntungan sehari berapa?” tanya Septi.


            “Ada bos saya, saya biasanya manggil dia Tulang karena dia sama kayak saya dari Medan. Dia baik sama saya, kak. Dulunya saya sempat jadi pengamen, cuma akhirnya disuruh dagang aja sama dia. Eh, bener ternyata duitnya lebih banyak.  Untung sehari bisa seratus ribu, buat Tulang dua puluh ribu, sisanya buat saya. Baik banget kan?


            “Cuma jangan macem-macem deh sama dia. Pernah ada juga bapak-bapak, digampar sama dia karena ketahuan bawa kabur semua duit setorannya. Padahal bapak-bapaknya udah tua, lebih tua dari Tulang, cuma tetep aja dia curang bawa kabur duit setoran jadinya digampar. Keras banget!” cerita Miki agak menggebu-gebu khas anak kecil, sambil sesekali matanya curi pandang ke arah soto yang sedang Angga makan.


            Dia melanjutkan. “Asal kakak tau, dia itu abangnya Hercules, yang megang tanah abang, tuh. Jadi, jangan harap orang-orang bisa kabur dan main curang sama dia. Karena pasti dia kejar ke mana aja mereka pergi sampai ketemu. Dasarnya dia orangnya baik, kak. Apalagi sama saya, soalnya saya nggak pernah macem-macem sama dia.”


            Terus terang Angga dan Septi agak salut sekaligus bergidik mendengar ceritanya. Begitu keras hidup bocah ini, persis seperti yang sering mereka lihat di film. Khusus Angga, dia agak tersentil dengan antusiasme Miki untuk berdagang, yang menurutnya menyenangkan. Belakangan ini, Angga didesak keluarganya untuk segera berdagang, tidak lagi bekerja sebagai karyawan. Kemandirian Miki di usianya yang masih sangatlah muda membuat Angga sedikit iri sekaligus malu.


            “Saya sih, biasa ngobrol-ngobrol sama mahasiswa kayak gini. Tapi kakak juga mesti hati-hati, yang suka jualan tisu kayak gini kadang suka iseng nyolong handphone mahasiswa. Teman saya pernah kayak gitu, terus ketahuan sama Tulang, eh digampar deh. Pokoknya, Tulang paling nggak suka kalau ada anak buahnya yang nyuri, yang tangannya iseng.


            “Itu juga yang bikin saya kesel, kan kasian mahasiswanya kalau gitu. Apalagi takutnya mahasiswa jadi nggak baik lagi sama kita. Meskipun jujur, sih, saya juga pernah nyolong hape mahasiswa. Cuma takut ketahuan sama Tulang, akhirnya besoknya saya balikin hape nya ke mahasiswa itu. Saya minta maaf sama dia, dan akhirnya dia maafin dan malah ngasih duit ke saya. Hehehe..” ujar Miki polos.


            Saat Angga dan Septi hendak menyelesaikan makanannya, tiba-tiba kedua teman Miki, yang sama-sama bocah dan penjual tisu datang menghampiri meja mereka. Ada ribut-ribut dan celaan kecil khas anak-anak antara mereka berdua, yang membuat Angga berpikir, “Ah, betapa tidak beruntungnya mereka. Di saat waktunya anak seumuran mereka sedang enak tidur siang, mereka malah sedang sibuknya menjaja dagangan mereka di luar.”


            Ribut-ribut kecil itu ternyata berujung pada suatu fakta yang mengejutkan, saat salah satu bocah teman Miki mengungkapkan sesuatu yang menohok hati. “Nih, kak, si Miki payah. Duit hasil dagangnya malah dia bisin untuk biaya ngeluarin bapaknya dari penjara.”


            “Apaan sih, lo! Daripada lo, bapak lo tuh bisanya cuma nyuruh lo kerja. Tapi dia sendiri malah enak-enakan di rumah, cuma ngopi dan baca Koran,” kata Miki dengan nada tak terima.


            APA?? Bapaknya Miki dipenjara?? Dan Miki menyelamatkan bapaknya dengan uang hasil jerih payahnya berdagang?? Apa yang diperbuat bapaknya sehingga harus masuk ke penjara? Lalu di mana ibunya?. Pertanyaan demi pertanyaan langsung menyelinap ke dalam benak Angga. Namun, semakin banyak pertanyaan tentang Miki, semakin pula muncul rasa iba yang mendalam. Tak tega rasanya ia menanyakan hal-hal tersebut kepada Miki. Takutnya itu hanya akan menyakiti hati Miki.


            Setelah membayar makanan, Angga dan Septi langsung bergegas ke masjid untuk shalat dzuhur.  Melewati Miki dan kedua temannya itu, Angga dan Septi berinisiatif memberikan uang kecil untuk mereka.


            Tak lama setelah beribadah dzuhur, kami pun langsung bergegas ke perpustakaan UI. Mereka ada di dekat sana. Ya, Miki dan kedua temannya sedang bermain di tepian danau. Tak jelas apa yang mereka mainkan, sepertinya hanya melempar batu-batu ke dasar danau. Mereka tampak akur, meskipun Miki lebih pasif dengan duduk di saat kedua temannya tengah asyik tertawa di sana. Ketiganya melepaskan dagangannya (menyimpan tisu-tisunya di kantong plastik ukuran besar) ke tanah.


            Ya, inilah dunia mereka sebenarnya: Bermain. That’s it! Anak kecil memang seharusnya bermain tidak boleh tidak. Bekerja? Bukan waktunya mereka untuk itu.

             

            Terkadang banyak dari kita yang ingin kembali ke masa kanak-kanak. Masa di mana hidup tidak ada beban, tidak ada tanggungan. Tapi itu kan idealnya. Pada kenyataannya hal itu tidaklah untuk Miki dan kedua temannya itu. Masa kecil mereka diisi dengan kerja keras. Kerja di luar batasnya sebagai anak kecil yang ringkih dan lemah.


Bahkan bukan tidak mungkin, berbeda dengan kita, mereka malah ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Lepas dari segala ketakutan masa kecil yang mereka alami. Bebas dari keras dan kejamnya ibu kota. Berubah menjadi manusia yang kuat, yang bisa berdiri sendiri menjalani hidup.


Angga sering merasa tidak bersyukur selama ini. Keluhan atas dirinya yang bekerja sekaligus kuliah terus menerus ia lontarkan. Padahal, situasi yang ia rasakan tidak jauh beda dengan apa yang tengah dijalani Miki. Bahkan Angga jauh lebih beruntung bisa bekerja di kantoran yang sejuk ber-AC dengan gaji yang cukup. Berbeda dengan Miki, yang penghasilannya tidak melulu pas dan untuk mendapatkan uang ia harus rela berpanas-panasan di bawah terik matahari, bermandikan keringat. 

Dan ingat, Miki masih sangat belia untuk bekerja membanting tulang.





Well, khusus bagi saya, penulis, hal ini diharapkan bisa menjadi cambuk penyemangat dan penyentil di saat saya sering berkeluh kesah mengenai skripsi saya yang sedang  dalam proses. Skripsi yang sedang saya jalani nyatanya hanya secuil bila melihat cerita Miki di atas. Bisa saja Miki tertawa melihat saya yang terlalu membesar-besarkan masalah bernama SKRIPSI setiap harinya, dibandingkan dengan apa yang dihadapi Miki sepanjang hidupnya.


Mudah-mudahan tulisan ini bisa selalu saya baca ketika masa-masa sulit sekonyong-konyong datang, nantinya.

Senin, 26 Agustus 2013

ARSENAL, GURUH GIPSY DAN NASIONALISME


ARSENAL, GURUH GIPSY DAN NASIONALISME


Sudah cukup lama saya tidak singgah di blog tercinta ini. Entah kenapa belakangan ini agak susah mengumpulkan niat dan mood untuk MEMULAI menulis. Saya mencoba mengambil kesimpulan: Mungkin disebabkan karena rutinitas harian yang menjemukan. Kerja dan Kuliah.

Tulisan yang akan saya tulis ini padahal sudah terjadi sekitar sebulan yang lalu, lho! Dan saya baru “berkesempatan” menulisnya sekarang. Ceritanya seperti ini..

Saya sebagai seorang Gooner alias fans Arsenal cukup beruntung bisa kedatangan tim asuhan Arsene Wenger itu ke Jakarta, Indonesia. Seorang saudara mengatakan kepada saya, “Wah, kamu beruntung banget ya, Ren. Belum tentu kalau suatu saat kamu ke Inggris bisa melihat langsung Arsenal. Ehh, malah sekarang mereka yang datang ke Jakarta dan samperin kamu.” Ya, saya mengamini itu.

Sekitar 3 bulan sebelum kick off  di Gelora Bung Karno, saya sudah membeli tiket pre-sale nya melalui komunitas fans Arsenal regional Jakarta. Sekedar jaga-jaga takut kehabisan dan harganya yang lebih miring.

Dan ternyata menjelang hari H saya mendapatkan durian runtuh. Di tempat saya bekerja sekarang ada salah satu klien, yang kebetulan fanpagenya saya pegang yakni beIN SPORT, melayangkan kepada kami untuk liputan di meet and greet bersama pemain Arsenal. Alhamdulillah, rejeki bulan Ramadhan sebut saya dalam hati. Namun, jujur saya tidak mau terlalu berharap banyak sebab dari beIN SPORT sendiri hanya menjatahkan 2 orang saja untuk meliput yang artinya bisa saja bukan saya yang diutus.

Namun, pada keesokan hari kepastiannya sudah jelas: Randy Angga Islamy berangkat ke hotel Keraton Indonesia, tempat di mana para pemain Arsenal menginap!

Kantor kami memang menawarkan aplikasi fanpage berupa Lucky Draw untuk meet and greet dengan pemain Arsenal. Gosipnya, yang akan kami temui adalah Olivier Giroud dan Theo Walcott. Namun, saya tidak terlalu peduli siapa pemainnya. Yang terpenting adalah saya bisa bertatap wajah langsung dengan para punggawa Arsenal. It’s great, it’s a dream come true for me. Terima kasih, Ya Allah!


HOTEL KERATON



Pagi itu saya sudah bersama mas Mike dan dua orang pemenang Lucky Draw di lobi Plaza Indonesia, untuk kemudian menuju ke hotel Keraton. Di sana sudah menunggu beberapa fans Arsenal, tidak begitu banyak ,sehingga pengamanannya meskipun cukup ketat namun berjalan dengan hangat dan bersahabat.

Wajah-wajah sumringah para Gooner dan Goonerettes menjadi pemandangan yang menyenangkan sehingga saya memotret mereka dengan kamera yang sengaja sudah saya persiapkan. Di sana saya juga berkenalan dengan seorang dari agency yang kebetulan sama seperti saya, merupakan seorang Gooner. Ya, kami adalah orang-orang beruntung dan terpilih! Hehehe..

Kami menunggu di lapangan bulu tangkis Hotel Keraton yang sudah dipersiapkan juga tenis meja. Tidak berapa lama kemudian seorang official Arsenal berseru, “Please Welcome, Wojceich Szcsezsny!” Lalu datanglah seorang kiper muda yang handal, bertubuh tinggi besar. Tak pelak, diri yang terkesima ini langsung menjepret kamera dengan jumlah yang banyak. Cezny, nama panggilan Wojceich, lalu menyalami kami satu persatu yang segera mengerubuti dan mengelilinginya. Dia begitu tinggi sehingga kepala saya harus mendongak ke atas. Tangannya pun besar, khas seorang kiper.

Selang semenit, Alex Oxlade Chamberlain datang menyusul! Wow, tubuhnya tak sekecil seperti yang terlihat di TV. Badannya kekar keras dan tingginya pun melampaui saya beberapa centimeter.

Sama seperti Cezny, Chambo, nama panggilan Chamberlain, menyapa dan menyalami kami satu persatu dengan ramah.

Kemudian mereka berdua langsung digiring oleh panitia untuk bermain tenis meja melawan fans Arsenal yang terpilih. Dan itu bukan saya tentunya. Padahal saya cukup mahir bermain olahraga ini. Serius.

Saya memang sudah tahu bahwa pemain-pemain Arsenal jago bermain tenis meja. Saya sudah pernah melihatnya di Youtube, pemain seperti Chambo dan Walcott dikenal handal main bola pingpong. Dan memang, itu terbukti di hari ini ketika Cezny dan Chambo apik bermain pingpong dengan teknik tinggi.

Susunan acara meet and greetnya terbilang kurang rapi dan cenderung random. Sehingga kami pun mencuri-curi kesempatan untuk berfoto atau meminta tanda tangan Cezny ketika Chambo sedang bermain tenis meja. Begitu juga sebaliknya ketika mereka secara bergantian bermain tenis meja. Ya, Alhamdulillah saya bisa berfoto bareng dengan keduanya!

Tak lama kemudian, acara meet and greet pun usai. Chambo dan Cezny segera ditarik untuk hadir di acara lain. Ya, mereka mesti datang ke acara music pagi yang terkenal itu, lho!



SESI LATIHAN ARSENAL DI GBK

Malamnya, setelah berbuka puasa, saya langsung pergi ke Gelora Bung Karno untuk menyaksikan para pemain Arsenal latihan. Hujan yang cukup deras pun tidak menjadi halangan bagi saya untuk menonton dan bagi para pemain Arsenal untuk terus berlatih.

Di sini, baru pertama kali saya melihat langsung bagaimana cara tim professional berlatih. Dari metode dan uji fisiknya sungguh memukau yang mana mereka, di tengah guyuran hujan, berlatih selama hampir 2 jam. Sesekali terdengar chants-chants beberapa pemain Arsenal dari para Gooners yang datang.

“Sagna.. Sagna.. Bacary Sagna! He’s a dodgy hair but we don’t care, Bacary Sagna!”

Untuk chants Sagna ini cukup lucu. Saya menangkap Lukas Podolski, saat chants dinyanyikan, ikut bernyanyi dan memain-mainkan pipi Bacary Sagna dengan gemas. Ya, Lukas Podolski memang termasuk “badut” di skuad Arsenal. Kehadirannya disukai oleh semua awak Arsenal karena sikapnya yang friendly dan bersahabat.

Berulang kali saya merekam suasana latihan dengan handphone. Momen ini sungguh harus diabadikan dan saya cukup menyesal tidak membawa kamera SLR karena takut tidak diperbolehkan dibawa masuk.

Diri ini pun “menyombongkan diri” saat beberapa fans meneriakkan nama Cezny yang berlatih sendiri (karena kiper memang berlatih terpisah). Dalam hati, “Hehehe kalian pasti capek kan teriakin nama Cezny. Gue enak dong bisa langsung ketemu dia dan bahkan Chamberlain juga! Hehehe..”



KICK OFF at GELORA BUNG KARNO: INDONESIA XI vs ARSENAL



Minggu 14 Juli 2013 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia khususnya para Gooners dan saya. Arsenal bermain di bumi pertiwi tercinta untuk kedua kalinya setelah David O’leary dan skuad Gunners sempat bertandang ke Indonesia pada dua decade yang lalu. Hari ini akan kami, para Gooners, kenang dan akan diceritakan kepada anak cucu kami bahwa tim terhebat pernah bermain melawan timnas Indonesia.

Sengaja saya buka puasa di rumah dulu sebelum pergi ke GBK. Di sini, sudah datang ribuan orang penggemar Indonesia dan Arsenal tentunya dengan semangat yang meluap.

Namun, hal ini agak ternoda saat ada sedikit kericuhan di pintu masuk. Rupanya, satu pintu masuk lainnya tidak dibuka sehingga massa yang harusnya terbagi dua mesti menjadi satu. Alhasil, saya kami harus berhimpitan masuk ke dalam stadion. Emosi meluap, cemoohan dan umpatan kotor pun pecah mengarah panitia. Dalam kondisi ini, saya hanya kasihan kepada Goonerettes yang harus bersesakan terkepung oleh badan-badan besar penonton laki-laki.

Di tribun, saya Alhamdulillah dapat spot duduk yang lumayan oke. Chants-chants Arsenal pun terdengar megah sebelum pertandingan. Saya pun ikut berteriak menyanyikan chants yang hanya beberapa saja dihapal.

Pukul 20.45 WIB peluit kick off pun ditiup. Agak sedikit kecewa karena tidak ada nama Jack Wilshere di list pemain Arsenal. Belakangan diinformasikan bahwa ia terkena flu. Namun, bisa jadi memang ia sengaja disimpan karena Arsenal masih harus melawat ke Vietnam dan Jepang dalam laga tur pra musim Asia ini. Begitu juga Ryo Miyaichi yang terkena cedera ringan saat latihan kemarin, sehingga tidak dapat bermain hari ini.

Pemain-pemain muda Arsenal pun dimainkan di sini. Ada nama Chuba Akpom, Thomas Eitsfeld, Kris Ollson, Gideon Zelalem, Serge Gnabri dan Ignasi Miquel. Dari nama-nama ini, saya mendukung Serge Gnabri dan Gideon Zelalem untuk masuk ke skuad utama musim ini. Gnabry memiliki tipikal bermain seperti Chamberlain yang memiliki footwork baik dan kecepatan dribble memukau. Sedangkan Zelalem, meskipun bertubuh kurus namun visinya begitu luar biasa sebagai seorang gelandang tengah. Dia pun kemudian disebut-sebut memiliki kemiripan bermain seperti eks gelandang Gunners, Cesc Fabregas. Dan memang, selama pra musim di Asia ini Zelalem menjadi “bocah” Arsenal yang paling bersinar.

Pertandingan berjalan seru dan cenderung berat sebelah, hingga akhirnya skor akhir menunjukkan 0-7 untuk Arsenal. Gol dicetak oleh Walcott, Akpom, Giroud (2 gol), Podolski, Ollson dan Eitsfield.

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menyaksikan Arsenal secara langsung. Ini seperti “naik haji” bagi saya dan saya boleh berbangga untuk resmi melepas embel-embel “fans karbitan” hari ini. Sebab, selama ini saya hanya bisa membeli jersey KW Thailand alih-alih jersey original yang official. Nah, sekarang dari tiket yang saya beli itu artinya saya sudah memberi pemasukan langsung untuk Arsenal, yang dalam candaan saya bisa untuk tambahan pembelian Wayne Rooney atau Luis Suarez.

Setidaknya, saya tidak seperti fans klub sebelah. Yang selalu mengaku sebagai fans die hard tapi ketika tim mereka batal hadir, langsung mengamuk meminta uang tiketnya dikembalikan. Ya, kalau memang mengaku fans sejati mbo’ ya diikhlaskan saja uangnya. Is that what you called DIE HARD FANS, ha? Hehehe…

Beruntung saya bisa melihat langsung bagaimana besarnya tubuh Giroud yang membuatnya, tidak jauh seperti yang saya lihat di TV, terlihat agak lambat dan berat namun memiliki power, keeping ball juga positioning yang keren. Walcott dengan kecepatan larinya yang super, meskipun di pertandingan ini tidak terlalu ia perihatkan. Chamberlain yang di sini ditunjuk sebagai playmaker menggantikan posisi Cazorla. Kemampuan dribblingnya memang mengagumkan.

Menuju ke tengah, saya melihat begitu pesatnya perkembangan Aaron Ramsey sebagai penyeimbang tim dengan stamina yang di atas rata-rata. Lalu semakin sentralnya peran Mikel Arteta sebagai seorang pemimpin yang sanggup memberikan ketenangan kepada para pemain di tengah lapangan. Juga Tomas Rosicky yang di umurnya yang sudah tidak muda lagi tetap bisa memberikan kontribusi maksimal berupa dribbling dan visi bermain yang apik.

Mundur ke belakang. Per Mertesacker memang benar-benar seakan lamban dan melayang. Tubuhnya begitu tinggi namun dengan pengalamannya dapat membaca permainan dengan cukup baik di belakang. Laurent Koscielny merupakan sosok petarung sejati yang rela berjibaku demi mempertahankan gawangnya dari kebobolan. Lalu ada Kierran Gibbs yang semakin membuat saya yakin bahwa dia bisa menjadi the next Ashley Cole di Arsenal. Juga Bacary Sagna, yang menurut feeling saya potensial menjadi bek tengah di samping menjadi right full back. Mengingatkan saya pada sosok Lilian Thuram, bek dan legenda Prancis dan Juventus. Dan terkahir, Carl Jenkinson yang besar di keluarga Gooners bisa berkembang menjadi pilihan utama bek kanan Arsenal menyaingi Sagna. Karena bagi saya ada satu faktor yang membuat Jenkinson lebih baik dari Sagna: Kemampuan offense dan teknik yang lebih baik.

Dari sisi kiper, Cezny memang tidak bermain di pertandingan ini. Namun, kehadiran Lukas Fabianski membuat saya berpikir bahwa Arsenal tidak terlalu membutuhkan kiper baru semisal Julio Cesar. Karena duo kiper Polandia ini sudah cukup bagus di mistar gawang Arsenal.

Sedangkan untuk Arsene Wenger, saya sama seperti kebanyakan Gooners lainnya yang mendesak ia untuk membeli pemain baru. Kedalam skuad di Arsenal diperlukan bila ingin bisa konsisten di berbagai kompetisi yang diikuti The Gunners. Pemain yang saya harapkan Wenger bawa adalah: Luis Suarez, Ashley Williams dan Maouranne Fellaini. Setidaknya, Wenger harus memboyong tiga pemain bagus di tiga posisi itu: Striker, gelandang jangkar, dan bek tengah untuk memperkuat tim.



GURUH GIPSY

Well, tetap saja, kemenangan 7-0 ini menimbulkan banyak cercaan atau kecurigaan terhadap kami para gooners. Via twitter, status BBM dan banyak lagi, public dan juga ada beberapa teman saya yang mengira gooners kehilangan semangat nasionalismenya. Kurang lebih pernyataan mereka seperti ini:
-          Wah, pada seneng ya Indonesia dibantai Arsenal!
-          Bukannya dukung Indonesia malah dukung tim luar!
-          Sedih ngeliat para penonton seneng pas Arsenal golin gawang Kurnia Meiga
-          Dan banyak sindiran lain yang mengarah ke kami para Gooners

Ironisnya, salah satu kerabat yang sama, yang nyinyir perihal kesadisan Arsenal mengalahkan timnas Indonesia dan mengagungkan (katanya) semangat Nasionalisme, sepekan kemudian malah datang dan mendukung Liverpool (tentu mengenakan jersey Liverpool juga) mengalahkan Indonesia di Gelora Bung Karno. So funny, isn’t it?

Anyway, di sini saya coba meluruskan keadaan. Saya berbicara ini dari sudut pandang saya pribadi, ya. Kami, gooners, bukannya tidak nasionalisme kok. Melainkan hanya menghormati tamu yang kebetulan adalah klub favorit kami. Bukankah bangsa ini sendiri yang menanamkan pada kita nilai-nilai menghargai dan menghormati orang lain dalam hal ini tamu?

Lagipula, hal ini sudah menjadi mimpi kami sejak lama untuk melihat secara langsung permainan Arsenal. Terlebih seperti saya yang belum memiliki kecukupan finansial untuk menonton langsung Arsenal di Inggris tentu kesempatan ini tidak bisa disia-siakan begitu saja.


Jujur, agak aneh bagi saya untuk mendengar seruan NASIONALISME dari mereka yang masih memenuhi playlist Coldplay, Maroon 5, atau Rihanna di mp3 player atau handphone mereka ketimbang mendengarkan lagu Afgan, Noah, Gigi atau Rossa. Gengsi atau kurang keren kalau mendengarkan dan mendendangkan lagu-lagu Indonesia, katanya.

Coba saya tanya, lagu apa yang terakhir kalian dengar dan dendangkan dari smartphone atau laptop kalian?

Pula saya yakin bahwa berita kepastian band legend rock Metallica akan manggung di Jakarta tanggal 25 Agustus 2013, lebih menarik perhatian kalian ketimbang fakta bahwa ada grup band legendaris Indonesia besutan Guruh Soekarno Putra dan gank pegangsaan (Chrisye dan Keenan Nasution) bernama Guruh Gipsy, yang piringan hitam atau vinylnya masih dicari pecinta music luar negeri hingga saat ini.

Jangankan tertarik, saya juga yakin  tidak banyak dari kalian yang tahu bahkan pernah mendengar band bernama Guruh Gipsy ini.

Atau jika kita kembali berbicara sepakbola, pasti kalian lebih tahu nama anak Lionel Messi yakni Thiago ketimbang anaknya Bambang Pamungkas. Sama seperti halnya, ketidaktahuan kalian akan nama istri dari Firman Utina sedangkan kita fasih sekali menyebutkan nama kekasih Cristiano Ronaldo, Irina Shayk.

Ayolah, berat bagi kita yang “sok peduli” ini untuk menyebutkan kata NASIONALISME. Sebab Nasionalisme ini sakral dan tidak sembarangan orang bisa memaknai ini dengan sejati. Dan kita belum cukup modal untuk itu.

Percayalah, kami para Gooners, juga sedih kok saat Boaz gagal menyelesaikan peluang emas di depan gawang Arsenal. Bahkan saya pribadi juga kesal dengan permainan si naturalisasi yang bermain untuk Persib itu, yang menurut saya hanya bisa berlari-lari kecil dan melompat tidak jelas selama pertandingan. Melihat penampilannya yang miris, muncul kerinduan saya akan sosok Widodo C Putro, Rocky Putiray, Budi Sudarsono atau Ilham Jayakusuma di lini depan Garuda.

Dalam hati, saya berharap setidaknya Indonesia mampu mencetak gol dan juga Arsenal seharusnya tidak perlu mencetak gol sebanyak itu. Namun, saya paham mereka adalah pesepakbola professional yang hanya ingin menghibur para fansnya yang sudah membayar mahal untuk itu.

Lagipula, para punggawa Arsenal sudah lama tidak bermain bola imbas dari libur kompetisi. Jadi, setelah lama tidak bermain tentu ada kecenderungan menjadi “gila” saat bertemu kembali dengan bola.  Dalam hal lain pun kalian pasti juga akan merasakan hal ini ketika memiliki passion yang kuat terhadap sesuatu. Benar tidak?

Seperti yang pernah dikatakan oleh legenda hidup sepakbola asal Argentina, Diego Maradona.

“To see the ball, to run after it, makes me the happiest man in the world”

Sahabat, meskipun jersey yang kami kenakan adalah Arsenal dan berlogokan meriam, percayalah kalian semua bisa pastikan lalu belah dada kami. Di sana akan terlihat bahwa jantung kami masih berbentuk gagahnya GARUDA, aliran darah kami masih pekat berwarna MERAH dan tulang kami pun akan tetap selalu berwarna PUTIH.

It’s all just about respecting people and fulfilling our passion on being a GOONERS. That’s it. Case closed.


  










Minggu, 28 Juli 2013

Ke Jakarta Aku Kan Kembali

                                                                                                            16 Juni 2013




Saat ini saya baru saja melewati Stasiun Malang menuju jalan pulang ke Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan, kunjungan ke malang 2 hari 1 malam ini tidak cukup. Perjalanan banyak tersita di atas rel ketimbang jalanan aspal kota Malang.

Di hari pertama, setelah melalui kurang lebih 15-16 jam perjalanan keretam saya dan Igo langsung menemui Feby untuk segera ke rumah pengantin yakni teman kami, Dita. Tidak ada waktu istirahat, karena pada jam 11 acara resepsi akan berlangsung. Tak sia-sia perut kososng selama perjalanan, pada saat acara resepsi hampir semua jenis makanan yang tersedia kami lahap. Kenyang!

Setelah selesai acara resepsi, kami langsung menuju hotel untuk istirahat sejenak. Ema, teman kami menyusul ke hotel untuk kemudian mengajak kami untuk berwisata kuliner bakso bakar. FYI, Ema adalah teman kami –begitu juga Dita- saat  “berguru” di kampung Inggris-Pare, beberapa tahun yang lalu.

Malamnya, pengantun baru mengajak kami mlaku-mlaku alias jalan-jalan ke Batu. Sekitar setengah jam perjalanan kami tiba di daerah wisata Batu, tepat di alun-alunnya. Langsung saja kami menuju kedai susu murni yang terletak di pinggir alun-alun. Rasa susu hangatnya tetap sama, suegerr tenaaannn..

Suasana alun-alun begitu berbeda dibanding terakhir saya ke sini 4 tahun lalu. Orang lalu-lalang oenh dan disesaki pula oleh kendaraan bermotor yang memarkir di sana –sini. Kebetulan pula sedang ada BATU FAIR (sejenis Jakarta Fair) di sekitar alun-alun. Muda-mudi hilir mudik membuat mata yang mengantuk ini menjadi segar sekejap. Ditambah banyak penampakan gadis cantik rupawan di sini.

Alun-alunnya meriah sekali dikarenakan banyaknya arena bermain seperti kincir-kincir, playground dan mobil-mobilan kecil untuk anak bermain. Khusus kincir-kincir, bentuknya begitu megah mengingatkan saya kepada The London Eye-nya Inggris.




Di salah satu sudut pun kita bisa melihat anak-anak kecil main air. Airnya muncul dari bawah tanah, seperti permainan air mancur yang ada di Lollypop dalam mal-mal Jakarta. Tetapi yang ini berbeda, anak-anak bisa bermain secara cuma-cuma, ya Gratis. Hebat juga, ya, main air diselimuti udara dingin kota Batu..

Saya sungguh salut dengan pemerintah setempat yang bisa membaurkan masyarakat ke dalam suatu wadah yang meriah dan murah. Muda-mudi memadu kasih, anak kecil main yang ditemani para orang tua menjadi pemandangan lumrah di tengah warna-warni dan kelap-kelip alun-alun Batu.

Tidak lama kemudian kami pun pulang. Selain karena saya, Igo dan Feby sudah lelah tentu kami juga ingin mempersilakan Dita dan mas Fajar, suaminya, untuk melanjutkan “kegiatan” lainnya. If you know what I mean..

Pertandingan sepakbola antara Spanyol U-21 vs Norwegia U-21 pun menjadi tidak menarik bagi saya. Hanya sanggup menonton satu babak, akhirnya pun saya tertidur.

Keesokan paginya, saya menyempatkan diri untuk melihat aktivitas  “Car Free Day” di jalan raya sekitar hotel, sebelum sarapan pagi. Ya, ramai dan tertib.

Selepas dzuhur kami pun check out dari hotel kemudian kembali ke rumah Dita untuk pamitan. Seperti biasa, sambutan orangtua dan keluarganya begitu baik. Sang ibu memberi jaminan tempat numpang menginap bila suatu saat kami kembali datang ke Malang lagi. Kami benar-benar berterima kasih atas sambutan keluara Dita yang tulus. Keluarga yang hangat dan menyenangkan.

Empat stasiun sudah terlewati saat saya ingin mengakhiri tulisan ini. Oh iya, saat perjalanan kereta dari Jakarta menuju Malang kemarin saya mendapat kabar baik. Kakak saya melahirkan seorang putri cantik, Vania namanya. Tentu, sudah tidak sabar saya ingin bertemu dan mencium pipi imut si kecil Vania.

Bukan hanya itu, saya juga tidak sabar ingin bersua kembali denganmu, iya, kamu…

Ke Jakarta aku kan kembali…


Selasa, 09 Juli 2013

Ujian di Hari Pertama Ramadhan

Rabu, 9 Juli 2013.

Tuhan melalui JakartaNya langsung memberikan ujian berat buat gue di hari pertama bulan Ramadhan. Pulang kerja yang sudah seharusnya jam 5 sore, agak tertunda ketika gue masih ingin melanjutkan pekerjaan. Terlebih di luar hujan dari siang nggak berhenti-berhenti. Akhirnya pun gue keluar kantor tepat pukul 17.22 WIB.

Seperti biasa, Transjakarta di kondisi hujan seperti ini sulit untuk diharapkan, karena hujan sedikit saja sudah pasti membuat lajunya tersendat sehingga diharuskan menunggu waktu yang lama, ditambah kondisi jalanan macet membuat gue lebih memilih kereta sebagai transportasi alternatif.

Sial buat gue ketika angkot yang gue naiki ternyata harus berputar mencari jalan lain saat sang sopir menemui kebuntuan di kemacetan Jakarta. Padahal gue harus naik angkot ke-dua di step berikutnya. Jadilah gue diturunkan di dekat jembatan Jati Petamburan yang untuk menaiki angkot rute lain berikutnya.

Hujan benar-benar nggak mau berhenti dan gue lupa bawa jaket parasut. Kuyup.

Angkot yang gue tunggu-tunggu nggak kunjung datang. Akhirnya, gue memutuskan untuk jalan kaki di tengah guyuran hujan. Jalanan yang becek penuh genangan air yang tinggi membuat gue harus berhati-hati dalam berjalan. Trotoar yang semestinya sudah menjadi hak gue pun dijajah oleh para pedagang makanan warung tenda. Bahkan, ada satu adegan yang memuakkan ketika gue harus, “Permisi ya, pak. Numpang lewat, maaf,” mengatakan ini kepada pedagang tersebut saat melewati warung tendanya. Gue pun bingung kenapa bisa minta maaf pada mereka.

Perjalanan pun dilanjutkan dengan gue berjalan di sisi kali Jati Petamburan yang airnya sudah begitu tinggi. Lagi-lagi gue harus berjibaku dengan motor-motor yang lewat plus trotoar yang dijajah oleh para pedagang. Jarak tempuh yang harus gue lalui dengan jalan kaki ini mungkin mencapai 1 km, dan hari sudah semakin senja, gue harus tetap bisa mengejar kereta jam 6 karena gue bertekad untuk berbuka puasa hari pertama di rumah.

Tak terhitung sudah berapa kali ucapan kotor berbau kebun binatang keluar dari benak atau mulut gue, memaki kondisi yang gue alami saat ini. Jarak yang jauh, cipratan genangan air dari pengendara sepeda motor dan hujan yang kadang deras-kadang sedang.

Akhirnya, setelah jalan kaki cukup jauh gue menaiki angkot yang mengarah stasiun Tanah Abang. Sebenarnya, nggak terlalu jauh, tapi karena gue harus mengejar waktu jadilah gue naik angkot ini. Sesampainya di stasiun, gue dan penumpang lainnya pun turun untuk lalu memberikan ongkos ke sopir. Di sini gue kalut, hehehe. Gue yang buru-buru pun kesal saat gue ingin kasih uang, sang Sopir malah sibuk menghitung uangnya. Jadilah gue melempar duit gue ke jok samping Sopir. Gue pun harus menabrak seorang penumpang untuk itu, saking nggak sabarnya.

Lalu, gue pun berlari menaiki tangga stasiun Tanah Abang tanpa terlalu memperdulikan kondisi anak tangga yang becek terkena hujan. Setelah membeli tiket, gue pun bertanya ke petugas, “kereta ke Bogor sudah datang?.” “Itu baru saja datang, buruan cepat ke peron 3!” kata petugas. Gue pun berlari dan menerobos puluhan orang yang baru turun kereta, di tangga stasiun menuju peron. Di sini gue sempat khilaf dengan agak kasar mendorong pemuda yang berjalan lambat di depan gue, untuk “overlapping."

Kereta masih menunggu, namun pintu sudah siap tertutup sampai, Gue berlari secepat mungkin masuk ke dalam kereta. Tak peduli, gue menabrak (lagi) sekumpulan penumpang kereta yang mengendap di mulut pintu. Untuk yang satu ini gue nggak peduli, dan nggak merasa bersalah sekalipun meskipun terdengar keluhan-keluhan minor dari mereka setelah gue menabrak –sebenarnya kata menyenggol lebih tepat—, karena siapa suruh mereka berkumpul di situ,di saat sebenarnya di deretan kursi masih banyak space kosong untuk berdiri. Gue paham sih, hal itu mereka lakukan agar nggak sulit turun ketika sudah sampai di stasiun tujuan.

Napas gue pun tersengal setelah melewati berbagai macam “rintangan” tadi menuju stasiun dari kantor. Sebenarnya untuk jadwal kereta Bogor berikutnya masih ada jam 18.33 WIB. Namun, butuh waktu setengah jam lagi buat gue tunggu. Jelas gue nggak mau, karena gue sudah tekad untuk berbuka puasa hari pertama di rumah.

Ahh, betapa durasi setengah jam sangat berarti di Jakarta. Meleset sedikit saja semuanya bisa berantakan. Kalau saja tadi gue telat beberapa detik saja, dipastikan gue bisa nggak ikut kereta 18.00 dan ini akan berujung pada kemacetan atau hambatan lain, sehingga gue akan telat berbuka puasa di rumah.


Adzan sayup-sayup terdengar dari masjid di dekat stasiun. Hampir saja gue lupa kalau saat ini gue sedang berpuasa. Korma 3 buah yang sudah gue siapkan pun jadi enggan gue cicipi karena kondisi dalam kereta yang cukup penuh.

Akhirnya, setelah sukses mengatur napas , gue pun membatalkan puasa pertama gue dengan tegukan air minum saja. Alhamdulillah.

Jumat, 29 Maret 2013

JAKARTA ADA-ADA SAJA, YA!


       Picture by: Gito Barkah


Ya, belum sampai seminggu kemarin ada mayat tergeletak di jembatan penyeberangan persis depan kantor gue. Beruntung gue tidak melihat langsung, berbeda dengan teman gue yang sempat melihat tubuh sang mayat mulai membiru. Tidak jelas disebabkan oleh apa, yang pasti fenomena itu cukup tidak lumrah buat gue sejauh gue tinggal di Jakarta.


Yaudahlah, topik tadi begitu menyeramkan. Bagaimana kalau kita membahas hal yang lebih menyenangkan?


Oke, suatu pagi seperti biasa gue berangkat kerja ke kantor via Transjakarta. Dan seperti biasa (lagi) gue berdiri, tidak dapat tempat duduk. Nah, pointnya di sini, nih. Ketika di depan gue ada seorang ibu dengan 3 anaknya, plus asisten rumah tangga.


Tidak ada yang aneh sampai tiba-tiba salah satu anak, yang gue takar kira-kira berumur 10 tahun, sedang menggenggam Samsung Tablet sambil duduk dengan sikap leyeh-leyeh. Yah, namanya juga anak-anak, mungkin dia belum dapat pelajaran sikap Tenggang Rasa, sehingga tidak mempedulikan gue yang berdiri sambil bersimbah peluh kegerahan. Well, gue tidak sedang mengeluh, ya. Hehehe.


Yang menarik adalah si anak Tab ini mendengarkan lagu dari Tabnya tanpa menggunakan earphone. Volumenya tak tanggung-tanggung: sepertinya mampu terdengar seantero Transjakarta. Lagunya? Jangan ditanya. Tak tanggun-tanggung lagunya Bruno Mars (maaf gue tidak tahu judulnya, yang pasti lagunya baru dan familiar di telinga) dan Laruku (gue juga tidak tahu judulnya). Dan bahasa tubuhnya pun sungguh menggemaskan. Mulutnya bergumam. Ya, dia hafal lirik lagu-lagu tersebut!


Yassalam, gue langsung flashback ke masa lalu saat gue seumuran dia kira-kira apa yang sering gue lakukan. Lalu, muncullah Galaksin, Tak Benteng, Taplak, Gundu alias Kelereng di benak, dan oh, timbullah “diobok-obok”nya Joshua, lagu-lagunya Sherina, (dulu gue naksir berat ini orang), Hits Trio Kwek-kwek yang dulu kadang segan gue nyanyikan karena gue pemalu. Ahh, pada pergi kemana kalian sekarang ini?


Tepat keesokan harinya, gue menemukan lagi cerita lain dari Jakarta. Sepulang kuliah, gue yang baru turun dari kereta langsung bergegas menuju angkot untuk pulang. Angkotnya ngetem seperti biasa (lagi-lagi). Pemandangan yang tidak lumrah, saat gue melihat sang sopir angkot sedang memangku anaknya, yang kira-kira masih 2 tahun, di depan kemudinya. Kesehariannya gue bisa melihat hal yang sama pada keponakan gue, yang dipangku bapaknya di depan setir, untuk jalan-jalan keliling sekedar untuk hiburan.


Yang ini jelas berbeda, si anak “dipaksa” orangtuanya untuk ikut dan menjadi saksi mata sang Ayah mencari nafkah. Tak lama, ibu nya datang. Pasangan suami-istri itu terbilang muda. Gue prediksi si Ayah tak lebih dari 24 tahun. Sedangkan istrinya mungkin sepantaran member JKT48 yang paling muda, deh.


Sepanjang perjalanan, si Ibu  menyuapi anaknya dengan tahu gorengan, yang tadi dibelinya dekat stasiun. Ayahnya merokok. Dan tak lama setelah ia selesai menghembuskan asap beracunnya itu, ia tarik lengan anaknya kembali ke pangkuannya. Sekarang, giliran sang Ibu yang merokok.


Gue sempat sedih waktu lengan anak itu ditarik Ayahnya, yang buat seumuran dia itu termasuk kasar. Keprihatinan gue tidak berhenti sampai di situ. Beberapa kilometer sebelum gue turun, angkot sempat menepi. Rupanya, duet maut Suami-Istri itu membeli sebungkus rokok tambahan serta minuman kopi kemasan. Yang namanya Ibu pasti rasa sayang ke anaknya begitu besar. Namun, masing-masing persona tentu memiliki caranya tersendiri untuk mengungkapkan hal tersebut.


Setelah selesai menyuapi goreng tahu ke anaknya, sang Ibu memberikan minuman kopi kemasannya itu untuk si buah hati. Ya, gue ulang dan lengkapi, minuman kopi kemasan yang mungkin harganya cuma Rp 1.000 dengan komposisi kafein yang tinggi! Jaman kuliah D3 dulu, gue sering minum kopi kemasan itu dan itu ampuh buat gue dan kawan-kawan menyelesaikan tugas sampai larut dengan mata melek sempurna.


Gue sih tidak tahu dampak apa yang diterima oleh bayi bila mengonsumsi kafein. Yang jelas itu bukanlah suatu hal yang positif.


Well, gue di sini sama sekali tidak menghakimi atau menyalahkan kedua orang tua tangguh tersebut atas gorengan, tarikan lengan yang kasar, kopi kemasan dan asap rokoknya. Mungkin bagi mereka itu cara terbaik dalam mendidik anaknya untuk lebih tangguh dalam menghadapi kerasnya Ibu Kota, kelak.


Saat menulis ini, ada satu kalimat yang langsung terngiang di otak gue: INI JAKARTA, BUNG!

Minggu, 17 Februari 2013

Surat Konvensional


Tidak ada maksud saya untuk merayakan hari Valentine. Namun, hanya kebetulan saja bila tulisan saya kali ini agak berhubungan dengan percintaan. Saya menyadari bahwa ada tulisan yang belum ter-posting di dokumen saya. Jadi, daripada tulisan ini nantinya akan terlupakan atau bahkan hilang, lebih baik saya dokumentasikan di blog ini.. Hehehe... So, here's the story begin:


Mungkin saya adalah satu dari sekian banyak orang yang merindukan penggunaan surat secara konvensional (surat tulis tangan + amplop) bisa kembali eksis. Tak bisa dipungkiri dalam beberapa tahun terakhir fungsi surat konvensional ini tergeser oleh maraknya penggunaan surat elektronik seperti email, sms, bbm, bahkan Whats App.

Mengapa saya merindukan hal tersebut? Karena saya yakin surat konvensional memiliki value yang lebih mengesankan, ditambah lagi esensinya lebih mengena dan yang pasti terkadang memiliki efek hasil akhir yang di luar perkiraan. Ya, mungkin perasaan ini dikarenakan kondisi yang ada sekarang (baca: email, bbm, dsb) “mempermudah” segala sesuatunya, sehingga tidak menimbulkan kesan tertentu pada akhirnya.

Ambil contoh, sebut saja sepasang kekasih bernama Kanda dan Dinda (Ingat, ini bukan tokoh di sinetron Ind*siar, ya). Sore itu, mereka merencanakan untuk jalan dan makan bareng dalam rangka merayakan 3 bulanan mereka. Beberapa hari sebelumnya, Kanda sudah menyiapkan surat (ya bisa dibilang surat cinta) untuk Dinda. Cuma ingat, Kanda tidak menuliskan suatu hal yang bersifat puitis, melainkan hanya surat biasa dengan topik pengalaman mereka berdua sejauh ini dan ucapan terima kasih.

Namun, ternyata hal-hal manis yang sudah dibayangkan oleh Kanda tidak semulus yang diharapkan. Ada beberapa kondisi yang membuat Kanda agak kesal dengan Dinda. Sore itu, perdebatan kecil terjadi di kostan nya Dinda. Kanda sebisa mungkin menahan amarah, karena dia tidak mau merusak kencannya malam nanti. Saat sudah menuju mobilpun situasi kaku pun kental terasa. Masing-masing menahan ego nya entah dengan tujuan apa.

Sesampainya di mobil, Kanda tidak langsung menginjak gasnya, melainkan berhenti sejenak, dan mempersilahkan Dinda membaca surat yang sudah Kanda letakkan di kursi depan. Perlahan suasana mencair. Ada seutas senyum dari mereka berdua. Kanda yang malu, memilih untuk agak menjauh beberapa meter untuk membiarkan Dinda membaca suratnya.

Selesai Dinda membacanya, Kanda melihat kekasihnya tersebut menangis. Lalu, didekatinya dan Kanda tidak menyangka situasinya akan seperti ini, “Kamu kenapa nangis?.”

“Aku sedih, terharu aja. Aku nggak nyangka kamu buat surat kayak gini,” kata Dinda dengan air mata sedikit menggenang. “Terima kasih ya, Kanda.”

Lalu, Kanda memberi seutas bunga mawar merah yang memang sudah dipersiapkan dari tadi. Tambahlah deras air mata Dinda.

Kali ini suasana begitu hangat. Hanya keindahan yang mereka berdua rasakan, saat masing-masing memeluk orang terkasihnya dengan sangat erat. Begitu dalam. Begitu lama. Hingga pudar segera rasa ego masing-masing.

“Maafin aku ya, Kanda.”

“Kamu yang mesti maafin aku. Karena aku ngerasa aku terlalu keras untuk masalah sesepele ini,” ujar Kanda, sesaat setelah mencium ubun-ubun kekasihnya itu.

Well, menulis surat secara konvensional memang menyenangkan. Sebab, sekalipun sederhana namun tak terduga efeknya begitu monumental.