HIDUP DI SEBUAH DUNIA YANG BERBEDA, DI MANA GUE NGGAK PERLU KHAWATIR AKAN SERANGAN KOLESTEROL ATAUPUN PARA PENJAHAT LAINNYA... KARENA DI SANA NGGAK ADA SIAPA2 SELAIN GUE SENDIRI...
Kamis, 17 Oktober 2013
Senin, 26 Agustus 2013
ARSENAL, GURUH GIPSY DAN NASIONALISME
ARSENAL,
GURUH GIPSY DAN NASIONALISME
Sudah
cukup lama saya tidak singgah di blog tercinta ini. Entah kenapa belakangan ini
agak susah mengumpulkan niat dan mood untuk MEMULAI menulis. Saya mencoba
mengambil kesimpulan: Mungkin disebabkan karena rutinitas harian yang
menjemukan. Kerja dan Kuliah.
Tulisan
yang akan saya tulis ini padahal sudah terjadi sekitar sebulan yang lalu, lho!
Dan saya baru “berkesempatan” menulisnya sekarang. Ceritanya seperti ini..
Saya
sebagai seorang Gooner alias fans Arsenal cukup beruntung bisa kedatangan tim
asuhan Arsene Wenger itu ke Jakarta, Indonesia. Seorang saudara mengatakan
kepada saya, “Wah, kamu beruntung banget ya, Ren. Belum tentu kalau suatu saat
kamu ke Inggris bisa melihat langsung Arsenal. Ehh, malah sekarang mereka yang
datang ke Jakarta dan samperin kamu.”
Ya, saya mengamini itu.
Sekitar
3 bulan sebelum kick off di Gelora Bung
Karno, saya sudah membeli tiket pre-sale nya melalui komunitas fans Arsenal
regional Jakarta. Sekedar jaga-jaga takut kehabisan dan harganya yang lebih
miring.
Dan
ternyata menjelang hari H saya mendapatkan durian runtuh. Di tempat saya
bekerja sekarang ada salah satu klien, yang kebetulan fanpagenya saya pegang
yakni beIN SPORT, melayangkan kepada kami untuk liputan di meet and greet
bersama pemain Arsenal. Alhamdulillah, rejeki bulan Ramadhan sebut saya dalam
hati. Namun, jujur saya tidak mau terlalu berharap banyak sebab dari beIN SPORT
sendiri hanya menjatahkan 2 orang saja untuk meliput yang artinya bisa saja
bukan saya yang diutus.
Namun,
pada keesokan hari kepastiannya sudah jelas: Randy Angga Islamy berangkat ke
hotel Keraton Indonesia, tempat di mana para pemain Arsenal menginap!
Kantor
kami memang menawarkan aplikasi fanpage berupa Lucky Draw untuk meet and greet
dengan pemain Arsenal. Gosipnya, yang akan kami temui adalah Olivier Giroud dan
Theo Walcott. Namun, saya tidak terlalu peduli siapa pemainnya. Yang terpenting
adalah saya bisa bertatap wajah langsung dengan para punggawa Arsenal. It’s
great, it’s a dream come true for me. Terima kasih, Ya Allah!
Pagi
itu saya sudah bersama mas Mike dan dua orang pemenang Lucky Draw di lobi Plaza
Indonesia, untuk kemudian menuju ke hotel Keraton. Di sana sudah menunggu
beberapa fans Arsenal, tidak begitu banyak ,sehingga pengamanannya meskipun
cukup ketat namun berjalan dengan hangat dan bersahabat.
Wajah-wajah
sumringah para Gooner dan Goonerettes menjadi pemandangan yang menyenangkan
sehingga saya memotret mereka dengan kamera yang sengaja sudah saya persiapkan.
Di sana saya juga berkenalan dengan seorang dari agency yang kebetulan sama
seperti saya, merupakan seorang Gooner. Ya, kami adalah orang-orang beruntung
dan terpilih! Hehehe..
Kami
menunggu di lapangan bulu tangkis Hotel Keraton yang sudah dipersiapkan juga
tenis meja. Tidak berapa lama kemudian seorang official Arsenal berseru,
“Please Welcome, Wojceich Szcsezsny!” Lalu datanglah seorang kiper muda yang
handal, bertubuh tinggi besar. Tak pelak, diri yang terkesima ini langsung
menjepret kamera dengan jumlah yang banyak. Cezny, nama panggilan Wojceich,
lalu menyalami kami satu persatu yang segera mengerubuti dan mengelilinginya.
Dia begitu tinggi sehingga kepala saya harus mendongak ke atas. Tangannya pun
besar, khas seorang kiper.
Selang
semenit, Alex Oxlade Chamberlain datang menyusul! Wow, tubuhnya tak sekecil
seperti yang terlihat di TV. Badannya kekar keras dan tingginya pun melampaui
saya beberapa centimeter.
Sama
seperti Cezny, Chambo, nama panggilan Chamberlain, menyapa dan menyalami kami
satu persatu dengan ramah.
Kemudian
mereka berdua langsung digiring oleh panitia untuk bermain tenis meja melawan
fans Arsenal yang terpilih. Dan itu bukan saya tentunya. Padahal saya cukup
mahir bermain olahraga ini. Serius.
Saya
memang sudah tahu bahwa pemain-pemain Arsenal jago bermain tenis meja. Saya
sudah pernah melihatnya di Youtube, pemain seperti Chambo dan Walcott dikenal
handal main bola pingpong. Dan memang, itu terbukti di hari ini ketika Cezny
dan Chambo apik bermain pingpong dengan teknik tinggi.
Susunan
acara meet and greetnya terbilang kurang rapi dan cenderung random. Sehingga
kami pun mencuri-curi kesempatan untuk berfoto atau meminta tanda tangan Cezny
ketika Chambo sedang bermain tenis meja. Begitu juga sebaliknya ketika mereka
secara bergantian bermain tenis meja. Ya, Alhamdulillah saya bisa berfoto
bareng dengan keduanya!
Tak
lama kemudian, acara meet and greet pun usai. Chambo dan Cezny segera ditarik
untuk hadir di acara lain. Ya, mereka mesti datang ke acara music pagi yang
terkenal itu, lho!
SESI
LATIHAN ARSENAL DI GBK
Malamnya,
setelah berbuka puasa, saya langsung pergi ke Gelora Bung Karno untuk
menyaksikan para pemain Arsenal latihan. Hujan yang cukup deras pun tidak
menjadi halangan bagi saya untuk menonton dan bagi para pemain Arsenal untuk
terus berlatih.
Di
sini, baru pertama kali saya melihat langsung bagaimana cara tim professional
berlatih. Dari metode dan uji fisiknya sungguh memukau yang mana mereka, di
tengah guyuran hujan, berlatih selama hampir 2 jam. Sesekali terdengar
chants-chants beberapa pemain Arsenal dari para Gooners yang datang.
“Sagna..
Sagna.. Bacary Sagna! He’s a dodgy hair but we don’t care, Bacary Sagna!”
Untuk
chants Sagna ini cukup lucu. Saya menangkap Lukas Podolski, saat chants
dinyanyikan, ikut bernyanyi dan memain-mainkan pipi Bacary Sagna dengan gemas.
Ya, Lukas Podolski memang termasuk “badut” di skuad Arsenal. Kehadirannya
disukai oleh semua awak Arsenal karena sikapnya yang friendly dan bersahabat.
Berulang
kali saya merekam suasana latihan dengan handphone. Momen ini sungguh harus
diabadikan dan saya cukup menyesal tidak membawa kamera SLR karena takut tidak
diperbolehkan dibawa masuk.
Diri
ini pun “menyombongkan diri” saat beberapa fans meneriakkan nama Cezny yang
berlatih sendiri (karena kiper memang berlatih terpisah). Dalam hati, “Hehehe
kalian pasti capek kan teriakin nama Cezny. Gue enak dong bisa langsung ketemu
dia dan bahkan Chamberlain juga! Hehehe..”
KICK
OFF at GELORA BUNG KARNO: INDONESIA XI vs ARSENAL
Minggu
14 Juli 2013 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia khususnya para Gooners
dan saya. Arsenal bermain di bumi pertiwi tercinta untuk kedua kalinya setelah
David O’leary dan skuad Gunners sempat bertandang ke Indonesia pada dua decade
yang lalu. Hari ini akan kami, para Gooners, kenang dan akan diceritakan kepada
anak cucu kami bahwa tim terhebat pernah bermain melawan timnas Indonesia.
Sengaja
saya buka puasa di rumah dulu sebelum pergi ke GBK. Di sini, sudah datang
ribuan orang penggemar Indonesia dan Arsenal tentunya dengan semangat yang
meluap.
Namun,
hal ini agak ternoda saat ada sedikit kericuhan di pintu masuk. Rupanya, satu
pintu masuk lainnya tidak dibuka sehingga massa yang harusnya terbagi dua mesti
menjadi satu. Alhasil, saya kami harus berhimpitan masuk ke dalam stadion.
Emosi meluap, cemoohan dan umpatan kotor pun pecah mengarah panitia. Dalam
kondisi ini, saya hanya kasihan kepada Goonerettes yang harus bersesakan
terkepung oleh badan-badan besar penonton laki-laki.
Di
tribun, saya Alhamdulillah dapat spot duduk yang lumayan oke. Chants-chants
Arsenal pun terdengar megah sebelum pertandingan. Saya pun ikut berteriak
menyanyikan chants yang hanya beberapa saja dihapal.
Pukul
20.45 WIB peluit kick off pun ditiup. Agak sedikit kecewa karena tidak ada nama
Jack Wilshere di list pemain Arsenal. Belakangan diinformasikan bahwa ia
terkena flu. Namun, bisa jadi memang ia sengaja disimpan karena Arsenal masih
harus melawat ke Vietnam dan Jepang dalam laga tur pra musim Asia ini. Begitu
juga Ryo Miyaichi yang terkena cedera ringan saat latihan kemarin, sehingga
tidak dapat bermain hari ini.
Pemain-pemain
muda Arsenal pun dimainkan di sini. Ada nama Chuba Akpom, Thomas Eitsfeld, Kris
Ollson, Gideon Zelalem, Serge Gnabri dan Ignasi Miquel. Dari nama-nama ini,
saya mendukung Serge Gnabri dan Gideon Zelalem untuk masuk ke skuad utama musim
ini. Gnabry memiliki tipikal bermain seperti Chamberlain yang memiliki footwork
baik dan kecepatan dribble memukau. Sedangkan Zelalem, meskipun bertubuh kurus
namun visinya begitu luar biasa sebagai seorang gelandang tengah. Dia pun
kemudian disebut-sebut memiliki kemiripan bermain seperti eks gelandang
Gunners, Cesc Fabregas. Dan memang, selama pra musim di Asia ini Zelalem
menjadi “bocah” Arsenal yang paling bersinar.
Pertandingan
berjalan seru dan cenderung berat sebelah, hingga akhirnya skor akhir
menunjukkan 0-7 untuk Arsenal. Gol dicetak oleh Walcott, Akpom, Giroud (2 gol),
Podolski, Ollson dan Eitsfield.
Puji
syukur kepada Allah SWT yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk
menyaksikan Arsenal secara langsung. Ini seperti “naik haji” bagi saya dan saya
boleh berbangga untuk resmi melepas embel-embel “fans karbitan” hari ini. Sebab,
selama ini saya hanya bisa membeli jersey KW Thailand alih-alih jersey original
yang official. Nah, sekarang dari tiket yang saya beli itu artinya saya sudah memberi
pemasukan langsung untuk Arsenal, yang dalam candaan saya bisa untuk tambahan
pembelian Wayne Rooney atau Luis Suarez.
Setidaknya,
saya tidak seperti fans klub sebelah. Yang selalu mengaku sebagai fans die hard
tapi ketika tim mereka batal hadir, langsung mengamuk meminta uang tiketnya
dikembalikan. Ya, kalau memang mengaku fans sejati mbo’ ya diikhlaskan saja uangnya. Is that what you called DIE HARD
FANS, ha? Hehehe…
Beruntung
saya bisa melihat langsung bagaimana besarnya tubuh Giroud yang membuatnya,
tidak jauh seperti yang saya lihat di TV, terlihat agak lambat dan berat namun
memiliki power, keeping ball juga positioning yang keren. Walcott dengan
kecepatan larinya yang super, meskipun di pertandingan ini tidak terlalu ia
perihatkan. Chamberlain yang di sini ditunjuk sebagai playmaker menggantikan
posisi Cazorla. Kemampuan dribblingnya memang mengagumkan.
Menuju
ke tengah, saya melihat begitu pesatnya perkembangan Aaron Ramsey sebagai
penyeimbang tim dengan stamina yang di atas rata-rata. Lalu semakin sentralnya
peran Mikel Arteta sebagai seorang pemimpin yang sanggup memberikan ketenangan
kepada para pemain di tengah lapangan. Juga Tomas Rosicky yang di umurnya yang
sudah tidak muda lagi tetap bisa memberikan kontribusi maksimal berupa
dribbling dan visi bermain yang apik.
Mundur
ke belakang. Per Mertesacker memang benar-benar seakan lamban dan melayang.
Tubuhnya begitu tinggi namun dengan pengalamannya dapat membaca permainan dengan
cukup baik di belakang. Laurent Koscielny merupakan sosok petarung sejati yang
rela berjibaku demi mempertahankan gawangnya dari kebobolan. Lalu ada Kierran
Gibbs yang semakin membuat saya yakin bahwa dia bisa menjadi the next Ashley
Cole di Arsenal. Juga Bacary Sagna, yang menurut feeling saya potensial menjadi
bek tengah di samping menjadi right full back. Mengingatkan saya pada sosok
Lilian Thuram, bek dan legenda Prancis dan Juventus. Dan terkahir, Carl
Jenkinson yang besar di keluarga Gooners bisa berkembang menjadi pilihan utama
bek kanan Arsenal menyaingi Sagna. Karena bagi saya ada satu faktor yang
membuat Jenkinson lebih baik dari Sagna: Kemampuan offense dan teknik yang
lebih baik.
Dari
sisi kiper, Cezny memang tidak bermain di pertandingan ini. Namun, kehadiran
Lukas Fabianski membuat saya berpikir bahwa Arsenal tidak terlalu membutuhkan
kiper baru semisal Julio Cesar. Karena duo kiper Polandia ini sudah cukup bagus
di mistar gawang Arsenal.
Sedangkan
untuk Arsene Wenger, saya sama seperti kebanyakan Gooners lainnya yang mendesak
ia untuk membeli pemain baru. Kedalam skuad di Arsenal diperlukan bila ingin
bisa konsisten di berbagai kompetisi yang diikuti The Gunners. Pemain yang saya
harapkan Wenger bawa adalah: Luis Suarez, Ashley Williams dan Maouranne
Fellaini. Setidaknya, Wenger harus memboyong tiga pemain bagus di tiga posisi
itu: Striker, gelandang jangkar, dan bek tengah untuk memperkuat tim.
GURUH
GIPSY
Well,
tetap saja, kemenangan 7-0 ini menimbulkan banyak cercaan atau kecurigaan
terhadap kami para gooners. Via twitter, status BBM dan banyak lagi, public dan
juga ada beberapa teman saya yang mengira gooners kehilangan semangat
nasionalismenya. Kurang lebih pernyataan mereka seperti ini:
-
Wah,
pada seneng ya Indonesia dibantai Arsenal!
-
Bukannya
dukung Indonesia malah dukung tim luar!
-
Sedih
ngeliat para penonton seneng pas Arsenal golin gawang Kurnia Meiga
-
Dan
banyak sindiran lain yang mengarah ke kami para Gooners
Ironisnya,
salah satu kerabat yang sama, yang nyinyir perihal kesadisan Arsenal
mengalahkan timnas Indonesia dan mengagungkan (katanya) semangat Nasionalisme,
sepekan kemudian malah datang dan mendukung Liverpool (tentu mengenakan jersey
Liverpool juga) mengalahkan Indonesia di Gelora Bung Karno. So funny, isn’t it?
Anyway,
di sini saya coba meluruskan keadaan. Saya berbicara ini dari sudut pandang
saya pribadi, ya. Kami, gooners, bukannya tidak nasionalisme kok. Melainkan
hanya menghormati tamu yang kebetulan adalah klub favorit kami. Bukankah bangsa
ini sendiri yang menanamkan pada kita nilai-nilai menghargai dan menghormati
orang lain dalam hal ini tamu?
Lagipula,
hal ini sudah menjadi mimpi kami sejak lama untuk melihat secara langsung
permainan Arsenal. Terlebih seperti saya yang belum memiliki kecukupan
finansial untuk menonton langsung Arsenal di Inggris tentu kesempatan ini tidak
bisa disia-siakan begitu saja.
Jujur,
agak aneh bagi saya untuk mendengar seruan NASIONALISME dari mereka yang masih
memenuhi playlist Coldplay, Maroon 5, atau Rihanna di mp3 player atau handphone
mereka ketimbang mendengarkan lagu Afgan, Noah, Gigi atau Rossa. Gengsi atau
kurang keren kalau mendengarkan dan mendendangkan lagu-lagu Indonesia, katanya.
Coba
saya tanya, lagu apa yang terakhir kalian dengar dan dendangkan dari smartphone
atau laptop kalian?
Pula
saya yakin bahwa berita kepastian band legend rock Metallica akan manggung di
Jakarta tanggal 25 Agustus 2013, lebih menarik perhatian kalian ketimbang fakta
bahwa ada grup band legendaris Indonesia besutan Guruh Soekarno Putra dan gank
pegangsaan (Chrisye dan Keenan Nasution) bernama Guruh Gipsy, yang piringan
hitam atau vinylnya masih dicari pecinta music luar negeri hingga saat ini.
Jangankan
tertarik, saya juga yakin tidak banyak
dari kalian yang tahu bahkan pernah mendengar band bernama Guruh Gipsy ini.
Atau
jika kita kembali berbicara sepakbola, pasti kalian lebih tahu nama anak Lionel
Messi yakni Thiago ketimbang anaknya Bambang Pamungkas. Sama seperti halnya,
ketidaktahuan kalian akan nama istri dari Firman Utina sedangkan kita fasih
sekali menyebutkan nama kekasih Cristiano Ronaldo, Irina Shayk.
Ayolah,
berat bagi kita yang “sok peduli” ini untuk menyebutkan kata NASIONALISME.
Sebab Nasionalisme ini sakral dan tidak sembarangan orang bisa memaknai ini
dengan sejati. Dan kita belum cukup modal untuk itu.
Percayalah,
kami para Gooners, juga sedih kok saat Boaz gagal menyelesaikan peluang emas di
depan gawang Arsenal. Bahkan saya pribadi juga kesal dengan permainan si
naturalisasi yang bermain untuk Persib itu, yang menurut saya hanya bisa
berlari-lari kecil dan melompat tidak jelas selama pertandingan. Melihat
penampilannya yang miris, muncul kerinduan saya akan sosok Widodo C Putro,
Rocky Putiray, Budi Sudarsono atau Ilham Jayakusuma di lini depan Garuda.
Dalam
hati, saya berharap setidaknya Indonesia mampu mencetak gol dan juga Arsenal
seharusnya tidak perlu mencetak gol sebanyak itu. Namun, saya paham mereka
adalah pesepakbola professional yang hanya ingin menghibur para fansnya yang
sudah membayar mahal untuk itu.
Lagipula,
para punggawa Arsenal sudah lama tidak bermain bola imbas dari libur kompetisi.
Jadi, setelah lama tidak bermain tentu ada kecenderungan menjadi “gila” saat
bertemu kembali dengan bola. Dalam hal
lain pun kalian pasti juga akan merasakan hal ini ketika memiliki passion yang
kuat terhadap sesuatu. Benar tidak?
Seperti
yang pernah dikatakan oleh legenda hidup sepakbola asal Argentina, Diego
Maradona.
“To
see the ball, to run after it, makes me the happiest man in the world”
Sahabat,
meskipun jersey yang kami kenakan adalah Arsenal dan berlogokan meriam,
percayalah kalian semua bisa pastikan lalu belah dada kami. Di sana akan
terlihat bahwa jantung kami masih berbentuk gagahnya GARUDA, aliran darah kami
masih pekat berwarna MERAH dan tulang kami pun akan tetap selalu berwarna
PUTIH.
It’s
all just about respecting people and fulfilling our passion on being a GOONERS.
That’s it. Case closed.
Minggu, 28 Juli 2013
Ke Jakarta Aku Kan Kembali
16
Juni 2013
Saat ini saya baru saja melewati
Stasiun Malang menuju jalan pulang ke Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan,
kunjungan ke malang 2 hari 1 malam ini tidak cukup. Perjalanan banyak tersita
di atas rel ketimbang jalanan aspal kota Malang.
Di hari pertama, setelah melalui kurang
lebih 15-16 jam perjalanan keretam saya dan Igo langsung menemui Feby untuk
segera ke rumah pengantin yakni teman kami, Dita. Tidak ada waktu istirahat,
karena pada jam 11 acara resepsi akan berlangsung. Tak sia-sia perut kososng
selama perjalanan, pada saat acara resepsi hampir semua jenis makanan yang
tersedia kami lahap. Kenyang!
Setelah selesai acara resepsi, kami
langsung menuju hotel untuk istirahat sejenak. Ema, teman kami menyusul ke
hotel untuk kemudian mengajak kami untuk berwisata kuliner bakso bakar. FYI,
Ema adalah teman kami –begitu juga Dita- saat
“berguru” di kampung Inggris-Pare, beberapa tahun yang lalu.
Malamnya, pengantun baru mengajak kami mlaku-mlaku alias jalan-jalan ke Batu.
Sekitar setengah jam perjalanan kami tiba di daerah wisata Batu, tepat di
alun-alunnya. Langsung saja kami menuju kedai susu murni yang terletak di
pinggir alun-alun. Rasa susu hangatnya tetap sama, suegerr tenaaannn..
Suasana alun-alun begitu berbeda
dibanding terakhir saya ke sini 4 tahun lalu. Orang lalu-lalang oenh dan
disesaki pula oleh kendaraan bermotor yang memarkir di sana –sini. Kebetulan
pula sedang ada BATU FAIR (sejenis Jakarta Fair) di sekitar alun-alun.
Muda-mudi hilir mudik membuat mata yang mengantuk ini menjadi segar sekejap.
Ditambah banyak penampakan gadis cantik rupawan di sini.
Alun-alunnya meriah sekali dikarenakan
banyaknya arena bermain seperti kincir-kincir, playground dan mobil-mobilan
kecil untuk anak bermain. Khusus kincir-kincir, bentuknya begitu megah
mengingatkan saya kepada The London Eye-nya Inggris.
Di salah satu sudut pun kita bisa
melihat anak-anak kecil main air. Airnya muncul dari bawah tanah, seperti
permainan air mancur yang ada di Lollypop dalam mal-mal Jakarta. Tetapi yang
ini berbeda, anak-anak bisa bermain secara cuma-cuma, ya Gratis. Hebat juga,
ya, main air diselimuti udara dingin kota Batu..
Saya sungguh salut dengan pemerintah
setempat yang bisa membaurkan masyarakat ke dalam suatu wadah yang meriah dan
murah. Muda-mudi memadu kasih, anak kecil main yang ditemani para orang tua
menjadi pemandangan lumrah di tengah warna-warni dan kelap-kelip alun-alun
Batu.
Tidak lama kemudian kami pun pulang.
Selain karena saya, Igo dan Feby sudah lelah tentu kami juga ingin mempersilakan
Dita dan mas Fajar, suaminya, untuk melanjutkan “kegiatan” lainnya. If you know what I mean..
Pertandingan sepakbola antara Spanyol
U-21 vs Norwegia U-21 pun menjadi tidak menarik bagi saya. Hanya sanggup
menonton satu babak, akhirnya pun saya tertidur.
Keesokan paginya, saya menyempatkan
diri untuk melihat aktivitas “Car Free
Day” di jalan raya sekitar hotel, sebelum sarapan pagi. Ya, ramai dan tertib.
Selepas dzuhur kami pun check out dari
hotel kemudian kembali ke rumah Dita untuk pamitan. Seperti biasa, sambutan
orangtua dan keluarganya begitu baik. Sang ibu memberi jaminan tempat numpang
menginap bila suatu saat kami kembali datang ke Malang lagi. Kami benar-benar
berterima kasih atas sambutan keluara Dita yang tulus. Keluarga yang hangat dan
menyenangkan.
Empat stasiun sudah terlewati saat saya
ingin mengakhiri tulisan ini. Oh iya, saat perjalanan kereta dari Jakarta
menuju Malang kemarin saya mendapat kabar baik. Kakak saya melahirkan seorang
putri cantik, Vania namanya. Tentu, sudah tidak sabar saya ingin bertemu dan
mencium pipi imut si kecil Vania.
Bukan hanya itu, saya juga tidak sabar
ingin bersua kembali denganmu, iya, kamu…
Ke Jakarta aku kan kembali…
Selasa, 09 Juli 2013
Ujian di Hari Pertama Ramadhan
Rabu, 9 Juli 2013.
Tuhan melalui JakartaNya langsung
memberikan ujian berat buat gue di hari pertama bulan Ramadhan. Pulang kerja
yang sudah seharusnya jam 5 sore, agak tertunda ketika gue masih ingin
melanjutkan pekerjaan. Terlebih di luar hujan dari siang nggak
berhenti-berhenti. Akhirnya pun gue keluar kantor tepat pukul 17.22 WIB.
Seperti biasa, Transjakarta di kondisi
hujan seperti ini sulit untuk diharapkan, karena hujan sedikit saja sudah pasti
membuat lajunya tersendat sehingga diharuskan menunggu waktu yang lama,
ditambah kondisi jalanan macet membuat gue lebih memilih kereta sebagai
transportasi alternatif.
Sial buat gue ketika angkot yang gue naiki
ternyata harus berputar mencari jalan lain saat sang sopir menemui kebuntuan di
kemacetan Jakarta. Padahal gue harus naik angkot ke-dua di step berikutnya.
Jadilah gue diturunkan di dekat jembatan Jati Petamburan yang untuk menaiki
angkot rute lain berikutnya.
Hujan benar-benar nggak mau berhenti dan
gue lupa bawa jaket parasut. Kuyup.
Angkot yang gue tunggu-tunggu nggak kunjung
datang. Akhirnya, gue memutuskan untuk jalan kaki di tengah guyuran hujan.
Jalanan yang becek penuh genangan air yang tinggi membuat gue harus
berhati-hati dalam berjalan. Trotoar yang semestinya sudah menjadi hak gue pun dijajah
oleh para pedagang makanan warung tenda. Bahkan, ada satu adegan yang memuakkan
ketika gue harus, “Permisi ya, pak. Numpang lewat, maaf,” mengatakan ini kepada
pedagang tersebut saat melewati warung tendanya. Gue pun bingung kenapa bisa
minta maaf pada mereka.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan gue
berjalan di sisi kali Jati Petamburan yang airnya sudah begitu tinggi.
Lagi-lagi gue harus berjibaku dengan motor-motor yang lewat plus trotoar yang
dijajah oleh para pedagang. Jarak tempuh yang harus gue lalui dengan jalan kaki
ini mungkin mencapai 1 km, dan hari sudah semakin senja, gue harus tetap bisa
mengejar kereta jam 6 karena gue bertekad untuk berbuka puasa hari pertama di
rumah.
Tak terhitung sudah berapa kali ucapan
kotor berbau kebun binatang keluar dari benak atau mulut gue, memaki kondisi
yang gue alami saat ini. Jarak yang jauh, cipratan genangan air dari pengendara
sepeda motor dan hujan yang kadang deras-kadang sedang.
Akhirnya, setelah jalan kaki cukup jauh gue
menaiki angkot yang mengarah stasiun Tanah Abang. Sebenarnya, nggak terlalu
jauh, tapi karena gue harus mengejar waktu jadilah gue naik angkot ini.
Sesampainya di stasiun, gue dan penumpang lainnya pun turun untuk lalu
memberikan ongkos ke sopir. Di sini gue kalut, hehehe. Gue yang buru-buru pun
kesal saat gue ingin kasih uang, sang Sopir malah sibuk menghitung uangnya.
Jadilah gue melempar duit gue ke jok samping Sopir. Gue pun harus menabrak
seorang penumpang untuk itu, saking nggak sabarnya.
Lalu, gue pun berlari menaiki tangga stasiun
Tanah Abang tanpa terlalu memperdulikan kondisi anak tangga yang becek terkena
hujan. Setelah membeli tiket, gue pun bertanya ke petugas, “kereta ke Bogor
sudah datang?.” “Itu baru saja datang, buruan cepat ke peron 3!” kata petugas. Gue pun berlari dan menerobos puluhan orang
yang baru turun kereta, di tangga stasiun menuju peron. Di sini gue sempat
khilaf dengan agak kasar mendorong pemuda yang berjalan lambat di depan gue,
untuk “overlapping."
Kereta masih menunggu, namun pintu sudah
siap tertutup sampai, Gue berlari secepat mungkin masuk ke dalam kereta. Tak
peduli, gue menabrak (lagi) sekumpulan penumpang kereta yang mengendap di mulut
pintu. Untuk yang satu ini gue nggak peduli, dan nggak merasa bersalah
sekalipun meskipun terdengar keluhan-keluhan minor dari mereka setelah gue
menabrak –sebenarnya kata menyenggol lebih tepat—, karena siapa suruh mereka
berkumpul di situ,di saat sebenarnya di deretan kursi masih banyak space kosong
untuk berdiri. Gue paham sih, hal itu mereka lakukan agar nggak sulit turun
ketika sudah sampai di stasiun tujuan.
Napas gue pun tersengal setelah melewati
berbagai macam “rintangan” tadi menuju stasiun dari kantor. Sebenarnya untuk
jadwal kereta Bogor berikutnya masih ada jam 18.33 WIB. Namun, butuh waktu
setengah jam lagi buat gue tunggu. Jelas gue nggak mau, karena gue sudah tekad
untuk berbuka puasa hari pertama di rumah.
Ahh, betapa durasi setengah jam sangat
berarti di Jakarta. Meleset sedikit saja semuanya bisa berantakan. Kalau saja
tadi gue telat beberapa detik saja, dipastikan gue bisa nggak ikut kereta 18.00
dan ini akan berujung pada kemacetan atau hambatan lain, sehingga gue akan
telat berbuka puasa di rumah.
Adzan sayup-sayup terdengar dari masjid di
dekat stasiun. Hampir saja gue lupa kalau saat ini gue sedang berpuasa. Korma 3
buah yang sudah gue siapkan pun jadi enggan gue cicipi karena kondisi dalam
kereta yang cukup penuh.
Akhirnya, setelah sukses mengatur napas , gue pun
membatalkan puasa pertama gue dengan tegukan air minum saja. Alhamdulillah.
Jumat, 29 Maret 2013
JAKARTA ADA-ADA SAJA, YA!
Picture by: Gito Barkah
Ya, belum sampai seminggu
kemarin ada mayat tergeletak di jembatan penyeberangan persis depan kantor gue.
Beruntung gue tidak melihat langsung, berbeda dengan teman gue yang sempat
melihat tubuh sang mayat mulai membiru. Tidak jelas disebabkan oleh apa, yang
pasti fenomena itu cukup tidak lumrah buat gue sejauh gue tinggal di Jakarta.
Yaudahlah, topik tadi begitu
menyeramkan. Bagaimana kalau kita membahas hal yang lebih menyenangkan?
Oke, suatu pagi seperti biasa
gue berangkat kerja ke kantor via Transjakarta. Dan seperti biasa (lagi) gue
berdiri, tidak dapat tempat duduk. Nah, pointnya di sini, nih. Ketika di depan
gue ada seorang ibu dengan 3 anaknya, plus asisten rumah tangga.
Tidak ada yang aneh sampai
tiba-tiba salah satu anak, yang gue takar kira-kira berumur 10 tahun, sedang
menggenggam Samsung Tablet sambil duduk dengan sikap leyeh-leyeh. Yah, namanya
juga anak-anak, mungkin dia belum dapat pelajaran sikap Tenggang Rasa, sehingga
tidak mempedulikan gue yang berdiri sambil bersimbah peluh kegerahan. Well, gue
tidak sedang mengeluh, ya. Hehehe.
Yang menarik adalah si anak
Tab ini mendengarkan lagu dari Tabnya tanpa menggunakan earphone. Volumenya tak
tanggung-tanggung: sepertinya mampu terdengar seantero Transjakarta. Lagunya?
Jangan ditanya. Tak tanggun-tanggung lagunya Bruno Mars (maaf gue tidak tahu
judulnya, yang pasti lagunya baru dan familiar di telinga) dan Laruku (gue juga
tidak tahu judulnya). Dan bahasa tubuhnya pun sungguh menggemaskan. Mulutnya
bergumam. Ya, dia hafal lirik lagu-lagu tersebut!
Yassalam, gue langsung
flashback ke masa lalu saat gue seumuran dia kira-kira apa yang sering gue
lakukan. Lalu, muncullah Galaksin, Tak Benteng, Taplak, Gundu alias Kelereng di
benak, dan oh, timbullah “diobok-obok”nya Joshua, lagu-lagunya Sherina, (dulu
gue naksir berat ini orang), Hits Trio Kwek-kwek yang dulu kadang segan gue
nyanyikan karena gue pemalu. Ahh, pada pergi kemana kalian sekarang ini?
Tepat keesokan harinya, gue
menemukan lagi cerita lain dari Jakarta. Sepulang kuliah, gue yang baru turun
dari kereta langsung bergegas menuju angkot untuk pulang. Angkotnya ngetem seperti biasa (lagi-lagi).
Pemandangan yang tidak lumrah, saat gue melihat sang sopir angkot sedang
memangku anaknya, yang kira-kira masih 2 tahun, di depan kemudinya.
Kesehariannya gue bisa melihat hal yang sama pada keponakan gue, yang dipangku
bapaknya di depan setir, untuk jalan-jalan keliling sekedar untuk hiburan.
Yang ini jelas berbeda, si
anak “dipaksa” orangtuanya untuk ikut dan menjadi saksi mata sang Ayah mencari
nafkah. Tak lama, ibu nya datang. Pasangan suami-istri itu terbilang muda. Gue
prediksi si Ayah tak lebih dari 24 tahun. Sedangkan istrinya mungkin sepantaran
member JKT48 yang paling muda, deh.
Sepanjang perjalanan, si
Ibu menyuapi anaknya dengan tahu
gorengan, yang tadi dibelinya dekat stasiun. Ayahnya merokok. Dan tak lama
setelah ia selesai menghembuskan asap beracunnya itu, ia tarik lengan anaknya
kembali ke pangkuannya. Sekarang, giliran sang Ibu yang merokok.
Gue sempat sedih waktu lengan
anak itu ditarik Ayahnya, yang buat seumuran dia itu termasuk kasar.
Keprihatinan gue tidak berhenti sampai di situ. Beberapa kilometer sebelum gue
turun, angkot sempat menepi. Rupanya, duet maut Suami-Istri itu membeli
sebungkus rokok tambahan serta minuman kopi kemasan. Yang namanya Ibu pasti
rasa sayang ke anaknya begitu besar. Namun, masing-masing persona tentu
memiliki caranya tersendiri untuk mengungkapkan hal tersebut.
Setelah selesai menyuapi
goreng tahu ke anaknya, sang Ibu memberikan minuman kopi kemasannya itu untuk
si buah hati. Ya, gue ulang dan lengkapi, minuman kopi kemasan yang mungkin
harganya cuma Rp 1.000 dengan komposisi kafein yang tinggi! Jaman kuliah D3
dulu, gue sering minum kopi kemasan itu dan itu ampuh buat gue dan kawan-kawan
menyelesaikan tugas sampai larut dengan mata melek sempurna.
Gue sih tidak tahu dampak apa
yang diterima oleh bayi bila mengonsumsi kafein. Yang jelas itu bukanlah suatu
hal yang positif.
Well, gue di sini sama sekali
tidak menghakimi atau menyalahkan kedua orang tua tangguh tersebut atas
gorengan, tarikan lengan yang kasar, kopi kemasan dan asap rokoknya. Mungkin
bagi mereka itu cara terbaik dalam mendidik anaknya untuk lebih tangguh dalam
menghadapi kerasnya Ibu Kota, kelak.
Saat menulis ini, ada satu
kalimat yang langsung terngiang di otak gue: INI JAKARTA, BUNG!
Minggu, 17 Februari 2013
Surat Konvensional
Tidak ada maksud saya untuk merayakan hari Valentine. Namun, hanya kebetulan saja bila tulisan saya kali ini agak berhubungan dengan percintaan. Saya menyadari bahwa ada tulisan yang belum ter-posting di dokumen saya. Jadi, daripada tulisan ini nantinya akan terlupakan atau bahkan hilang, lebih baik saya dokumentasikan di blog ini.. Hehehe... So, here's the story begin:
Mungkin saya adalah satu dari sekian banyak orang yang
merindukan penggunaan surat secara konvensional (surat tulis tangan + amplop)
bisa kembali eksis. Tak bisa dipungkiri dalam beberapa tahun terakhir fungsi
surat konvensional ini tergeser oleh maraknya penggunaan surat elektronik
seperti email, sms, bbm, bahkan Whats App.
Mengapa saya merindukan hal tersebut? Karena saya yakin
surat konvensional memiliki value yang lebih mengesankan, ditambah lagi
esensinya lebih mengena dan yang pasti terkadang memiliki efek hasil akhir yang
di luar perkiraan. Ya, mungkin perasaan ini dikarenakan kondisi yang ada
sekarang (baca: email, bbm, dsb) “mempermudah” segala sesuatunya, sehingga tidak
menimbulkan kesan tertentu pada akhirnya.
Ambil contoh, sebut saja sepasang kekasih bernama Kanda dan
Dinda (Ingat, ini bukan tokoh di sinetron Ind*siar, ya). Sore itu, mereka
merencanakan untuk jalan dan makan bareng dalam rangka merayakan 3 bulanan
mereka. Beberapa hari sebelumnya, Kanda sudah menyiapkan surat (ya bisa
dibilang surat cinta) untuk Dinda. Cuma ingat, Kanda tidak menuliskan suatu hal
yang bersifat puitis, melainkan hanya surat biasa dengan topik pengalaman
mereka berdua sejauh ini dan ucapan terima kasih.
Namun, ternyata hal-hal manis yang sudah dibayangkan oleh Kanda
tidak semulus yang diharapkan. Ada beberapa kondisi yang membuat Kanda agak
kesal dengan Dinda. Sore itu, perdebatan kecil terjadi di kostan nya Dinda.
Kanda sebisa mungkin menahan amarah, karena dia tidak mau merusak kencannya
malam nanti. Saat sudah menuju mobilpun situasi kaku pun kental terasa.
Masing-masing menahan ego nya entah dengan tujuan apa.
Sesampainya di mobil, Kanda tidak langsung menginjak gasnya,
melainkan berhenti sejenak, dan mempersilahkan Dinda membaca surat yang sudah
Kanda letakkan di kursi depan. Perlahan suasana mencair. Ada seutas senyum dari
mereka berdua. Kanda yang malu, memilih untuk agak menjauh beberapa meter untuk
membiarkan Dinda membaca suratnya.
Selesai Dinda membacanya, Kanda melihat kekasihnya tersebut
menangis. Lalu, didekatinya dan Kanda tidak menyangka situasinya akan seperti
ini, “Kamu kenapa nangis?.”
“Aku sedih, terharu aja. Aku nggak nyangka kamu buat surat
kayak gini,” kata Dinda dengan air mata sedikit menggenang. “Terima kasih ya,
Kanda.”
Lalu, Kanda memberi seutas bunga mawar merah yang memang
sudah dipersiapkan dari tadi. Tambahlah deras air mata Dinda.
Kali ini suasana begitu hangat. Hanya keindahan yang mereka
berdua rasakan, saat masing-masing memeluk orang terkasihnya dengan sangat
erat. Begitu dalam. Begitu lama. Hingga pudar segera rasa ego masing-masing.
“Maafin aku ya, Kanda.”
“Kamu yang mesti maafin aku. Karena aku ngerasa aku terlalu
keras untuk masalah sesepele ini,” ujar Kanda, sesaat setelah mencium ubun-ubun
kekasihnya itu.
Well, menulis surat secara konvensional memang menyenangkan.
Sebab, sekalipun sederhana namun tak terduga efeknya begitu monumental.
Langganan:
Postingan (Atom)