/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Jumat, 16 November 2012

PSMS (Paul, Sheehan, Mike, Sherenian) @RockFest 2012


(photo by: Apri)

Malam itu saya dan 3 teman saya, Apri, Igo, dan Polin sudah berada di lapangan D Senayan untuk nonton RockFest. Jakarta yang baru saja diguyur air hujan nyatanya bersahabat dengan para pencinta music Rock. Lapangan yang dijadikan venue cukup kering dan tidak becek serta langit tidak menunjukkan “niat”nya untuk mengeluarkan hujan lagi.


“Gila, ini keren banget pawang hujannya,” celetuk Igo.

Di sana tampil begitu banyak band-band Rock yang notabene bukan mainstream seperti Besok Bubar Band, Miracle Band, dsb. Bahkan ada juga sebuah band, yang vokalisnya adalah Ringgo Agus Rahman (Artis Ibu kota) yang sayang musiknya tidak dapat saya cerna.

Sampai akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga, yakni PSMS Band (Jangan heran akronimnya mirip dengan klub Sepakbola Indonesia milik Medan) bermaterikan Mike Portnoy (Drum), Derek Sherenian (Keyboard & Piano), Paul Macalpine, dan Billy Sheehan. Tak heran begitu banyak orang mengenakan kaos bertajuk Dream Theater dan MR BIG (saya pun mengenakan  kaos MR BIG). 

Terbersit di hati, “Wajar ya pakai baju MR BIG, soalnya kan Billy Sheehan masih menjadi salah satu personilnya. Nah, bagaimana dengan Dream Theater? Bukankah Mike Portnoy sudah terdegradasi dan belum lama ini digantikan oleh Mike Mangini?”

Langsung saja saya men-twit, “Menonton aksi Mike Portnoy dengan kaos Dream Theater kondisinya nyaris serupa dengan orang yang menonton aksi Manchester United dengan mengenakan jersey Arsenal bertuliskan nama punggung Van Persie. Susah Move On.”

Setelah gerai hitam diturunkan dari atas panggung, muncullah satu persatu sekelompok yang sudah lama kita nanti-nanti. Dimulai dari Derek Sherenian, disusul oleh Macalpine, lalu muncul sosok yang sudah kita “kenal” yakni Mr Billy Sheehan, dan terakhir Mike Portnoy maju dan menjadi pusat perhatian.

Saya harus mengakui bahwa saya bukanlah seorang musisi, saya bukanlah pula seorang drummer, melainkan saya hanya penikmat music. Namun, saya mendadak berkeinginan menjadi seorang drummer setelah menikmati music Dream Theater. Tak lain ini karena jasa seorang Portnoy. Performanya menggebuk drum membuat saya menepikan “dogma” lama yang bodohnya sudah terlalu lama melekat di otak saya, bahwa: Drum hanyalah elemen music pelengkap yang tidak terlalu penting.

Saya mensejajarkan skill Portnoy dengan Joe Satriani dalam versi Drum. Ya, dengan ketukan, speed, dan teknik Drumnya, Portnoy seolah bisa membuat alunan drum menjadi sebuah music yang indah tanpa menggunakan instrument lainnya.

PSMS Band hanya menampilkan music instrument tanpa ada vokalis. Di sela-selanya, bergantian mereka melakukan solo. Pertama, Tony Macalpine memamerkan keahliannya bermain gitar, yang bagi saya – orang awam yang tidak tahu menahu tentang teknik music – permainannya ya kurang lebih sama seperti John Petrucci dan Guitar heroes lainnya. Tony terbilang personel yang cukup kalem di sini.

Sedangkan Derek Sherenian lebih terlihat arogansinya. Lucu, sesaat setelah dia melakukan solo yang disusul oleh sorakan decak kagum penonton, dia memilih memasang muka angkuh (tentu dengan gaya bercanda), mengingatkan saya dengan tokoh Severus Snape dalam film Harry Potter.

Beralih ke Billy Sheehan. Ya, dia tidak banyak berubah dibanding saat saya menonton MR BIG di Java Rockinland 2009 lalu. Bergaya flamboyan – namun kali ini rambut kuncir emasnya mengenakan topi hitam-- , masih dengan jeans hitam ketat, dan sepatu ber-heels (gaya pria tentunya) agak tinggi. Dalam solonya dia banyak mengeluarkan jurus-jurus aneh, dengan manuver kedua tangannya yang bergerak dinamis. Saya pernah berkata pada Igo, “Go, dia tuh kayak gitu cuma gaya-gayaan ya?.” Igo menepis itu dengan mengatakan bahwa itu memang skill dia yang pastinya bawa perubahan besar dalam musiknya, dalam artian itu bukan asal-asalan yang nirmakna, melainkan itu ada tekniknya.

Seperti saya sebutkan di awal, bahwa Portnoy menjadi sorotan utama dalam pertunjukan kali ini. Bahkan, Portnoy yang saat maupun pasca menjadi personel Dream Theater memang banyak membentuk band project menjadi juru bicara selama konser. Dia lebih lantang berkali-kali menyapa kami para penonton  dengan beragam lawakannya, di jeda antar lagu. Yang cukup fenomenal adalah saat ia suatu kali menyinggung DREAM THEATER – tentu tanpa menyebutkan nama. Seperti kita ketahui bahwa Portnoy dikeluarkan oleh John Petrucci cs. dari band yang ironisnya juga dibentuk oleh Portnoy sendiri. Derek Sherenian pun juga “alumni” Dream Theater, yang kini posisinya ditempati oleh Jordan Rudes.

Ya, sepertinya band ini memang bentukkannya dia dan secara tak tertulis ini memang bisa disebut sebagai “konser tunggal”nya.

Saya tak hentinya berdecak kagum melihat permainan mereka membawakan lagu-lagu yang hampir seluruhnya saya tidak tahu. Hanya satu lagu yang sangat akrab di telinga saya, yakni saat Billy memainkan reff “To be with you” di tengah-tengah solonya. Selebihnya, belakangan saya ketahui bahwa PSMS juga membawakan lagu “Acid Rain” dan “Hells Kitchen” milik Dream Theater (correct me if I am wrong), secara instrumental.

Konser berjalan hampir 2  jam lamanya hingga mereka ber-4 perlahan meninggalkan panggung. Ahh cerita lama, ini hanyalah sebuah “aksi wajib” yang memancing penonton untuk meneriakkan ENCORE. Tak sampai 2 menit, mereka sudah kembali ke atas panggung. Lagu SHY BOY milik David Lee Roth band (yang juga di-cover oleh MR BIG) dibawakan sebagai lagu pamungkas. Di lagu ini, Billy Sheehan didaulat sebagai vokalis juga dan tentu sang actor utama, Mike Portnoy, ikut bernyanyi.

Selama pertunjukkan konser, mata saya hampir selalu tertuju pada Mike Portnoy. Entah apa yang salah, beberapa kali Portnoy berdiskusi dengan salah satu teknisi drumnya sepanjang lagu dimainkan. Saya ulangi lagi: sepanjang lagu dimainkan! Kepalanya menoleh ke samping untuk menyelesaikan masalahnya dengan sang teknisi, tanpa harus kehilangan tempo bermusiknya. Ingat, music yang mereka mainkan adalah rock progresif. Tentu dibutuhkan skill yang dahsyat untuk meladeni tempo yang random (kadang cepat, kadang lambat), ketukan aneh, dan banyaknya settingan drum (tidak selumrah yang digunakan para drummer pada umumnya) yang ia gunakan. Portnoy melakukan itu semua dengan tanpa melihat, dan tanpa merusak irama lagu yang sedang dimainkan! Semuanya terlihat dan terdengar tetap perfect!

Saya sempat berpikir kalau Portnoy bukanlah manusia. Sama seperti Lionel Messi dalam kancah persepakbolaan. Ajaib dan di luar nalar manusia!

Maklum, saya menulis ini dengan point of view saya sebagai penikmat music yang tidak mahir bermain music, jadi apa yang disajikan oleh Portnoy dkk. Menjadi salah satu hal paling gila yang  pernah saya lihat, ya secara langsung. Terutama Portnoy, saya tak bosan dan henti mengatakan bahwa ketukan drumnya begitu empuk, cepat, dan mampu “membentuk”  indah suatu lagu itu sendiri. Flashback ke belakang, saya mengaguminya saat ia bersama Paul Gilbert meng-cover lagu  Led Zeppelin – band favorit saya. Yup, Portnoy juga merupakan pengagum berat almarhum John Bonham (Zeppelin's Drummer)

Saya dan teman-teman sempat menerobos masuk ke tenda tempat PSMS beristirahat pasca tampil. Sayang seribu sayang, mereka masih terlalu lama untuk berdiam di dalam tenda. Padahal saya ingin sekali bertemu dengan jarak yang dekat dengan Portnoy cs. saat nantinya mereka menaiki bus untuk menuju hotel. Yang membuat saya penasaran adalah: setinggi apa Mike Portnoy itu? Sepertinya tidak jauh dengan tinggi badan saya. Berbeda dengan Billy Sheehan yang memang cukup jangkung.

Kalau saja besoknya hari libur – bukannya hari Senin – tentu saya akan rela menunggu berjam-jam, bahkan menyusul ke hotel tempat mereka menginap.  Ya sudahlah, pada akhirnya saya hanya berharap bahwa Portnoy bakal menepati janjinya, sesaat sebelum turun panggung, untuk segera kembali datang ke Indonesia suatu hari nanti.

Ya, saya sudah menyaksikan langsung Mike Portnoy, drummer idola saya!

-RG-
16 Nov 2012
                                                                                                             (sumber foto: kapanlagi.com)

Sabtu, 10 November 2012

"Nge-date" Bareng Ibu

Sore ini, akhirnya gue bisa ngajak Ibu untuk makan bareng lagi di luar. Kedengarannya standard banget ya tema tulisan ini. Tapi, setidaknya buat gue ini beda.

Sudah beberapa bulan terakhir gue agak kesulitan menemukan momen yang pas untuk ini. Ibu sudah lama "ngidam" ingin makan Tomyam, dan hampir selalu menagih ini di tiap Minggunya. Hal ini nggak terlepas dari sembuhnya Ibu dari sakit yang membatasinya untuk makan secara "bebas". Gue yang dari Senin sampai Jumat kerja plus Sabtu-Minggu (weekend) mesti kuliah, cukup bingung untuk memenuhi permintaan yang sejatinya sepele ini.

Hari ini, Sabtu sore sepulang UTS gue langsung cabut ke rumah dari kampus. Langsung saja gue ajak Ibu berangkat ke resto terdekat. Ibu pesan Tomyam, gue pesan Kwetiau. Dua makanan itu biasa aja rasanya di lidah gue, nggak ada yang istimewa. Bahkan porsinya cukup sedikit, agak ironi dengan harganya, hehehe. Yah, yang penting rasa penasaran Ibu terpenuhi, akhirnya. Ya, akhirnya..

Cuma ini aja sih yang ingin gue tulis.. Nggak ada yang istimewa, tapi jujur ini sangat berarti untuk gue. Seenggaknya, tulisan ini bisa jadi pengingat gue kalau sewaktu-waktu mulai jarang berdialog-makan bareng Ibu.  Ini akan menjadi "penampar" gue kalau gue mulai arogan dengan berkata, "Ah, gue sibuk nggak ada waktu..." atau "Aduhh, pengen main sama teman-teman, nih!"

Ya, gue nggak berani berjanji untuk ini. Tapi, gue akan berusaha..


Minggu, 04 November 2012

TANGISAN AYAH

       

           Seringkali kita sebagai manusia mempertanyakan dimana kasih sayang sejati itu?.. Sebagian orang mungkin akan menjawab kasih sayang yang sejati akan kita dapatkan dari seseorang yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pasangan hidup kita kelak. Jawaban ini tidak sepenuhnya salah mengingat memang tiap manusia diciptakan untuk saling berpasangan, untuk kemudian menghasilkan keturunan. Namun, bagi Gea kasih sayang sejati bukan datang dari pasangan hidupnya kelak, melainkan murni selalu datang dari Ayahnya tercinta, Nirwan.

            Nirwan harus menerima kenyataan pedih ketika Arini meninggal saat melahirkan Gea. Jadilah ia mengurus Gea dari kecil, hidup hanya berdua dengan anak tercintanya itu,  berusaha memegang peranan seorang ibu dan ayah dengan sama baiknya. Namun, jelas Nirwan gagal, didikan pria tegas macamnya nyatanya membuat Gea menjadi anak yang berwatak keras.
 Dalam kesehariannya, ia lebih menyukai mengenakan celana jeans panjang, dengan kaus kasual, sangat jauh minatnya terhadap fashion gadis seumurnya. Badannya cukup tinggi semampai, tegap, berkulit kuning langsat, dan berparas ayu seperti ibunya. Meskipun tomboi, namun kecenderungan sexnya normal, ia sering menyukai teman laki – lakinya di sekolah, dan pula gadis manis itupun tidak jarang ditaksir oleh teman laki – lakinya itu.  Namun sengaja ia menolak itu semua, bahkan ia telah bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menjalin cinta, selama Ayahnya masih hidup di dunia ini. Gea terlalu mencintai dan menyayangi Ayahnya, ia tidak ingin perhatiannya terpecah dan jelas ia akan merasa berlaku sangat tidak adil terhadap sang Ayah jika berani melanggar sumpahnya itu.
Tidak ada yang mampu pungkiri betapa besar cinta Nirwan terhadap anaknya itu, sering dalam sujud malamnya ia menangis, bertanya pada tuhannya apa alasanNya tidak memberi Gea kesempatan untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ia seringkali merasa kasihan pada Gea, maka dari itu dalam hidupnya ia bertekad untuk selalu menjaganya apapun yang terjadi. 
Hubungan keduanya sangatlah akrab, kedekatan mereka sudah selayaknya dua orang sahabat. Hampir tiap malam Gea membantu Ayahnya memasak, dan dalam hal memasak dua orang ini termasuk ahlinya. Lalu, seringkali Gea lebih memilih hang out dengan Ayahnya ketimbang bersama para temannya. Bagi kita yang melihatnya akan berkata, sungguh betapa indahnya persahabatan Ayah – anak tersebut.
Namun, “masalah” seketika datang, dikala Gea beranjak dewasa, saat umurnya mencapai dua puluh lima tahun, saat ia perlahan menjelma menjadi sesosok wanita yang cantik dan matang. Seorang pemuda bernama Adi, yang dalam beberapa bulan ini cukup dekat dengannya, melamarnya untuk dinikahi. Perdebatan lahir antara Gea dengan Ayahnya. Gea tidak ingin menikah, dengan alasan hal ini akan membuatnya terpisah jauh dengan Ayahnya, ditambah fakta bahwa saat ini Adi bekerja dan tinggal di Australia. Sedangkan sang ayah merasa bahwa saatnya sudah tepat untuk “melepas” anaknya, meskipun berat untuk itu. 

       “Gea, apa mungkin kamu menunggu Ayah mati dulu, sebelum kamu menikah, hah? Kelak Ayah ingin menimang cucu dari kamu, anakku,” kalimat itu terlontar dari mulut Nirwan. 


             Segera saja pelukan hangat menimpa tubuh tua Nirwan. Menempel di bahu Ayahnya, wajah manis Gea basah oleh air matanya. Sang Ayah juga tidak mampu menahan laju tangisnya. Keduanya larut dalam kesedihan. “Baik, yah…Aku akan nikah dengan Adi,” kata Gea sambil sesenggukan.
Sehari sebelum pernikahan, Nirwan mengajak Gea ke suatu tempat. Sore itu, sengaja Nirwan menutup mata anaknya dengan kain, hingga ia membukanya sesaat setelah mereka sampai di tempat tujuan. Arena Fantasi. Gea tertawa bahagia, diselingi senyum Ayahnya. Ini adalah tempat nostalgia mereka, dan ini adalah salah satu memori terindah mereka berdua. Di tempat ini, saat masih kecil, pernah Gea mengompoli punggung Ayahnya, saat tertidur dalam gendongan Nirwan. “Ayah dulu lupa menyuruhmu ke toilet dulu sebelum kamu ayah gendong,hahaha..,” tawa Nirwan membuat pipi Gea memerah karena malu. Sungguh menggemaskan.

DI BANDARA
Adi, Gea, dan Nirwan sudah berada di Bandara. Adi, pemuda baik hati itu sekarang resmi menjadi suami Gea, mereka benar – benar pasangan yang serasi. Lalu, tiba saat mereka harus berpisah, hati Gea bergemuruh keras saat ingin berpamitan pada Ayahnya, untuk pergi ke Australia. Dia memeluk Ayahnya lama, erat, tangisanpun meledak dari Gea. Pipinya kembali basah oleh air matanya. Sedangkan tangisan Nirwan agak samar tertutupi oleh kaca mata plus, coklat mudanya. Hatinya pun bergejolak hebat saat itu. 
Sejurus kemudian, Nirwan sudah terpisah dengan Adi dan Gea yang sudah menuju boarding room. Sebuah tangan Gea melambai ke arah Ayahnya, sementara tangan yang lain menutup separuh mukanya, masih menangis. 
Ketika anaknya sudah hilang dari penglihatan, Nirwan melepas kacamatanya. Terjangan angin di pelataran bandara hanya mampu menyapu rambut putihnya, tetapi tidak mampu menyapu deras air matanya. Nirwan masih berdiri mematung.

Story by: Randy A Islamy

Minggu, 09 September 2012

Si Malang Sahin, Si Pecundang Suarez dan Si Pejantan Vermaelen

Laga Liverpool vs Arsenal di Anfield berhasil menjadi pemecah kebuntuan skuad The Gunners. Bermodalkan 2 hasil seri di 2 pertandingan sebelumnya, membuat Arsenal (kembali) di-cap "tidak mampu" bersaing di Liga Utama Inggris. Point of Interestnya tentu mengarah pada kepergian 2 pemain andalan mereka, Robin Van Persie dan Alex Song dari Emirates Stadium.

Memang, cuma Arsenal yang bisa membuat saya betah berlama-lama menonton sepakbola di Televisi. Permainan "Arsenal Way" sudah mengalir dan mendominasi pertandingan sejak awal. Orang-orang berkata duet Cazorla dan Arteta telah men-Spanyolkan lini tengah Arsenal, dari segi bermain. Padahal tidak sepenuhnya benar. Jauh sebelum istilah Tiki-Taka Spanyol populer, Arsenal Way milik Gunners sudah dipraktekkan terlebih dulu. Permainan bola pendek dari kaki ke kaki sudah melekat dalam filosofi sepakbola Arsenal, yang mendobrak gaya sepakbola konvensional Inggris dengan kemonotonannya.

Lukas Podolski akhirnya mencetak gol debutnya di Arsenal, dalam partai resmi, setelah melakukan kerjasama apik dengan Santi Cazorla, pada babak I. Gelandang jenius asal Spanyol inipun kebagian giliran mendapat "service" apik dari Prince Poldi di babak kedua. Iapun berhasil mempecundangi kompatriotnya di timnas Spanyol, Jose Reina. 0-2 untuk Arsenal.

Usaha Steve Bould (Assisten Pelatih dan Ex Defender Arsenal) dalam memperbaiki kinerja defense Arsenal cukup berhasil sejauh ini. Kuartet Gibbs-Vermaelen-Mertesacker-Jenkinson nyatanya ber-Transformasi menjadi tembok nan kokoh bagi Gerrard cs. Saya pun melihat sebuah ironi dari sosok Luis Suarez. Bakat emasnya menjadi terkesan MURAHAN ketika ia berulangkali mempraktekkan aksi diving. Rupanya ini yang membuat progressnya seakan mandek di Liverpool, pikir saya.

Kembali ke BACK FOUR Arsenal. Jenkinson cukup apik berduel dengan Raheem Sterling dan Enrique di sisi lapangan. Kekurangannya hanya terlihat di awal pertandingan saat ia dan Mertesacker beberapa kali melakukan error passing. Nama terakhir melakukan aksi penting saat men-tackle bersih bola Sterling, di dalam kotak penalti Arsenal. Sterling lagi? Ya, cuma dia pemain Liverpool yang patut diberi kredit, karena aksinya yang sering merepotkan barisan pertahanan Arsenal sepanjang pertandingan.

Kierran Gibbs, bila selalu fit akan cukup mampu menggantikan peran Ashley Cole di timnas Inggris. Sedangkan Vermaelen.. Wah, determinasinya sungguh-sungguh melambangkan kejantanan seorang kapten (satu elemen yang tampaknya tidak dimiliki oleh kapten Arsenal sebelummnya). Ketangguhan plus komandonya memimpin tim dan menggalang pertahanan membuat ia pantas dijuluk The New Tony Adams.

Sang Kiper, Vito Mannone juga menunjukkan bahwa beruntungnya Arsenal memiliki sekumpulan stok kiper handal. Beberapa kali ia melakukan penyelamatan penting, terutama saat ia memblok dengan cara terbang, tendangan luar kotak penalti Shelvy. Tak heran, apabila Manuel Almunia hengkang. Dan ini menjadi peringatan keras untuk duo kiper Polandia, Woj Sczeszny dan Fabianski, bahwa persaingan di bawah mistar gawang akan semakin sengit.

Agak maju ke lini tengah, fokus akan pula tertuju pada Abou Diaby. Ah, saya harus memohon kepada Tuhan agar selalu menjaganya dari cedera dan tetap fit sepanjang musim. Visinya mungkin belum sebriliant Alex Song, namun kekuatannya bisa dikatakan hampir menyerupai. Kedisiplinan menjaga area tengah pun patut diacungi jempol. Skill dan Teknik bolanya berani saya adu dengan Yaya Toure, gelandang Man City. Rupanya ini alasan Wenger tidak berniat menjual pemain yang selalu dihujat oleh para Gooner itu.

FYI, Diaby adalah satu-satunya pemain Arsenal yang tersisa kini, yang sempat merasakan bermarkas di Highbury Stadion. Ya, Wenger lama mempertahankannya demi sesuatu yang spesial dalam diri Diaby. Semoga ini akan berlangsung dalam waktu yang lama.

Oliver Giroud kembali menggagalkan peluang emas mencetak gol dalam pertandingan ini. Assist cantk Diaby tidak mampu ia konversikan menjadi gol, kendati peluangnya sudah 95% gol. Gol dan assist yang dibuat oleh duo "rookie", Cazorla-Podolski, diharapkan bisa menjadi pelecut Giroud untuk mencetak gol di pertandingan selanjutnya.

Satu hal yang membuat bulu roma sedikit berdiri adalah ketika sorakan "ARSENE WENGER !" memekik dan membahana seisi Anfield, yang katanya selalu riuh dengan "You'll Never Walk Alone"nya. Ya, Wenger sedikit demi sedikit (hampir tiap musim seperti ini kondisinya) meredam kritik atas penjualan-penjualan pemain terbaiknya, di awal musim. Ditambah lagi, ia tidak menambah pemain baru di penutupan Transfer Window I, seperti yang diharapkan oleh para Gooner. Kebijakannya jauh tidak populer seperti Tottenham Spurs dengan pembelian Clint Dempseynya, Manchester City dengan perekrutan Douglas Maicon, atau juga Liverpool dengan peminjaman Nuri Sahin nya. Namun, tetap saja Gooners mencintai Wenger dan memang sang Profesor pantas dicintai atas kejeniusan otaknya itu.

Well, menyinggung nama Nuri Sahin, tampaknya kekalahan Liverpool ini akan menjadi salah satu penyesalan terdalamnya seumur hidup. Keinginan besarnya adalah berkostum Arsenal, namun apa daya bila Real Madrid dengan Jose Mourinho nya memaksa si pemain berkostum Liverpool dengan status pinjaman. Imbasnya, dia tidak bisa merasakan kenikmatan sepakbola Arsenal, alih-alih hanya bisa menyaksikan dan merasakan penderitaannya diperdaya oleh The Great Arsenal Way.

COME ON YOU GUNNERS !!

Sabtu, 21 Juli 2012

Tribute to Led Zeppelin


Rock n Roll
Masa muda identik dengan pencarian jati diri, di mana terkadang nafsu sulit terkontrol, dan kita tidak pernah peduli apa kata orang lain....

Heartbreaker
Mempermainkan hati seseorang terkadang membuat kita lupa diri, seakan kita tidak lagi memiliki hati....

Thank you
Namun perlahan ini semua akan segera berubah, di kala kita sudah memiliki dia yang sejati. Terima kasih telah datang menemani...

Stairway to Heaven
Berubahnya warna rambut menjadi putih menjadi peringatan bagi kita, bahwa pada akhirnya kulit yang keriput ini akan kembali bertemu dengan teman lamanya...


Ini hanya untuk pecinta LED ZEPPELIN…Karena hanya kalian yang akan mengerti ini…


                        Tribute to LED ZEP

Selasa, 17 Juli 2012

Siang di Pasar Silungkang


                                                SIANG DI PASAR SILUNGKANG

            Teringat olehku saat kunjunganku ke desa Silungkang, Sumatera Barat, beberapa tahun yang lalu. Silungkang adalah desa yang masuk di dalam kawasan kota Sawahlunto, yang menjadi perbatasan antara kota Sawahlunto dengan kota Solok. Desa yang sangat sejuk ini terbagi oleh beberapa bagian , yang masing – masing memiliki wilayahnya sendiri, diantaranya yaitu Palakoto, Sawahjuai, Panai, Dalimo Jao, Malowe ,dan masih banyak lagi yang tidak aku sebutkan.

Aku pergi ke sana bersama Agung, sahabatku. Sebenarnya tidak ada rencana besar yang akan kita lakukan di sana kecuali mendokumentasikan Prosesi adat Pernikahan Silungkang, yang kebetulan mempelai pria nya adalah saudara sepupuku. Sungguh sebelumnya sekalipun aku tidak pernah menyaksikan prosesi itu, dan beruntung sekali saat itu kuliah kami berdua sedang dalam masa liburan. Jadi, kami meluangkan waktu untuk pergi ke sana, sekalian berlibur.

            Namun, bukan Prosesi pernikahan adat itu yang ingin aku jadikan bahasan utama kali ini. Ada hal lain yang membuatku benar – benar tidak bisa melupakan desa itu. Desa yang jika anda melihatnya langsung anda akan percaya bahwa “karpet hijau raksasa” itu benar keberadaannya. Mereka berwujudkan hamparan sawah –sawah luas nan hijau, juga perbukitan tinggi bersandangkan pepohonan hijau, yang terisi penuh hingga kaki tebing. Seakan dari berbagai arah-- kanan atau kiri, mereka terus menyapa ketika kami melewati mereka sepanjang menembus perjalanan  . Apa yang sulit aku lupakan tentang desa itu?  Semoga tidak terdengar aneh jika  jawabannya adalah pasar. 

            Saya ceritakan sedikit tentang Pasar Silungkang. Dari yang saya ketahui, mayoritas penduduk Silungkang bermatapencaharian sebagai Pedagang, selain bertani, dan menenun songket. Pernah suatu saat, mungkin bertahun – tahun yang lalu, Pasar Silungkang menjadi primadona desa. Tempat dimana kita dapat melihat kesuksesan dan kemapanan para pedagang, yang tidak pernah sepi dikunjungi para pembelinya. Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi perdagangan di pasar itu berangsur sepi, dikarenakan banyak dari mereka yang merantau ke luar kota dengan harapan akan mendapat peruntungan yang lebih baik. 

            Namun, setidaknya terdapat dua hari di mana Pasar Silungkang akan terlihat lebih hidup. Jumat dan terutama Minggu terpilih menjadi hari pelipur lara bagi Silungkang, karena pada hari – hari itu kondisi pasar akan dipenuhi oleh para pedagang, baik dari Silungkang, maupun yang datang dari berbagai daerah lain di luar Silungkang, seperti Solok, Muaro Kalaban,atau juga Sungai Lasi. Transaksi jual beli pun akan sesak, berbeda dengan hari – hari lainnya yang cenderung sangat sepi .

            Waktu terasa cepat berlalu, sudah hampir seminggu aku dan Agung berada di sini. Tugas kami untuk mendokumentasikan Prosesi adat pernikahanpun sudah selesai kemarin. Lusa, yaitu hari Senin kami akan kembali ke Jakarta. Selama di Silungkang kami menginap di rumah kerabatku. Dan di sana, kami berkenalan dengan seorang pemuda baik bernama Rahmat, dia pulalah yang menjadi “guide” kami selama kami di Silungkang. 

            Sabtu malam, Rahmat mengajak untuk pergi ke balai oko’ besok pagi. Balai oko’ adalah bahasa Padangnya Pasar Minggu, atau Pasar di hari Minggu. Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, bahwa hari Minggu termasuk hari yang ramai di pasar Silungkang. Tentunya aku dan Agung tidak mau melewatkan itu.

            “ Kosongkan perut kalian sekosong mungkin malam ini, agar besok pagi kalian bisa memburu makanan lezat ala pasar Silungkang, sepuasnya… “, kata Rahmat. “ sebagai makanan pembuka silahkan kalian menikmati kue Ale – ale , lalu makanan utama Kupuak Samba atau juga Sate Padang Mak Sukur, sedangkan Es Tebak untuk hidangan penutup “.  

            Belakangan aku ketahui dari Rahmat, bahwa kue Ale – ale itu sejenis kue serabi, sedangkan Kupuak Samba mirip dengan Lontong Sayur, lalu Es Tebak mungkin hampir bisa disamakan dengan Es Campur. Namun, tetap saja kesemuanya itu berbeda dari yang pernah aku rasakan selama ini dan makanan – makanan itu  memiliki cita rasa tersendiri, yaitu cita rasa khas Silungkang yang sangat mengagumkan.  


           
Embun dingin sedang mendekap erat bumi , dan matahari sedang memulai usahanya untuk menghangatkan desa Silungkang,  ketika Rahmat membangunkan kami pagi itu.  

“Cepatlah kalian bangun, jangan sia – siakan hari terakhirmu disini ! “ seru Rahmat.

“ Tunggu sebentar lah, Rahmat. Bangunkan kami sekitar sejam lagi…” kataku sambil menahan berat kantuk.

“ Memang sudah jam berapa ini, mat? “ tanya Agung, dalam kondisi setengah sadar.

“ Jam 7 pagi, teman”

“ HAH !!!! “ teriak aku dan Agung serempak. 

Sebenarnya aku dan Agung sudah merencanakan bahwa sebelum kami menuju Balai Oko’, kami ingin mengelilingi seluruh desa Silungkang terlebih dahulu. Kami ingin mendokumentasikan keseluruhan areanya, itupun juga jika sempat. Namun, kami agak sedikit telat bangun karena malam sebelumnya kami menonton sepakbola di TV hingga larut.

Rahmat, aku dan Agung sudah berada di pinggir rel kereta Silungkang tepatnya berada di wilayah Panai, ketika sesosok kereta hitam nan panjang melintas begitu saja tanpa menghiraukan kami. Kontan saja aku langsung merekam momen indah tersebut dengan Handy cam ku, dan Agung memotretnya dengan kamera SLR nya.

“ Kereta batu bara itu hanya lewat sekali dalam seminggu, yaitu pada hari Minggu ini saja,” kata Rahmat ,“ Kereta itu hanya diperuntukkan sebagai fasilitas wisata, berangkat dari stasiun kota Solok, lalu melintasi desa Silungkang ini, sampai nanti berhenti di stasiun kota Sawahlunto. Setelah itu kembali melintasi Silungkang untuk kemudian menuju stasiun kota Solok kembali. “

“ Habis itu selesai? “ tanyaku.

“ Ya..”

Kami terus berjalan di atas rel menelusuri kampung Panai, yang jika kita menengok ke atas akan tampak tebing hijau, berisikan pepohonan dan beberapa rumah warga, yang tentunya kebanyakan masih berupa rumah adat. Sebenarnya setelah kami melewati Panai, kami akan langsung berada di kawasan Pasar Silungkang. Namun mengingat tujuan awal kami adalah mengelilingi Silungkang, maka jadilah kami menskip Pasar Silungkang, dan terus melanjutkan perjalanan. Kali ini kami sudah berada di daerah Paliang, yang letaknya bisa dikatakan tepat dibelakang Pasar Silungkang. Paliang terdiri menjadi dua bagian, yaitu Paliang Ateh (Paliang atas) yang posisinya berada menanjak di atas tebing dan Paliang Bawah, yang tentunya berada di bawah tebing.

Lalu, seterusnya kami melewati kampung Tanah Sirah, Lokuang, hingga tiba kami di suatu daerah yang berisi hamparan sawah, yang dikelilingi pepohonan rindang bertemankan beberapa rumah penduduk. Kampung tersebut bernama Sawah Juai. Sungguh siang itu sebenarnya cukup panas, namun entah mengapa saat aku melihat pemandangan maha hijau seperti ini, mataku terasa sejuk, dan kesejukan ini mengalir sampai ke otak, dan apa yang kurasakan? SEMPURNA… Sudah hampir tidak mungkin aku mengemis dan mengharap meminta lukisan tuhan macam ini, di Jakarta. Aku tersenyum girang, sambil terus merekam daerah ini. Agungpun tak kalah terpesonanya, itu terlihat dari rasa antusiasnya memotret tanpa henti. Dari kami bertiga, hanya Rahmat yang tampak seperti manusia normal. 

Setelah kami melewati jembatan Kuti Anyir barulah kami berputar arah menuju Pasar Silungkang. Sayup – sayup terdengar panggilan shalat dari salah satu surau, hari sudah menunjukkan pukul 12 siang. Tepat saat perut kami sudah lapar bukan main. Benar saja, pasar saat itu sangatlah ramai. Di pinggir jalan sudah terparkir banyak motor. Jalan – jalan disulap menjadi lapak para pedagang tersebut. Mereka menjual aneka sayur, daging, buah – buahan, dan yang pasti kebutuhan pangan hampir semuanya ada di sana. Layaknya pasar – pasar lain, kita juga bisa menemukan pakaian, maupun alat tulis disana. 

Namun itu semua masih dibungkus dalam balutan pasar tradisional, dimana sebagian pedagang menggelar dagangannya di tikar, dan berlesehan di bawah langit yang lebar terbuka. Juga berpayungkan tenda – tenda warna – warni, yang jika kita melihat itu dari atas, kita akan melihat kombinasi warna yang menarik dari gabungan beberapa tenda yang memayungi pedagang. 

Karena aku dan Agung tidak tahu menahu arah jalan, jadilah mengikuti Rahmat, dari belakang menyusuri space sempit di antara para pedagang, di kanan-kiri kami. Tadi kami sepakat, bahwa pertama yang akan kami makan adalah Sate Padang Mak Sukur.  

Lalu, tiba-tiba mata ini menunjuk ke satu titik, beberapa meter di samping kananku. Aku melihat ada sesosok gadis yang menarik perhatianku. Dia berbaju hitam, mengenakan rok putih panjang selutut, dan sedang membeli sesuatu di lapak sayuran.  Rambut sebahunya menambah kesan elok pada parasnya. Dia kulihat hanya sendiri waktu itu. Sangat ingin aku menghampirinya saat itu juga. Namun karena waktu terasa cepat, dan langkah kakiku cepat pula mengikuti Rahmat dan Agung, yang ada di depanku, jadilah tertunda niatku itu. 

Di tengah kesesakan dan kelaparan seperti itu, sementara aku lebih memilih mengikuti dua sahabatku itu untuk mencari makan. Setelah itu aku pasti akan kembali, dan menghampirinya. Toh aku sangat yakin di pasar yang tidaklah terlalu luas ini, aku pasti bisa menemukannya kembali.

Satu piring Sate Padang sudah kami lahap dengan rakusnya. Cukup hanya lima menit untuk kami memanjakan perut kami menghabiskan satu porsi. Es tebak pun menunggu gilirannya untuk disantap. Namun, sebelum itu datang di meja kami, aku langsung mengingat gadis itu tadi. Akupun berpamitan sebentar pada dua sahabatku itu. Aku hanya mengatakan ingin mengambil gambar lagi suasana keramaian pasar.

Lagi – lagi aku harus melewati space sempit saat itu. Aku terus berjalan tanpa hentinya merekam, sampai suatu ketika ada seorang bapak meneriakiku dari arah belakang.

“ Hei, Minggir !!! “, teriak bapak itu tentunya dengan bahasa Padang.

“ Iya ,maaf pak “, kataku.

Aku tidak kesal sama sekali, karena aku tahu mungkin bapak itu sedang sibuk dan diburu oleh waktu. Di pundaknya teronggok karung tebal berisi beras. Berat memang…

Setelah itu aku langsung meluncur ke tempat gadis itu tadi berada, dan… Dia sudah tidak ada…

Aduh kemana perginya gadis itu??... Mataku mengelilingi seisi pasar mencarinya, siapa tahu dia masih ada di sekitar sini. Akupun setengah berlari ke segala penjuru untuk menemukannya. Tapi, tidak bisa kutemukan sama sekali. Dia benar – benar menghilang.

 Lalu aku teringat sesuatu. Ya, handycam !!. Aku akan merewind rekamanku, siapa tahu ada yang tidak terlihat olehku, namun terlihat oleh mata kameraku. Jantungku berdegup kencang,  hingga benar – benar aku merasakan kecewa karena gadis itu luput pula dari penglihatan kameraku.

Keriuhan transaksi sekelilingku perlahan memudarkan harapanku. Aku menyesal, sangat menyesal. Coba saja tadi aku langsung menemuinya, berkenalan dengannya, mengobrol… Bodoh !! Aku mengutuk diriku sendiri.

Lalu aku kembali menemui kedua sahabatku. Mereka masih melahap es tebaknya. Ketika mereka bertanya mengapa mukaku terlihat lesu, aku hanya menjawab hanya sedikit lelah saja. Kelezatan Es tebak pun menjadi sedikit hambar di mulutku. Tanpa para sahabatku sadari, aku terus saja menyesali diriku sendiri, dan pikiranku terus melayang menuju sosok gadis elok itu.

Hei, gadis elokku, mengapa kau lenyap begitu saja ? Siapakah namamu ?

Berasal dari kampung manakah kamu?

Mengapa pilihanmu aneh sekali? Ketika cuaca sangat terik seperti ini kamu memilih pakaian berwarna hitam? 

Tapi, itu tidak masalah bagiku, mungkin hitam memang warna favoritmu…Hei aku juga sedang mengenakan warna hitam !! dan aku juga memprioritaskan hitam dalam hari - hariku…

Bukankah kita sama? Bukankah kita berjodoh?... 



Hari berangsur menjadi gelap milik maghrib. Besok aku dan Agung akan kembali ke Jakarta. Silungkang telah memberikan warna lain untuk perjalananku kali ini. Ini adalah kampungku, tempat di mana para nenek moyangku bertempur melawan kebengisan Jepang. Di Silungkang pula orangtuaku pertama kalinya menghirup nafas bumi. Ini berarti jelas bahwa darah Silungkang mengalir deras di dalam tubuhku.

Pada akhirnya aku merasakan seperti ada sesuatu yang tertinggal di sini, tepatnya di Pasar itu. Tapi, aku pasti akan kembali ke sini suatu hari nanti, dan saat itu aku harap tuhan mempertemukan aku kembali dengannya. Percayalah bahwa si keledai ini tidak akan sebodoh keledai – keledai lainnya yang jatuh terperosok dua kali dalam lubang yang sama…

End
RG

(Diselesaikan tgl 22-02-2010, jam 3 pagi…)