Picture by: Gito Barkah
Ya, belum sampai seminggu
kemarin ada mayat tergeletak di jembatan penyeberangan persis depan kantor gue.
Beruntung gue tidak melihat langsung, berbeda dengan teman gue yang sempat
melihat tubuh sang mayat mulai membiru. Tidak jelas disebabkan oleh apa, yang
pasti fenomena itu cukup tidak lumrah buat gue sejauh gue tinggal di Jakarta.
Yaudahlah, topik tadi begitu
menyeramkan. Bagaimana kalau kita membahas hal yang lebih menyenangkan?
Oke, suatu pagi seperti biasa
gue berangkat kerja ke kantor via Transjakarta. Dan seperti biasa (lagi) gue
berdiri, tidak dapat tempat duduk. Nah, pointnya di sini, nih. Ketika di depan
gue ada seorang ibu dengan 3 anaknya, plus asisten rumah tangga.
Tidak ada yang aneh sampai
tiba-tiba salah satu anak, yang gue takar kira-kira berumur 10 tahun, sedang
menggenggam Samsung Tablet sambil duduk dengan sikap leyeh-leyeh. Yah, namanya
juga anak-anak, mungkin dia belum dapat pelajaran sikap Tenggang Rasa, sehingga
tidak mempedulikan gue yang berdiri sambil bersimbah peluh kegerahan. Well, gue
tidak sedang mengeluh, ya. Hehehe.
Yang menarik adalah si anak
Tab ini mendengarkan lagu dari Tabnya tanpa menggunakan earphone. Volumenya tak
tanggung-tanggung: sepertinya mampu terdengar seantero Transjakarta. Lagunya?
Jangan ditanya. Tak tanggun-tanggung lagunya Bruno Mars (maaf gue tidak tahu
judulnya, yang pasti lagunya baru dan familiar di telinga) dan Laruku (gue juga
tidak tahu judulnya). Dan bahasa tubuhnya pun sungguh menggemaskan. Mulutnya
bergumam. Ya, dia hafal lirik lagu-lagu tersebut!
Yassalam, gue langsung
flashback ke masa lalu saat gue seumuran dia kira-kira apa yang sering gue
lakukan. Lalu, muncullah Galaksin, Tak Benteng, Taplak, Gundu alias Kelereng di
benak, dan oh, timbullah “diobok-obok”nya Joshua, lagu-lagunya Sherina, (dulu
gue naksir berat ini orang), Hits Trio Kwek-kwek yang dulu kadang segan gue
nyanyikan karena gue pemalu. Ahh, pada pergi kemana kalian sekarang ini?
Tepat keesokan harinya, gue
menemukan lagi cerita lain dari Jakarta. Sepulang kuliah, gue yang baru turun
dari kereta langsung bergegas menuju angkot untuk pulang. Angkotnya ngetem seperti biasa (lagi-lagi).
Pemandangan yang tidak lumrah, saat gue melihat sang sopir angkot sedang
memangku anaknya, yang kira-kira masih 2 tahun, di depan kemudinya.
Kesehariannya gue bisa melihat hal yang sama pada keponakan gue, yang dipangku
bapaknya di depan setir, untuk jalan-jalan keliling sekedar untuk hiburan.
Yang ini jelas berbeda, si
anak “dipaksa” orangtuanya untuk ikut dan menjadi saksi mata sang Ayah mencari
nafkah. Tak lama, ibu nya datang. Pasangan suami-istri itu terbilang muda. Gue
prediksi si Ayah tak lebih dari 24 tahun. Sedangkan istrinya mungkin sepantaran
member JKT48 yang paling muda, deh.
Sepanjang perjalanan, si
Ibu menyuapi anaknya dengan tahu
gorengan, yang tadi dibelinya dekat stasiun. Ayahnya merokok. Dan tak lama
setelah ia selesai menghembuskan asap beracunnya itu, ia tarik lengan anaknya
kembali ke pangkuannya. Sekarang, giliran sang Ibu yang merokok.
Gue sempat sedih waktu lengan
anak itu ditarik Ayahnya, yang buat seumuran dia itu termasuk kasar.
Keprihatinan gue tidak berhenti sampai di situ. Beberapa kilometer sebelum gue
turun, angkot sempat menepi. Rupanya, duet maut Suami-Istri itu membeli
sebungkus rokok tambahan serta minuman kopi kemasan. Yang namanya Ibu pasti
rasa sayang ke anaknya begitu besar. Namun, masing-masing persona tentu
memiliki caranya tersendiri untuk mengungkapkan hal tersebut.
Setelah selesai menyuapi
goreng tahu ke anaknya, sang Ibu memberikan minuman kopi kemasannya itu untuk
si buah hati. Ya, gue ulang dan lengkapi, minuman kopi kemasan yang mungkin
harganya cuma Rp 1.000 dengan komposisi kafein yang tinggi! Jaman kuliah D3
dulu, gue sering minum kopi kemasan itu dan itu ampuh buat gue dan kawan-kawan
menyelesaikan tugas sampai larut dengan mata melek sempurna.
Gue sih tidak tahu dampak apa
yang diterima oleh bayi bila mengonsumsi kafein. Yang jelas itu bukanlah suatu
hal yang positif.
Well, gue di sini sama sekali
tidak menghakimi atau menyalahkan kedua orang tua tangguh tersebut atas
gorengan, tarikan lengan yang kasar, kopi kemasan dan asap rokoknya. Mungkin
bagi mereka itu cara terbaik dalam mendidik anaknya untuk lebih tangguh dalam
menghadapi kerasnya Ibu Kota, kelak.
Saat menulis ini, ada satu
kalimat yang langsung terngiang di otak gue: INI JAKARTA, BUNG!