/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Rabu, 30 Juni 2010

Si Jenaka Emmanuel Eboue



Entah kenapa gue ngerasa mesti nulis sesuatu tentang orang ini. Emmanuel Eboue, namanya. Dia adalah bek/gelandang sayap milik Arsenal, berdarah Pantai Gading.

Gue baru aja ngeliat satu video yang buat gue kocak parah, yang pelakunya jelas Eboue itu sendiri. Silahkan dilihat ini linknya : http://www.youtube.com/watch?v=k_pkYxX7VQc&feature=player_embedded

Sumpah, moment itu adalah salah satu kekonyolan yang pernah terjadi di dunia persepakbolaan ini. Betapa jenakanya dia ikut mendengarkan instruksi dari pelatih Korea Utara, padahal 100% dia sama sekali nggak mengerti bahasa korea. Dan itu terjadi di tengah-tengah pertandingan !!!!hahahahaha...

Jadi, ingat satu kejadian dalam suatu pertandingan Arsenal, dimana pernah Eboue menjadi korban cacian suporter Arsenal sendiri. Saat itu Eboue baru saja masuk ke lapangan menggantikan salah satu pemain Arsenal lainnya. Permainannya yang buruk kala itu sangat merugikan Arsenal, bahkan cenderung membahayakan pertahanan Arsenal.

Sayang, saat itu para Suporter nggak menyadari bahwa Eboue baru saja pulih dari cedera serius. Tak pelak sepanjang pertandingan dia mendapat sorakan negatif (Boooooo....) dari para Gooners, sebelum pada akhirnya Arsene Wenger menariknya keluar demi menjaga mental salah satu anak didik kesayangannya itu.

Bukannya mengeluh, marah, atau benci dengan para Gooners, malah sebaliknya dia terus terpacu membuktikan kehebatannya, sehingga kemampuannya dia semakin beranjak seperti sedia kala. Para Gooners pun puas dengan performanya yang kembali normal.

Yang membuat Eboue menjadi pemain kesayangan bagi kebanyakan para Gooners --selain keloyalannya terhadap fans,pelatih,rekan pemain, pelatih dan klub-- adalah sikapnya yang lucu. Bukan rahasia lagi kalau di kalangan sesama pemain Arsenal, dia adalah badut yang senantiasa melawak dan menghibur rekan-rekannya. Bahkan, hebatnya lagi --dan ini adalah bagian terpenting yang membuat kami, para Gooners, menyukainya-- seringkali kala rekan lainnya mencetak gol, dia nggak akan segan untuk menggendong si pencetak gol tersebut di punggungnya. Hal itu nggak dia lakukan saat menjadi pemain starter saja, karena sekalipun dia menjadi pemain cadangan pun dia akan selalu "setia" beranjak dari bench lalu berlari mengejar si pencetak gol itu dan kemudian menggendongnya.

Meskipun Eboue gagal membawa Pantai Gading ke tahap yang lebih jauh di World Cup 2010 ini, setidaknya dia masih mampu memberikan "hiburan" berupa kekonyolannya ini --yang gue yakin akan jadi pembicaraan hangat yang santai di masa depan.

Juga gue berharap dia akan mampu mengantar Arsenal menuju tahta Juara EPL, Champions League dan sebagainya, musim depan pula seterusnya.

Sahabat dan Betawi

Juni identik dengan bulannya Jakarta.

Bicara tentang Jakarta saya jadi teringat akan salah satu sahabat saya, seorang Betawi tulen, Hafidz namanya. Saya akan ceritakan bagaimana pertama kali kami bertemu hingga dia menjadi salah satu sahabat saya sampai saat ini.

Masih segar ingatan saya, ketika hari pertama saya masuk ke sekolah Taman Kanak-kanak. Saya yang kala itu sangat tidak percaya diri harus masuk kelas ditemani oleh ibu saya. Di kala anak-anak lain sudah menduduki kursinya masing-masing, saya masih duduk di sebelah ibu saya, dipojokkan kelas . Sengaja ibu guru (saya memanggilnya bu Fat) yang baik itu menyediakan dua buah kursi untuk kami – dia mengerti kalau saya belum siap untuk “bergabung” dengan mereka.

Namun, itu tidaklah lama, karena setelah itu Ibu saya pergi meninggalkan saya. Teganya dia meninggalkan saya dengan alasan ingin pergi ke pasar –belakangan saya menyadari mungkin Ibu bermaksud untuk membuat saya belajar berani. Sontak saya begitu ketakutan, karena suasana baru yang harus saya hadapi itu seakan ingin menelan saya hidup-hidup. Ditambah anak-anak lain yang sudah mengenakan seragam itu lalu menoleh ke arah saya yang masih mengenakan pakaian biasa –belum mengenakan seragam – membuat saya tidak ragu untuk menangis sekencang-kencangnya.

Ibu Fat (bacanya dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Inggris) sampai perlu mendiami saya, berusaha keras untuk menghentikan tangisan saya. Butuh waktu beberapa lama hingga akhirnya saya diam. Lalu, Bu Fat menuntun saya untuk duduk di kursi meja paling belakang, di pojok kanan. Meja itu sudah ditempati satu anak, namun kursi di sebelahnya masih kosong, jadilah saya duduk di sana. Lalu, saya dikenalkan oleh Bu Fat dengan teman sebangku itu, namanya Hafidzullah Amin.

Sejak saat itu saya selalu lewatkan waktu TK bersamanya, hingga datang “ritual” itu dalam hari-hari kami. Bentuknya seperti ini : Kami bersepakat untuk selalu membawa bekal makanan yang berjenis sama tiap harinya. Makanannya beragam, namun lebih sering makanan seperti nasi goreng atau mie goreng . Dan ketika jam makan tiba kami berdua saling mencoba atau mencicipi makanan satu sama lain. Biasanya Hafidz yang selalu komplain, karena menurutnya makanan yang saya bawa selalu pedas –mungkin karena saya orang minang, jadi dari kecil memang sudah suka masakan yang pedas – sedangkan miliknya sama sekali tidak pedas bagi saya.

Namun, meskipun saya kurang bisa menikmati masakan tidak pedas, tidak pernah terbersit diri ini untuk mengurungkan atau menyudahi ritual ini. Begitu juga sebaliknya, Hafidz, meskipun setelah mencicipi makanan saya dia perlu meminum banyak air putih – karena mulutnya terbakar—sekalipun dia tidak pernah berniat untuk mengakhiri ritual ini. Sepertinya kami sedang belajar untuk saling memahami dan tenggang rasa saat itu.

Waktu semakin cepat berjalan, dan kamipun semakin dekat hingga kami memasuki Sekolah Dasar yang sama. Ada cerita lucu ketika kami memasuki kelas 1 SD yang sampai sekarang saya akan tertawa, minimal tersenyum kecil jika mengingatnya.

Pak Harun, Guru kami, menyuruh kami satu per satu ke depan kelas,untuk
membawakan lagu daerahnya masing-masing. Seingat saya teman-teman baru saya di kelas itu cukup beragam daerahnya. Ada yang dari daerah Jawa, Sumatra bahkan kalau saya tidak salah ada pula yang berasal dari Kalimantan. Saya tidak mampu mengingat baik lagu apa yang saya nyanyikan waktu itu – atau malah jangan-jangan saya menolak untuk menyanyi di depan kelas, karena rasa tidak percaya diri saya yang akut. Tapi, yang jelas saat itu tidak ada yang bisa menyanyikan lagu daerah masing-masing dengan baik dan benar, mengingat keterbatasan diri. Maklum saat itu kami masihlah sangat hijau. Hingga datanglah giliran Hafidz, sahabat saya itu untuk menyanyi di hadapan kami. Kami menantikan lagu Betawi apa yang akan dia nyanyikan. Tak lama dia berdiri di depan, langsung saja tanpa berbasa-basi dia bernyanyi:

Anak Betawi. Ketinggalan jaman, katenye...
Anak Betawi, nggak bebudaye, katenye...


Sontak tawa khas anak-anak membahana seisi kelas mendengar itu. Namun, Hafidz sama sekali tidak berpikir untuk berhenti.

Aduh, sialan...Si Doel anak Betawi asli...
Kerjaannye sembahyang,mengaji...
Tapi, jangan bikin die sakit hati...


Tawa kami sama sekali tidak berhenti. Mengapa kami tertawa sejadi-jadinya saat itu? Karena meskipun kami masih kecil kami tahu kalau itu bukanlah lagu daerah Betawi, melainkan Soundtrack dari serial TV Si Doel Anak Sekolahan. Saat itu Sinetron Si Doel adalah tontonan nomor satu di Indonesia, jadi tidak mungkin tidak ada yang mengenal lagu yang dibawakan oleh sahabat saya itu.

Seketika itu saya menyadari bahwa kelak Hafidz akan menjadi seseorang yang supple, lucu, atraktif, aktif, gila dan iseng. Dan sepertinya dugaan saya tidak meleset. Kelas satu, dua, tiga dia memang benar tumbuh menjadi anak yang super aktif –kalau tidak mau disebut nakal – khas anak-anak. Dia menjadi salah satu murid yang terkenal di SD. Banyak yang mengenalnya karena kenakalannya tersebut, tak terkecuali para guru. Bagi saya itu tidaklah masalah, karena dengan sikapnya itu berarti dia bisa mengimbangi sifat saya yang pendiam dan cenderung pemalu.

Tentang ritual “Mencicipi Makanan” kami, sayangnya mengalami ke vakum-an selama itu. Ini tak lain karena beragamnya aneka jajanan di kantin maupun jajanan di luar sekolah. Namun, suatu hari, tepatnya saat kami menduduki kelas 4 SD, dia mencetuskan ide untuk mengadakan ritual itu lagi. Saya tidak mungkin menolaknya, mungkin karena saat itu saya sedang merindukan hal itu kembali. Kalau saya tidak salah ingat, waktu itu kami kembali merencanakan membawa makanan nasi-mie goreng-Telor.

Keesokannya, kami berdua terkejut, karena tempat makanan yang kami bawa ternyata identik. Yaitu tempat makanan plus minuman yang merupakan hadiah dari salah satu restoran cepat saji Amerika yang terkenal itu. Bedanya adalah miliknya berwarna kuning, sedangkan saya hijau. Kamipun tetap tertawa girang sekalipun mulut ini sudah dipenuhi makanan.

Kembali tentang keBetawi-an Sahabat saya itu. Ada suatu saat di mana kami bersama teman kami lainnya membangga-banggakan daerahnya masing-masing. Memang terdengar seperti kejahatan SARA, namun kami sama sekali tidak memikirkannya –maklum kami masihlah sangat hijau saat itu. Tapi, pada akhirnya kami semua akan kalah dan menyerah ketika sahabat saya itu berkata : “ Kalau memang daerah kalian – Padang, Jawa, dll – yang paling hebat, mengapa kalian sekarang tinggal di sini? Di tanah Betawi milik saya ?”

Wow, jawaban yang hebat dan cukup telak untuk kami. Sehingga terhentilah pertengkaran khas anak kecil itu.

Seiring berjalannya waktu. Masa SMP hingga SMA saya sudah jarang bertemu dan berkomunikasi dengan Hafidz. Sahabat saya itu pun pindah rumah, dari yang awalnya cukup dekat dengan rumah saya hingga dia harus tinggal ke tempat yang agak jauh. Benar-benar saya tidak mendengar kabarnya sampai tiba suatu hari dia datang ke rumah saya bersama.

Betapa terkejutnya saya –setelah beberapa lama tidak bersua—ketika melihat perawakannya sekarang. Tidak seperti dulu yang kurus kecil, kali ini dia datang dengan bentuk badan yang begitu besar berisi, dan tingginya pun beberapa centimeter di atas tinggi saya. Belum usai keterkejutan ini, ketika ditambah lagi dengan kabar bahwa dia ingin segera menikah. Sengaja ia datang ke rumah untuk mengenalkan calon istrinya dan memberikan undangan pernikahannya.

Kabar bahagia kembali sahabat saya dapatkan. Beberapa waktu yang lalu, dia mengabari bahwa istirnya sedang mengandung bayi, yang sudah jalan 1 bulan. Betapa hebatnya sahabat saya yang satu ini.

Kelak saya harap si Hafidz Junior akan menjadi “pejuang Betawi” seperti Ayahnya. Semoga dia mampu membanggakan kota Jakarta tercinta ini melebihi Ayahnya, dan pula tentu harus berbuat banyak hal yang berarti untuk tanah Betawi ini.

Berhubung ini masih bulan Juni, jadi saya masih berkesempatan untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk kota Jakarta kita tercinta ini.

Dirgahayu DKI JAKARTA ke 483 !!!

Rabu, 23 Juni 2010

Suara

Tidak. Saya tidak sedang ingin membahas judul lagunya salah satu band Indonesia --namanya memiliki unsur pohon-- yang tengah naik daun itu.

Saya baru saja menonton Film Dokumenter bertajuk "TOUCH THE SOUND" di Kineforum, Cikini. Film itu menceritakan tentang kehidupan Evelyn Glennie, seorang percusion wanita yang cukup terkenal di dunia, dalam mengeksplorasi hubungan antara suara, irama, waktu, dan tubuh dengan kondisi diri yang hampir tuli.

Di tengah cerita, tiba-tiba muncul pemikiran sederhana dari otak saya. Betapa kayanya jumlah suara dalam hidup ini. Dan betapa dibutuhkannya suara dalam kehidupan manusia, yang menurut saya sama tarafnya dengan kita yang membutuhkan oksigen dari hari ke hari. Tanpa mengucilkan peran indera manusia lainnya yang tentunya sama-sama besar, kebutuhan kita akan indera pendengar mutlak kita dapatkan bila ingin mendapatkan kehidupan yang sempurna.

Coba bayangkan jika suatu waktu Tuhan mencabut pendengaran kita.

Contohnya,mungkin saja kita yang tiba-tiba tuli ini akan menyesal tidak pernah mendengar indahnya suara adzan lagi, karena biasanya kita menutup telinga kita dengan bantal saat terdengar adzan subuh bersahut-sahutan di udara. Bahkan tidak jarang kita mengencangkan volume musik Rock kita saat Adzan mulai berkumandang.

Atau kita yang selalu malas mendengar monotonnya ocehan maupun perintah orang tua : "Nak, tolong antarkan ibu ke pasar" , "Nak, kamu di sekolah harus belajar yang benar" , akan menangis sejadi-jadinya kalau memang benar tiba saatnya pendengaran kita tidak berfungsi, suatu saat nanti. Jika kondisinya sudah terlanjur seperti ini saya berani bertaruh bahwa kita semua pasti akan merindukan ocehan cerewet para orang tua kita.

Lalu, bayangkan lagi jika semua alunan musik lenyap atau tidak pernah ada lagi di muka bumi ini karena di ambil oleh yang maha kuasa. Kita pastinya akan tidak kenal lelah untuk mengemis-ngemis padaNya agar musik itu dikembalikan pada kita. Maka ucapan syukur otomatis akan keluar jika Tuhan pada akhirnya mau memberikan kembali alunan musik di dunia ini, sekalipun mungkin itu hanya lagunya Band Hijau Daun.

Kalau saya tidak salah tangkap, dalam film itu sempat Evelyn berujar "We all are sound". Ya, kita semua adalah suara itu sendiri. Otak saya mencoba menyimpulkan maksud itu yaitu semua yang ada di bumi ini bersuara, sekalipun itu benda mati. Dipersempit lagi, pendapat saya mengatakan bahwa ternyata manusia memang membutuhkan suara dalam kehidupannya.

Bukankah dua tim kesebelasan sepakbola sangat membutuhkan sorak sorai pendukungnya, di tiap pertandingan, agar semangatnya terus meluap ?. Itu contoh sederhananya, untuk yang lebih kompleks mari sama-sama kita memikirkannya di kala kita memiliki waktu untuk berdiam diri dan merenung. Bersyukur dan beruntunglah mereka yang alat pendengarnya masih berkerja dengan baik, tanpa suatupun alat bantu.

Jadi, nikmatilah suara yang ada --sekalipun hambar terdengar-- selagi oksigen belum ditarik peredarannya oleh yang maha kuasa.

Selasa, 22 Juni 2010

Saya Sombong....

Sore itu entah mengapa perasaan saya tidak terlalu baik. Ada emosi yang tertahan, namun tidak mampu saya ungkap seperti apa itu rupanya dan disebabkan oleh apa. Akhirnya saya memutuskan untuk jogging di jalur hijau dengan harapan emosi buruk ini lenyap seiring keluarnya keringat dari dalam tubuh.

Belum saja memasang sepatu, telpon rumah sudah berdering. Ibu menyuruh saya untuk mengangkatnya. Mungkin itu dari customer service saluran televisi berlangganan (namanya tidak mungkin saya sebut, jadi saya akan menggunakan nama RRR TV), katanya. Benar memang itu telpon dari pihak customer service RRR TV.

Sebelum menceritakan lebih lanjut, saya akan menjelaskan perihal RRR TV ini terlebih dahulu. Jadi, baru beberapa hari saja kami memasang RRR TV di rumah. Satu-dua-tiga hari keadaan masih berjalan normal, hingga hari berikutnya tayangan lokal dari RRR TV itu lenyap, hilang dari TV kami. Singkatnya, kami langsung komplain ke pihak mereka. Berkali-kali kami menelpon pihak customer service RRR TV selalu saja kami tidak mendapatkan solusi yang baik dan tidak jelas.

Sudah hampir 3 hari tayangan lokal kami tidak pernah muncul seperti yang mereka janjikan. Hingga hari itu Pak Dion (bukan nama asli)--belakangan saya tahu namanya-- menelpon ke rumah.

" Dengan bapak **** (nama bapak saya) nya ada?" tanya Pak Dion.
" Bapaknya lagi kerja, ini siapa ya? " tanya saya.
" Kami dari pihak RRR TV. Kalau begitu dengan ibunya saja? "
" Oohh, yaudah pak sama saya saja, anaknya " perlahan emosi saya bergemuruh naik. " Ini jadinya bagaimana pak ?, sudah berhari-hari nih, padahal sempat kok dua hari awal kami tidak menemui masalah ".

" Iya, saya minta tolong siapkan foto kopi KTP bapaknya, 3 lembar "
" Hah, buat kapan itu pak?"
" Ya, sekarang lah kalau mau cepat ditangani " nada suaranya kali ini agak meninggi, dan membuat naik darah saya.

" Ya, sekarang bapak saya masih kerja, KTP nya jelas tidak sama kami sekarang !. Kalau begitu pihak bapak datang saja sehabis magrib, mungkin saat itu bapak sudah pulang "

" Ya, kami bisanya sekarang. Nanti Magrib tidak bisa " tegas Pak Dion.
" Kok gitu sih??! Lagian saya heran, kok baru minta fotokopi KTP nya sekarang. Kenapa tidak dari awal pemasangan dimintanya?! " hati saya menggebu-gebu saat berkata. " Kalau itu memang sudah jadi salah satu prosedur, mengapa kami dibiarkan sempat menikmati layanan TV anda selama 2 hari? dan kamipun sudah membayar sebelumnya !", nada suara saya meninggi dengan angkuhnya.

Bukan apa-apa, kami yang merasa dirugikan dan jelas sekali mereka yang salah, namun yang saya tangkap sepertinya malah dia yang menyalahkan kami. Seolah mereka sedang menikmati ketergantungan kami pada mereka.

" Ya, mungkin waktu itu eee...eeee...eeee " jawabannya tidak jelas. Saya tahu pasti dia sudah kehabisan akal dan kata-kata. Dan yang saya sayangkan, tidak ada keluar kata maaf dari mulutnya saat itu. Hal ini membuat saya sangat jengkel bukan main.

" Ya sudah, nanti saya telpon langsung saja ke Bapak " katanya melunak, sebelum mengakhiri pembicaraan. Emosi saya masih saja meledak-ledak --kata-kata kasarpun keluar dalam gerutu saya-- ketika saya agak sedikit membanting gagang telpon, namun hati kecil ini puas. Puas karena merasa telah "mengalahkan" mereka.

Beberapa saat kemudian saya sudah belari di Jogging Track Jalur hijau. Terbayang kembali perdebatan tadi dalam benak. Mungkin benar bahwa keringat mampu mencairkan emosi, karena pada saat itu mendadak saya mampu berpikir positif.

Betapa kasarnya saya terhadap Pak Dion --saya takar dari suaranya, umurnya mungkin 30 tahun ke atas-- yang jelas lebih tua dari saya. Memang, mungkin saya berada di pihak yang benar sedangkan dia sebaliknya. Namun, tidak sepantasnya saya membakar emosi saya dengan nada bicara yang tinggi saat berkomunikasi dengannya, meskipun hanya lewat telepon.

Kesalahan personal maupun teknis sesungguhnya dapat terjadi kapanpun dan oleh siapapun. Suatu kenyataan hidup yang saat itu saya tidak sadari. Padahal, bisa saja suatu hari nanti saya yang berada di posisi Pak Dion, dan orang lain yang berada di pihak saya --hal sederhana yang tidak pula sempat terpikirkan saat itu. Namun, emosi berlebihan saya mampu mencengkram kuat-kuat hati nurani ini, meremasnya hingga remuk kemudian tidak berfungsi.

Hingga saya pulang jogging, saya mendapati saluran TV Lokal kami kembali berjalan normal. Pihak RRR TV menempati janji mereka, pada akhirnya.

Setan apa yang saat itu merasuki ? Saya tidak tahu. Yang jelas saya ingin meminta maaf terhadap Allah SWT, dan memohon padaNya agar membukakan pintu maaf Pak Dion atas kesombongan saya.

Keprihatinan sore ini...

Gue selalu mengharapkan ALLAH SWT bakal ngasih gue pengalaman menarik --setidaknya menarik dari sudut pandang gue sendiri-- di tiap harinya. Namun, nggak selamanya gue mendapatkan itu, karena nggak semua yang gue alami dari hari ke hari itu 'berhak' dituangkan dalam blog ini.

Khusus yang ini, buat gue layak untuk diceritakan. Karena gue dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan.

Sore, gue baru saja keluar dari TIM setelah nonton Gratisan di Kineforum, ketika perut gue laper tiba-tiba. Entah kenapa pikiran gue langsung tertuju pada KFC. Mungkin karena lagi ngidam atau lagi males makan di warung padang ato Warteg. So jadilah gue ke KFC Cikini, berjalan kaki dari TIM.

Setelah sebelumnya numpang solat di mushola pom bensin sebelah, gue langsung masuk ke restoran Junk food tersebut. Setelah memesan ini itu ( Dada Ayam, 1 Nasi, dan Cola ), petugas kasir kembali menawarkan pesanan lain.

" Ada lagi mas ? " tanya petugas kasir pria itu (sebut saja namanya Petugas Kasir A).
" Ehmmm...Mocha Float " kata gue setelah beberapa saat berfikir.
" Baik, semuanya jadi Rp 29.000 , mas "

Lalu, gue ambil dompet dari saku belakang. Dan, inilah bagian yang memprihatinkan itu. Di dompet gue hanya teronggok selembar uang dua puluh ribu saja !!!... Gue mencoba untuk mengontrol diri dan nggak panik.

" Hmmm, mas gawat nih duit saya cuma dua puluh ribu " kata gue sambil cengengesan." Bisa ga ya bayar pake ATM ?? ".

" Hmmm...Bentar ya mas", katanya sembari bertanya dengan mbak kasir di sebelahnya, " Mbak ini gimana ya, bisa ga pake ATM ? ".

" Maaf mas ga bisa. Gini aja deh, uang mas yang dua puluh ribu itu kita ambil dulu, dan menu ini kami simpan dulu ya" kata mbak itu sedikit jutek. Gue mengerti, karena gue lihat mbak itu sedang cukup sibuk melayani pelanggan lainnya.

" Yaudah, mas, mbak saya ambil duit ke ATM dulu ya, saya pergi nih sekarang " sekejap gue langsung keluar. Sejujurnya perasaan malu itu ada, tapi nggak terlalu dominan karena saat itu gue malah senyam-senyum sendiri, pertanda gue sedang menertawakan kekonyolan gue sendiri.

Ini dia datang lagi bentuk keprihatinan yang menimpa gue. Jalan dari KFC menuju ATM BCA adalah satu arah, dimana gue jadi nggak bisa mengandalkan bis atau angkutan umum lainnya untuk nganterin gue ke ATM . Juga ditambah lagi jaraknya yang lumayan jauh, ketika gue sama sekali sadar kalau gue nggak membawa kendaraan saat itu.

Okeh, akhirnya gue lagi2 harus jalan kaki menuju ATM dengan mengambil sikap langkah sejuta kaki, begitu juga sebaliknya menuju KFC lagi.

Agak ngos2an napes gue menghampiri kembali kasir KFC. Rupanya bukan Petugas Kasir A yang sedang di belakang kasir, melainkan orang lain ( gue menyebutnya Petugas Kasir B ).

" Maaf mas, saya yang tadi..." kata gue sebelum disela olehnya.

" Oh, iya sebentar saya ambil dulu pesanannya " dia pasti sudah tahu kasus awal gue.

Seketika Petugas Kasir A datang menghampiri.
" Aduh mas, maap ya jadinya saya ngerepotin " gue mencoba berinisiatif.

" Yah, gapapa kok mas " katanya simpatik, sebelum dia kembali berlalu.

" Eh mas, baju Zeppelinnya beli di mana tuh? " tiba-tiba Petugas Kasir B bertanya.

Gue jadi inget kalo gue lagi make baju Zeppelin, " Eh, iya banyak kok mas di Tanah Abang ". Jujur gue agak kaget ditanya begitu.

" Kalo saya punyanya yang lambang orang bersayap itu lho, ada gambar Jimmy Pagenya ditengah-tengah" tukasnya.

Awalnya gue mengira kalau Mas Petugas Kasir B ini hanya sok2an tau Led Zeppelin aja. Ditambah tongkrongannya yang berkaca mata dan berkawat gigi --biasanya yang model begini sukanya tuh ColdPlay, Fall Out Boy dan band anak muda jaman sekarang, lainnya--, membuat gue berfikir nggak mungkin dia memilih Zeppelin sebagai band favoritnya Tapi, dengan cepat anggapan gue berubah 180 derajat ketika dia menyebutkan nama Jimmya Page.

" Jimmy Page trus Robert Plant tuh emang bener2 Legend deh, pokoknya " katanya lagi. Kali ini gue nggak bisa lagi meremehkan ke" Led Zeppelin"annya lagi.

" Setuju mas, sayang Bonham udah keburu mati ya mas? ", gue menanggapi.

Perbincangan singkat itu diakhiri waktu gue mendapat kembalian dari mas Petugas Kasir A. Sekali lagi gue meminta maaf padanya, dan lagi-lagi dia tersenyum menanggapi "kesopanan" gue...hehehe....

Jalan kaki cepat bolak-balik ATM-KFC karena duit gue kurang, dan mas Petugas Kasir B pecinta Led Zeppelin membuat hari ini jadi bermakna buat gue. Dua hal itu adalah perwujudan kado dari ALLAH SWT buat gue yang selalu mengharapkan momen-momen terbaik di hari-hari gue...

Buat gue ini sangat menarik, so that's why kita semua bisa membaca cerita ini sekarang...