/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Minggu, 21 November 2010

Matanya Itu...

Matanya sayu menahan kantuk

Mata itu terus saja berkerja ketika seharusnya terpejam mengiringi malam

Kemudian matanya tertuju pada sekumpulan pohon

Mereka begitu tinggi lagi besar semua

Dedauannya nan lebat bergoyang,menari ikuti perintah desau angin

Ingin rasanya ia ikut menyatu dan menari bersama mereka, hingga tandas sudah rasa kantuk itu...

Minggu, 07 November 2010

Lucu..Absurd..Tragis..

"Masih saja bergombal ria dalam kemelut yg absurd, bahkan kala diri nyaris ditelan nyatanya tepian jurang"

Kalimat di atas adalah isi status yang baru saja saya tulis di Facebook. Bukan tanpa alasan saya menulis status yang tidak common seperti itu --setidaknya bagi saya pribadi.

Alasan pertama: Saya sudah lama memendam hasrat untuk menggunakan kata Absurd dalam status Facebook. Karena saya beranggapan kata itu terlihat elegan jika dibaca. Seolah siapapun yang menuliskan kata itu pastilah bukan orang sembarangan,melainkan orang cerdas (hehehe...). Dan akhirnya saya mendapatkan kesempatan itu, hingga berujung kelegaan yang luar biasa. Fiuuhhhh....

Alasan kedua --ini bagian seriusnya-- mengapa saya menuliskan kalimat seperti itu??

Jelas saya bukan orang yang ringan tangan menulis status di facebook (FB). Makanya ketika saya melihat atau menghadapi sesuatu yang wah, maka terciptalah kalimat yang indah itu. Dan jangan mengira kalimat itu hanyalah omong kosong tiada isinya. Memang, sekilas seperti potongan bait sang pujangga, namun jujur saya tidak sedang berpuisi saat itu karena kata-kata itu melintas begitu cepat ketika saya mendapatkan buah pikiran (ditambah saya juga tidak ingin status yang sebenarnya merupakan sindiran ini, terlalu vulgar maknanya terlihat oleh si objek korban sarkas saya. Hitung-hitung kalimat bersayap di atas sengaja saya buat sebagai kamuflase).

Inilah penyebabnya:

Akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami bencana yang dahsyat. Mari kita kesampingkan sementara beragam bencana lainnya (baca: Bencana Moral, Bencana Politik, Bencana Hukum, Bencana Ekonomi, Bencana Sosial, Bencana Budaya) di negeri tercinta ini. Bencana alam yang terjadi di Wasior,Mentawai juga di daerah sekitar kawasan Merapi lebih menjadi sorotan akhir-akhir ini. Indonesia sedang berduka karena kehilangan banyak nyawa manusia dan mengalami kerugian-kerugian besar akibat bencana tersebut.

Namun,lucu buat saya karena masih saja di saat-saat mencekam seperti ini saya bertemu dengan "kasus" beberapa tulisan status Fecebook, lewat cerita di bawah ini :

Malam itu, saat sedang membuka laman Facebook, saya melihat "pemandangan" yang menarik. Salah satu teman di FB memiliki akun yang sama dengan kekasihnya. Sebutlah si Pemuda berlabel P, sedangkan Pemudi berlabel Pi. Dalam status yg pertama,Pi mengeluh akan sikap P yang selalu menaruh opsi tidak percaya (alias curiga) terhadapnya. Lalu, P membalas statusnya --ingat,dengan akun yang sama-- dengan kalimat yang kurang lebih seperti ini : "siapa suruh anda cantik, andaikan saja tidak, pastilah saya tidak mencurigai anda"...

Baik si Pemuda maupun si Pemudi sebenarnya mensisipi racun-racun indah bernama Pujian di sela "kemarahan"nya masing-masing. Pi ingin mewartakan semua orang bahwa dia memiliki seorang kekasih yang loyal dan cinta padanya sehingga mudah merasa cemburu padanya. Sedangkan P pula ingin menyiarkan bahwa kekasihnya adalah gadis tercantik, dan ia bangga bisa "menaklukan"nya sejauh ini.

Terdengar seperti saya sedang iri?? saya harap tidak. Meskipun saya sudah menjomblo lebih dari 3 tahun, namun percayalah bahwa saya cukup bijak mencerna mana yang lumrah mana yang tidak dalam hal percintaan. Cerita lain berikut di bawah ini yang membuat diri tersadar bahwa saya masih terdaftar sebagai orang yang waras di hamparan bumi. Bahwa masih ada yang jauh lebih menyedihkan daripada jomblo yang seorang ini.

Lagi-lagi di FB...Lagi-lagi fenomena absurd...Seorang gadis haus apresiasi yang dibutakan kasih sayang sepihak. Mengapa sepihak? penjelasannya nanti terujar lebih lanjut.

Saya perhatikan gadis ini selalu melapor terkait hal relationshipnya dengan pujaan hati pada semua orang. Ba'da hang out ngelapor. Setelah Nonton bioskop ngelapor. Setelah putus ngelapor. Setelah kembali rujuk ngelapor...begitu seterusnya.

Namun --nah, ini dia bagian tragisnya dan terkait dengan kasih sayang sepihak yang sudah saya sebutkan sebelumnya--, hampir selalu tidak ada balasan dari sang kekasih ketika gadis itu menulis kata-kata mesra di status atau di wall sang kekasih. Rupanya,sepertinya, dan saya yakin bahwa si pemuda (sang kekasih) tidak nyaman dengan tingkah laku kekasihnya itu yang kelewat batas dalam konteks perwujudan ekspresi diri. Mungkin akan beda ceritanya kalau si pemuda membalas serta merta kata-kata mesra pacarnya itu, namun nyatanya tidak. Makanya saya tadi sebut kasih sayang sepihak atau sadisnya bertepuk sebelah tangan.

Lebih tragis lagi, saya perhatikan, seperti tidak ada evaluasi diri malah terus saja tingkah bodoh itu dilakukan oleh gadis itu via FB. Ia tidak mampu peka terhadap ketidaknyamanan si pasangan...Kasihan sekali jika memang benar ini diakibatkan oleh cinta yang buta.

Dari sini timbul pikiran saya: Kok,gadis itu jadi seperti (maaf) tidak memiliki harga diri ya?? Mengemis cinta, yang saya tahu terbesit di hatinya pasti ada terselip keinginan mengeksiskan diri di depan khalayak. Mengeksiskan diri? Iya lah,oleh sebabnya si Gadis terus menerus melakukan hal-hal --yang bagi saya sangat bodoh-- via FB. Tentu dia ingin semua orang tahu segala permaslahatan cinta yang dialaminya...

Sedih saya melihat kenyataan seperti itu. Karena tidak pantaslah seorang gadis mengemis cinta pada seorang pemuda. Cukup pemuda sajalah yang melakukan itu. Singkat cerita, pernah cinta saya ditolak beberapa kali oleh seorang gadis (hehehe curcol), namun itu tidak jadi masalah bagi saya, karena memang seperti itulah kodrat seorang pria seharusnya : Berjuang demi cinta (hehehe aseekkk), bahkan sampai mengemis bila diperlukan...

Ingin sekali suatu saat nanti saya bercakap dan menanyakan pendapat R.A Kartini perihal ini. Semoga saja tak sampai ia menangis nantinya.

Memang seketika FB datang, orang-orang, tak terkecuali saya, dapat mengekspresikan diri seluas-luasnya. Seolah semua batas dapat diterjang seenaknya demi ego diri. Aib, kebencian, bahkan mesum maupun hal-hal yang tidak pantas lainnya kita sajikan tanpa pertimbangan yang masak. Sepertinya hati tidak pernah plong manakala tersembunyi uneg-uneg, namun belum ditulis di status FB.

Mengenai dua cerita di atas semuanya kembali pada diri masing-masing dalam menanggapi. Saya tidak pernah ada masalah dengan tipikal-tipikal manusia seperti itu. Toh, bukan saya yang membayar internet berlanggan atau biaya warnet mereka. Toh, kembali lagi pada fungsi awal Facebook : Pengekspresian dan (mungkin) Pengeksisan diri. Semua orang punya kebijakan masing-masing dalam memilih-milah tulisan dalam status.

Terus berkarya teman-teman dalam tulisan status FB-mu !!! Sekalipun ada diantaranya yang tidak bermanfaat bagi orang lain, setidaknya itu pasti bermanfaat bagi PEMBUAL seperti saya untuk berpikir ...

Rabu, 27 Oktober 2010

Mengkhianati Angan ? Tidak...

Terus saja kaki ini melaju dari Terminal Ciamis menuju entah kemana...Tengah hari yang semestinya terik itu kini malah menjadi mendung. Tapi aku tidak peduli. Datanglah sang hujan kalau memang Dia maunya seperti itu. Saat ini aku sedang tidak berselera untuk mengeluh. Sekalipun nanti turun hujan dan membasah kuyupkan badan, setidaknya di saat-saat seperti itu akan ada banyak orang yang dapat mencuri setitik kebahagiaan. Mereka itu selalu menantinya bukan sebaliknya: mengeluhkan.

Langkah ini terhenti di Stadion Galuh --tak jauh dari Terminal Ciamis. Kosong, di sana tidak ada siapa-siapa. Rasanya tempat ini cocok untuk rehatku sebentar,sementara otak berpikir mengenai langkahku berikutnya. Lalu lalang bermacam kendaraan menjadi tontonan saat aku duduk di salah satu pojokan luar stadion.

Cukup lama berpikir hingga aku menemukan jawabannya: SOLO !!! aku harus pergi ke sana sekarang juga.

Sedari dulu hanya angan ini saja yang sudah menginjak tanah Solo, tempat di mana Stadion Manahan berada. Mungkin secara tidak langsung ada suatu kontak yang kuat antara stadion di mana aku berpijak saat ini dengan stadion Manahan itu, sehingga secara tidak sadar daya magis ini mengingatkanku pada sesuatu yang sebenarnya telah lama mengendap di memoriku.

Sebuah bis yang kuyakin baru saja lepas dari Terminal melintas. Aku bergegas menghentikan lajunya, lalu mendapatkan kursi di bagian dekat pintu depan. Ada kelegaan yang amat sangat saat aku mampu memuaskan dan meringankan beban angan lamaku ini.

Di dalam bis belum terlalu ramai sesak penumpang, meskipun baru saja masuk sepasang ibu-bapak bersama satu anaknya yang masih bocah. Sedangkan, angan ini kembali beranjak ke Solo. Aku mulai mempersiapkan apa saja nanti yang akan aku lakukan seketika sampai di Stadion Manahan.

Ahhh..banyak orang yang mengatakan: kita semua seharusnya mampu membayangkan berbagai hal di otak kita,karena Tuhan sudah menganugerahi manusia dengan sebuah teater mimpi yang besar, yang bisa kita utak-atik semaunya, sekehendak hati kita. Namun, nyatanya tetap saja anganku tidak benar-benar sanggup membayangkan seperti apa rupa Stadion itu, seperti apa wajah Solo tersebut.

Aku memang sudah sepatutnya tidak harus selalu menyerap mentah-mentah perkataan orang-orang macam itu. Itu akan kumulai dari sekarang.

Sementara bis terus melaju, di luar sana hujan mulai turun rintik-rintik dan tidak butuh waktu lama, sekonyong-konyong hujan deras mulai turun dengan megah. Dan kemegahannya itu kemudian seenaknya membelot menukik masuk ke dalam bis melalui pintu masuk, yang berada tepat di depanku. Tubuhku diterpa angin dan air hujan dingin jadinya.

Ingat, jangan pernah ada yang berpikir aku akan berkhianat pula seperti laju hujan itu, menilik pada perkataanku sebelumnya: Aku tidak akan mengeluh kala hujan datang. Buktinya, sekalipun perlahan pakaian dan tubuhku basah sebagian aku tetap tidak berpindah ke kursi lain --yang masih banyak belum terisi. Aku akan mencoba menikmatinya tanpa harus memikirkan akibat di beberapa jam kemudian. Namun,jangan lalu menyalahkanku ketika sang kondektur kemudian malah menutup pintu itu demi kenyamanan para penumpangnya --yang tentunya bukan saja aku seorang.

Kulempar pandangku ke luar lewat jendela. Kulihat tiga anak kecil, masih di tengah guyuran hujan, sedang bermain sepak bola di sebuah lapangan sepakbola yang hijau, terbuka dan luas. Melihat sekilas dari bentuk lapangannya, layaknya melihat sekelompok petani yang sedang bercocok tanam menggarap sawah. Rumput-rumputnya tinggi yang tertanam pada tanah dengan genangan air yang tinggi pula.

Sesaat lagi aku akan meninggalkan Ciamis. Daerah yang sangat kuyakin tidak pernah aku singgahi sebelumnya.

Benar saja, sejumput kemudian aku sudah berada di Tasikmalaya. Segera menuju Pool Bis yang mengantarkanku ke Jakarta.

Jakarta?

Ya, aku harus pulang ke Jakarta sekarang. Aku tidak peduli, dan bahkan aku mendapatkan ilmu baru: selain tidak lagi mempercayai mentah-mentah perkataan orang, aku juga tidak akan mempercayai segelimang anganku begitu saja.

Jadi, akan kubiarkan anganku saja yang pergi ke Solo, ke Stadion Manahan, namun, tidak serta merta diriku...Itu pasti.

Kamis, 07 Oktober 2010

Siluet Nyata

ALLAHUAKBAR...ALLAHUAKBAR...LAA ILAA HAILALLAH...
MALING !!! MALING !!!

Senja itu, baru saja adzan magrib berangsur menuju akhir, ketika terdengar teriakan orang-orang menyebut Maling.

Sontak saya yang awalnya agak malas untuk beranjak dari tempat tidur --tidak menghiraukan seruan adzan-- jadi terbangun dengan agak tersentak. Teriakan maling itu bersumber dari mesjid samping rumah saya.

Dengan langkah sedikit terhuyung saya mengintip dari balik jendela. Seseorang sudah duduk berjongkok di perempatan gang. Dia menjadi pusat perhatian warga yang terus menerus berdatangan dari berbagai arah. Saya begitu penasaran ingin melihat maling tersebut. Tak berapa lama kemudian saya sudah menjadi bagian dari kerumunan dan menyaksikan maling itu.

Dari perbincangan singkat dengan salah satu warga saya mendapat info bahwa maling itu berusaha mencuri sendal juga sepatu,sebelum akhirnya tertangkap basah oleh warga. Sudah menjadi sebuah rutinitas di tiap harinya, mesjid samping rumah saya itu selalu didatangi orang-orang --terutama mereka yang beraktivitas di pasar Tebet dan sekitar-- untuk solat berjamaah. Rupanya,sebelum ini memang sudah tersiar kabar tidak jarang para jamaah kehilangan sandal maupun sepatunya.

Melihat kondisi jalan dipenuhi oleh membludaknya warga, pihak keamanan setempat berinisiatif untuk membawa maling tersebut ke posko keamanan. Karena dari tadi saya belum sempat melihat dengan jelas rupa sang maling, sayapun mengikuti mereka hingga ke posko.

Di sana baru terlihat jelas bahwa sosok maling itu adalah seorang pria dengan umur berkisar 30 tahun ke atas. Berperawakan pendek,kurus,berkulit gelap dan ikal pendek rambutnya. Dari atas batang hidungnya mengalir darah yang pekat. Saat digiring pihak keamanan tadi saya juga sempat melihat jalannya yang terpincang-pincang. Entah apa yang dilakukan oleh para warga saat pertama kali menyergapnya tadi.

Dengan tangan terikat di belakang, ia diinterogasi. Berbagai pertanyaan, pernyataan yang bernada ancaman muncul:
"Kamu tinggal di mana?!"
"Mana teman kamu?! Kamu sendiri atau berkomplot?!
"Masih untung kamu! Kalau di daerah lain kamu pasti sudah dibakar !!"

Bersandar pada sebuah tiang listrik dan beralaskan lembabnya aspal jalanan ia terus menjawab satu per satu pertanyaan, dengan nada mengiba, dengan wajah tertunduk.

Saat dompet dalam kantong kreseknya diperiksa, sama sekali tidak ada sehelaipun lembar uang. KTP maupun kartu identitas lainnya pun nihil. Lalu, seorang pemuda berseloroh "Pak, dibuka saja bajunya!". Dilepaskanlah kemeja lusuhnya itu. Tampaklah kemudian badan kurus kering yang nyatanya tidak segelap yang terlihat seperti sebelumnya.

Salah seorang keamanan sudah mengambil ancang-ancang untuk memukul perut atau dadanya --saya tahu itu hanyalah sebuah gertakan semata-- ketika salah seorang ibu menegur dan melarang keras tindakan itu: "Sudah, jangan...Badan kurus kering begitu,kasihan..."

Kemudian saya teringat bahwa saya belum solat maghrib. Alih-alih terus menyaksikan interogasi itu sayapun memilih kembali ke rumah. Lagipula rasa iba saya berangsur memuncak melihat pemandangan seperti itu. Bulu kuduk inipun sempat lama tegak berdiri kala mengingat hukuman yang sudah,sedang dan akan diterima si maling akibat perbuatannya itu. Ya, mencuri sandal/sepatu di mesjid.

Baru saja saya membelok arah menuju rumah, sudah datang mobil sedan abu-abu, bersirine dan beratapkan lampu besar kelap-kelip, di perempatan gang tadi. Rupanya, seorang warga sudah melapor Polisi.

Saya tertegun. Mengapa harus seperti ini???

Dari ujung gang maling itu kembali digiring pihak keamanan dan beberapa warga, untuk kemudian dimasukkan ke dalam mobil polisi. Wajahnya penuh dengan warna ketakutan. Dan jalannya masih tetap terpincang. Segera setelah ia didudukkan di kursi belakang, mobil polisi itupun berjalan meninggalkan kami semua.

Sepintas saya sempat menangkap pemandangan itu: Langit sudah menghitam, sedangkan terang sudah menjadi milik lampu jalan. Cahayanya yang kuning menyala menembus masuk kaca mobil polisi itu. Membentuk siluet nyata sang maling yang tengah duduk,tanpa bersandar pada punggung jok, dengan mata menerawang lurus ke depan.


Di suatu tempat, di hari yang lain, suasana yang berbeda dengan tajuk yang berlainan pula:
"Maaf kawan, terpaksa aku lakukan ini. Terkadang aktivitas anda kerap meresahkan masyarakat", kataku, setelah menepuk sepasang nyamuk yang tengah kawin, hingga tewas mengesankan.

Kamis, 09 September 2010

POINT BLANK Kontra Bentengan !!!

"Mas, nunggu bentar nggak apa-apa?? masih lumayan banyak nih yang data mas ini yang mau diprint..." kata mbak Warnet sambil menunjuk seorang pemuda disebelahnya.

"Yaudah Sip, nggak apa-apa mbak" kata saya.

Sore itu saya sudah duduk manis di sebuah warnet. Ada sedikit data yang harus saya print. Namun, saya harus menunggu giliran karena sudah ada orang lain yang terlebih dulu meminta jasa print-an warnet itu. Ya, sudah tidak masalah, karena kebetulan saya tidak juga diburu waktu.

Agak mati gaya juga saya pada waktu itu. Handphone tidak terbawa, koran atau majalah juga tidak tampak, acara TV juga tidak cukup menarik untuk sekedar membunuh waktu. Sampai pada akhirnya perhatian ini teralih pada sekelompok anak-anak yang sedang bermain game online, di tengah-tengah gelintir kecil pemuda yang tampaknya kesemuanya itu --tanpa terkecuali-- sedang bermain PointBlank (Game Online Perang).

Saya hanya fokuskan pada sekelompok anak-anak tersebut. Mereka begitu antusias bermain: kesepuluh jari bergerak dinamis tanpa henti, badan duduk begitu tegak tegang terlihat meskipun tetap bersandar pada punggung kursi, juga mata mereka begitu tajam menghujam layar monitor dengan hanya sesekali berkedip. Interaksipun tetap muncul diantara sesama mereka (baca: gamers anak-anak) sekalipun mata dan perhatiannya tidak pernah luput dari monitor.

Kebanyakan dari mereka sungguhlah masih kecil. Saya coba takar kemungkinan mereka itu berusia 11 tahun ke bawah. Bahkan saya melihat ada beberapa diantara mereka yang masih mengenakan busana muslim. Semoga saja anak-anak itu tidak "cabut" dari pengajian mereka, batin saya. Soalnya sore itu, jam masih menunjukkan pukul 15.15 WIB dimana biasanya tempat pengajian mengusaikan kegiatannya pada ba'da ashar atau lebih...Ya, saya cukup mahfum mengenai hal ini karena dulu saya pernah menjadi seperti mereka sekarang itu...

Visualpun beranjak terbang menuju nostalgia pada masa itu :

Saya yang masih bocah SD "diwajibkan" untuk ikut pengajian usai sekolah, 3 kali seminggu, oleh orang tua saya. Seperti bocah kebanyakan, sayapun cenderung seringkali ogah-ogahan pergi mengaji. Apalagi ketika sedang lelah sehabis berkegiatan di sekolah dasar. Namun, sekalipun jika akhirnya saya pergi mengaji,toh ada saja banyak hal yang menyenangkan yang didapat selain ilmu agama.

Pada zamannya saya itu, kami semua --para santri-- selalu senang jika waktu istirahat datang. Karena akan ada banyak pilihan buat kami bermain, mengisi kekosongan waktu. Jika tidak ingin mengeluarkan banyak keringat cukuplah permainan seperti kelereng ataupun taplak menyenangkan hati kami. Sedangkan, jika semangat sedang tinggi-tingginya, biasanya kami memilih permainan yang dapat memacu keringat seperti Sepakbola, Galaksin(maaf jika ada kesalahan dalam penguraian huruf), maupun Bentengan. Khusus yang terakhir, mungkin menjadi salah satu momok bagi saya. Karena permainan ini selain membutuhkan taktik juga sangat mengedepankan kecepatan berlari. Disinilah masalahnya: saat itu saya terbilang cukup gemuk,yang tidak memungkinkan saya dapat berlari secepat yang lainnya.

Namun, berbeda dengan permainan yang saya sebut di awal. Sepakbola merupakan "gawean" saya sejak dulu. Bolehlah badan saya gemuk dan kurang lincah, namun dengan bekal teknik-strategi (efek menggemari tontonan sepakbola di TV), juga skill dan finishing yang memukau, dapat dipastikan --untuk ukuran anak bocah-- saya menjadi salah satu andalan dalam tim, pada waktu itu.

Kami selalu bermain penuh semangat, tanpa menghiraukan waktu dan lainnya. Cuma, kegirangan kami itu mendadak langsung berubah menuju kekecewaan kala guru mengaji kami menyuruh kami untuk berhenti, karena waktu istirahat telah usai. Aneh memang mengingat waktu istirahat itu malah kami pergunakan tidak untuk beristirahat, melainkan untuk berlari-larian kesana-kemari. Hingga akhirnya kami memulai kembali pelajaran dengan kondisi basah kuyup, pakaian apek-kumal, peci putih menjadi kecoklatan tersambar tanah karena sering lepas dari kepala, dan muka memerah panas tersengat matahari siang.

Hampir tiap mengaji selalu begitu kondisinya. Entahlah pelajaran yang dipaparkan dapat masuk ke otak atau tidak. Semoga saja Kak Slamet dan Kak Zairohidin, begitu kami memanggil guru kami, selalu bisa memaklumi tingkah pola kami. Namanya juga anak-anak.

Sepulang dari warnet itu, tiba-tiba terbersit pikiran: "Andai saja pada zaman itu permainan game online sudah marak dan saya sudah terampil memainkannya, pastinya saya dan teman-teman tidak perlu lagi bermandikan keringat saat memasuki kelas mengaji --karena warnet biasanya selalu berfasilitas AC-- sehingga suasana kelas tidak berbau apek dan Guru-guru kami dapat dengan mudahnya memasuki ilmu-ilmu ke dalam otak kami.."

Dan juga yang pasti, jika pada saat itu saya sudah menjadi gamers yang handal tentunya saya sudah tidak se"GAPTEK" sekarang ini... Hehehehe...

Rabu, 08 September 2010

See You Next Year...Ramadhan

Sesal maupun berbagai keluhan selalu datang ketika kenyataannya Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. "Aduh, kok cepat sekali ya bulan Ramadhan berjalannya", "Yah ibadah Ramadhan gue kayaknya kurang pol neh tahun ini", atau kalimat "Nyesel banget, nggak bisa manfaatin bulan Ramadhan ini untuk beribadah sebaik-baiknya" selalu muncul kala akhir Ramadhan hanya tinggal menanti hitungan jam. Tak terkecuali keluhan macam itu muncul dari mulut saya sendiri.

Saya masih mengingat waktu hari-hari pertama bulan Ramadhan, ketika begitu banyak jamaah tarawih yang memenuhi masjid Raya Al-Ittihad (mesjid favorit kami untuk bertarawih). Bahkan sampai ada yang rela solat di pelataran parkir, lalu ada juga yang sampai "membuat saf" sendiri di rerumputan, di pinggir parkiran.

Nah, menjelang berakhirnya Ramadhan, ceritanya pun menjadi berbeda. Tidak ada lagi itu yang namanya jamaah sampai luber di pelataran parkir, luar mesjid. Yang ada barisan saf semakin irit --hanya setengah dari kapasitas indoor mesjid. Saking sedikitnya jamaah dan bertambahnya space yang kosong, nyatanya membuat beberapa jamaah terkadang membuat saf sendiri atau juga solat berjamaah individu.

Berjamaah individu apa itu?? itu hanyalah sebutan buatan sendiri, yang maksudnya orang itu ikut solat berjamaah namun memisahkan diri dari jamaah. Tujuannya beragam : salah satunya mungkin karena ingin mendapatkan angin segar, dan lepas dari kesumpekan atau kegerahan...Hahaha kalau melihat hal ini hati ini tertawa sembari miris. Sejauh pengetahuan agama saya yang dangkal ini, cara solat seperti itu tidak dapat dibenarkan. Logikanya: jika ingin dapat pahala solat berjamaah, maka berjamaahlah --jangan memisahkan diri dari mereka. Sebaliknya jika ingin solat sendiri, maka solatlah sendiri tidak perlu mengikuti imam.

Ya sudahlah, itu urusan mereka dengan sang Pencipta.

Kembali pada tentang kegelisahan hati menjelang Ramadhan pergi. Entah ibadah yang saya lakukan kesemuanya diterima atau tidak. Yang pasti saya ingin selalu kembali berada di bulan Ramadhan berikutnya bersama orang-orang terkasih.

Kemarin malam, sepulang tarawih, ketika saya dan Papa sudah berada di dalam mobil hendak pulang ke rumah. Seorang Bapak tukang parkir Mesjid Al-Ittihad menghampiri kami. Seketika kami berdua menyalaminya, dia berkata pada Papa "Terima kasih pak, semoga kita bisa ketemu lagi ya, di bulan Ramadhan tahun depan". Mendengar itu, hati ini seperti bergetar sedikit.

Ya Allah, ijabahlah doa Bapak Tukang parkir yang baik itu. Dan hamba mohon agar keindahan & keberkahan Ramadhan ini akan selalu menemani kami di bulan-bulan berikutnya...Amin

Selasa, 07 September 2010

HATI-HATI


Berikut adalah beberapa rangkuman dari obrolan-obrolan maupun pemikiran yang belakangan timbul...


HATI-HATI 1 : Kini, seringkali kita mendengar orang-orang begitu mudahnya berkelakar lantang: "Ayo lah, kita perangin aja itu Negara brengsek !!!". Kalau sudah begitu, alangkah baiknya kita menyempatkan diri suatu waktu melancong ke Afganistan atau Irak, lalu kita bertanya pada para penduduk setempat: "Apakah ada kebahagiaan yang tersirat kala perang tiba?". Niscaya mereka tidak akan menjawab, melainkan mereka akan meludahi bahkan bisa saja membunuh diri kita saat itu juga.

HATI-HATI 2 : Sekarang sedang marak-maraknya orang berteriak: "Saya tidak takut!!!Ayo perang!!demi negara tercinta saya akan berada di baris paling depan!!" ...Lalu, benar saja, suatu hari bom-bom dahsyat meluluhlantahkan rumah-rumah. Keluarga juga Orang tua tewas seketika. Apakah saat itu kita masih berani berteriak ingin perang?? Saya berani jamin kitapun akan ketakutan sambil terkencing-kencing, bahkan bisa mati berdiri kalau kita ditarik paksa menjalani program wajib militer. Itu baru wajib militer levelnya, bagaimana mau terjun langsung dalam perang sesungguhnya??

Janganlah kita membayangkan diri ini seperti Stallone(Rambo) maupun Harnett(Black Hawk Down) yang pantang dari maut, dalam film perangnya. Semoga kita tidak lupa kalau kita tidak sedang hidup dalam dunia Point Blank atau Counter Strike, yang ketika sudah mati bisa hidup kembali.

HATI-HATI 3 : Saya tidak akan menanyakan "selain Bengawan Solo, adakah lagu lain dari Alm. Gesang yang kita ketahui?", melainkan "seberapa sering kita mendengar lagunya Bono,Jagger,Jay-Z atau Coldplay di I-Pod, setiap harinya?"

HATI-HATI 4 : Apa yang biasa kita lakukan ketika tiba hari 17 Agustus, di tiap tahunnya??...Pergi berekreasi ke mall atau menyelenggarakan serta melaksanakan upacara bendera di lapangan warga??.

Syukurlah kalau kita dapat menjawabnya dengan jujur. Berarti kita dapat melanjutkan dengan menjawab pertanyaan lainnya: Masihkah kita hafal dengan bunyi Pancasila? bagaimana dengan Mukaddimah UUD 45'?


KESIMPULAN: Harap kita mampu berhati-hati sebelum mulai berbicara tentang Nasionalisme...

Minggu, 05 September 2010

Seniman Rabab Padang Panjang


Tak terasa bulan Ramadhan sebentar lagi akan menuju akhir. Itu artinya waktu mudik tidak lama lagi akan datang. Korelasi yang paling hakiki ketika kita bicara tentang mudik adalah kampung halaman. Saya jadi teringat setahun yang lalu (2009) saya berkunjung ke kampung halaman kami : Silungkang, SawahLunto, Sumatra Barat. Kunjungan kami ke sana tidak dalam rangka hari raya, karena kami pergi ke sana beberapa bulan setelah lebaran. Saat itu salah satu saudara kami akan melaksanakan pernikahan.

Waktu kunjungan kami ke kampung halaman tidaklah terlalu panjang –hanya seminggu—kami manfaatkan untuk berlibur ke luar kota. Suatu hari kami : Saya, Papa, Ibu dan beberapa sanak saudara, pergi ke Bukit Tinggi. Saya sangat beruntung karena sudah terhitung lama sekali saya tidak pernah berkunjung ke sana lagi. Ditambah saat itu pula kami mengunjungi Penjara Bawah Tanah Jepang. Berbeda dengan Papa yang sudah pernah ke sana sebelumnya –itupun sudah lama sekali—bagi saya ini adalah debut.

Ibu sudah mewanti-wanti agar kami tidak usah masuk ke penjara itu, karena terowongannya amat sangat dalam dan jauh di bawah permukaan tanah yang kami pijak. Sebelumnya, butuh keberanian tinggi hingga saatnya kami memutuskan “lanjut” masuk ke penjara bawah tanah itu. Ketakutan Ibu dan juga kami tentunya sesungguhnya cukup beralasan. Hari saat itu sudah sore, yang artinya penerangan akan sangat minim di dalam. Belum lagi ditambah fakta bahwa akhir-akhir ini –jika tidak mau dikatakan sering— Sumatra Barat dilanda gempa. Ingatan kita masih segar bukan? Banyak korban jiwa pada gempa dahsyat yang menggoyang Padang dan sekitar.

Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan. Ketika kami keluar dari penjara simbol kekejaman tentara Jepang itu, hari sudah semakin sore, menjelang magrib. Tak ayal kamipun langsung melanjutkan perjalanan pulang. Namun, sebelumnya kami sempatkan untuk solat magrib dan makan malam di Rumah Makan Pak Datuak, Padang Panjang. Perut kami semua sudah terlalu lapar. Kabar tentang kenikmatan masakan di Rumah makan itu sudah cukup lama aku dengar. Hanya Ibu yang pernah mencicipinya, Saya dan Papa belum sama sekali. Saya jadi penasaran.

Benar saja, setelah solat maghrib, kami langsung “menghajar” hidangan yang tersaji. Sangat nikmat dan bercita rasa mumpuni. Saya yang awalnya sedikit mual efek perjalanan yang cukup jauh, langsung amnesia menanggapi keinginan saya untuk muntah. Kelezatannya mengalahkan itu semua !!!

Setelah selesai makan, saya iseng berkeliling memutari penjuru Rumah Makan itu. Saya lihat di permukaan dinding, banyak terpajang berbagai foto sang pemilik dengan beragam tokoh publik. Diantaranya, bahkan terdapat foto sang pemilik berdiri sejejer dengan RI 1 : SBY !!! Gambar yang merupakan kunjungan SBY ke Rumah Makan itu membuat diri ini berpikir: Kalau sudah begini tentunya reputasi restoran Padang ini sudah tidak bisa dianggap remeh. Dan reputasinya itu saya akui memang sangat sejalan dengan kenikmatan berbagai hidangannya. Salut.

Kemudian, terdengar sayup alunan musik dan nyanyian minang dibawakan merdu oleh seseorang, di luar sana. Saya penasaran lalu mengikuti ke mana arah sumber suara itu. Seorang Bapak paruh baya sedang memainkan alat musik sebentuk Biola –namun akhirnya saya mengetahui bahwa itu bernama Rabab, berbeda dengan biola, cara memainkannyapun berbeda— sambil berdendang berbahasa minang/melayu, di pelataran teras Rumah Makan. Saya tidak sepenuhnya mengerti keseluruhan isi lirik, namun meskipun begitu saya cukup bisa menikmati.

Rupanya, selain “mengamen” bapak itu juga menjajakan dagangannya berupa kaset-kaset dan CD lagu minang. Dan kalian pasti akan tercengang –sama seperti tercengangnya saya—ketika tahu bahwa diantara kaset-kaset maupun CD itu terdapat album minang milik Bapak itu sendiri. Dahsyat bukan !!! sembari mengamen live, dia pula menjual CD album karya miliknya.

Saya yang dari tadi terus merekam perform Bapak itu dengan Handycam, berkesempatan mengobrol sedikit dengannya. Dari penjelasannya, saya ketahui bahwa CD itu adalah album duet bersama istrinya bertajuk DUYA AKHIRAIK bersama : Erman & Ernie. Ya, nama bapak itu ternyata Erman, dan Ernie adalah istrinya sendiri.

Selagi terus merekam penampilan Bapak Erman, sekali lagi saya mengamati alat musik Rabab itu. Bentuknya benar-benar mirip dengan biola, bunyi hasil gesekannya pun tidak terlalu jauh berbeda, namun ada perbedaan dalam cara menggunakannya. Berbeda dengan biola yang ditopangkan dan ditekan di leher pemain, kalau rabab ini tidak perlu digencetkan di leher, cukup diletakkan di paha pun jadi. Nah, satu poin belakangan ini yang memungkinkan si pemain dapat bermain sambil bernyanyi pula. Dari info yang saya dapat Rabab ini adalah salah satu alat tradisional minang / melayu bahkan Arab. Yang saya tidak tahu, dan sampai sekarang tetap menjadi misteri adalah : Apakah awalnya Biola yang merupakan modifikasi hingga terbentuknya Rabab, atau bahkan malah sebaliknya, Rabab yang merupakan modifikasi dalam terciptanya Biola??

Tak lama kemudian Papa, Om dan Ibu pun menghampiri. Mereka tertarik melihat-lihat berbagai kaset minang itu. Saya tahu perhatian mereka tidak akan pernah terlepas dari yang namanya Tiar Ramon. Mengapa? Karena bagi saya jangan pernah mengaku minang kalau tidak menyukai Tiar Ramon. Apalagi tidak menahu sosok itu sendiri. Ibaratnya: murtadlah seorang Betawi jika tidak tahu atau tidak menyukai sosok Benyamin S.

Almarhum Tiar Ramon adalah musisi dan penyanyi kondang seantero minang. Suaranya yang khas berkarakter sangat melegenda di Sumatra Barat. Lagu-lagunya pun sangat apik didengar. Salah satunya yang terkenal adalah : Dindin Badindin.
Mungkin karena melihat saya amat tertarik merekam penampilan Bapak Erman, timbul niat iseng Papa.

“ Pak, ini anak saya wartawan TVOne lho “ kata Papa ke Bapak Erman.” Jadi, bapak mainnya yang bagus ya, biar nanti masuk TV”

Saya cukup terkejut mendengar itu, namun saya hanya tersenyum saja, menikmati candaan itu dan menunggu reaksi si Bapak. Sialnya, Bapak Erman malah serius menanggapinya. Dia tampak sangat percaya terhadap apa yang Papa katakan, meskipun sebenarnya Papa mengatakannya dengan tawa-tawa kecil.

“ Bener, Pak ? “ tanya Bapak Erman.

Entah kemasukan apa, Papa malah melanjutkan candaannya. Batinku, mungkin ini efek dari kelezatan hidangan si Datuak hingga “kegilaan” Papa keluar sejadi-jadinya karena tertimpa kekenyangan yang sempurna.

“ Beneran, Pak. Bapak tunggu dan tonton aja berita TVOne minggu depan ya”, jawab Papa.

Lagi-lagi Bapak Erman tidak dapat menangkap candaan Papa, dia terus saja percaya dan mungkin mulai membayangkan dirinya muncul di layar kaca. Usaha saya pun jadi sia-sia ketika mencoba untuk “menyadarkan” Bapak Erman, kalau itu semua hanya candaan belaka.

Setelah beberapa kaset Tiar Ramon dibayar, kamipun langsung menuju mobil untuk kembali melanjutkan perjalanan pulang. Di teras Rumah makan itu, kami tinggalkan Bapak Erman, musisi asli minang itu, bertemankan mimpinya: Mimpi tampil di layar kaca, ditonton oleh khalayak seisi Indonesia...

Tetap Semangat Bapak Erman !!!

Saat Hari Mendekati Gelap

Sore itu suasana dalam rumah terasa hening. Di luar, awan mendung pertanda sebentar lagi bakal jatuh hujan. Keheningan terus berjalan hingga akhirnya terpecahkan oleh suatu suara tangisan. Tangisan itu datang dari bilik pembantu kami : Mbak Ani. Raungannya begitu keras. Ibu, Kakak saya dan saya sendiri langsung berhamburan menengoknya. Saya lihat Mbak Ani masih dalam berbusana mukena dan sarung. Dia menangis sejadi-jadinya, terlentang di lantai, sesekali tubuh yang gemetar itu berputar-putar tak tentu arah mengikuti ke mana luapan emosinya berjalan.

Tangisan itu...tangisan itu begitu pilu terdengar. Mbak Ani sudah sangat lama bekerja di rumah kami. Bahkan, dia sudah bekerja di sini jauh sebelum saya lahir. Rasanya selama itu tidak pernah saya lihat dan dengar dia menangis sehebat ini. Bulu kuduk ini merinding melihat pemandangan itu. Ibu terus menerus bertanya apa yang sudah terjadi, namun Mbak Ani tetap meronta. Hingga sejumput kemudian terdengar oleh saya bahwa : Bapaknya Mbak Ani baru saja meninggal dunia, di kampung halaman.

Suasana begitu haru bertambah. Untuk sesaat tidak ada yang dapat Ibu lakukan, kecuali meminta Mbak Ani untuk beristighfar. Kak Gina pun terdiam sepertiku. Sayapun tidak tega melihat mbak Ani tidak henti-hentinya menangis. Saya mencoba mengerti. Memang menangislah senjata ampuh untuk menghadapi hal semacam ini. Mungkin saya belum pernah merasakan, namun pastinya suatu saat nanti akan tiba waktunya untuk saya.

Lalu, Kak Gina mencoba untuk menenangkan Mbak Ani, yang masih menangis bertelungkup di lantai, sembari terus berucap : Sabar...

Tidak lama sebelumnya, Mbak Ani dapat telepon dari anaknya di kampung, bahwa Bapaknya terjatuh di WC. Jauh sebelum ini ternyata Bapaknya Mbak Ani sudah terkena penyakit Stroke. Belakangan ini memang Mbak Ani sudah berkeinginan untuk segera pulang –mungkin ini yang namanya firasat—karena memang seminggu sebelum lebaran, biasanya adalah waktunya ia untuk mudik. Namun, sesal tak dapat ditolak kala Mbak Ani tidak bisa berada di samping Bapaknya menjelang dikuburnya jasad beliau. Hal ini yang membikin hati ini tambah meringis.

Mbak Ani seperti yang saya ceritakan tadi, sudah cukup lama berkerja dengan kami dan itu membuat dia sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Dia sangat baik, cerewet dengan suara cemprengnya dan poin terhebatnya adalah dia sangat jago dalam urusan mengenyangkan perut. Kami akan merindukan itu untuk sementara.

Terhitung beberapa jam setelah cerita ini ditulis dia akan mudik ke kampung halaman dengan membawa duka. Kami hanya bisa berdoa untuk kebaikan Mbak Ani dan keluarga di sana. Dan seperti kata Ibu kala ia mencoba menenangkan Mbak Ani : “ Sudah, yang sabar ...Ini bulan Ramadhan, bulan yang baik, bulan penuh berkah di mana pintu neraka ditutup...Jadi, bapak kamu beruntung bisa langsung masuk ke surga, Insya Allah...” Semoga doa kami itu terkabul, Amin Ya Allah...

Hati-hati dalam perjalanan pulang ya mbak. Seketika nanti kau kembali ke rumah ini, kami ingin melihatmu melangkah dengan senyuman yang jauh lebih cerah...

Jumat, 27 Agustus 2010

Martabak Delivery

Nggak kerasa ya, Ramadhan udah jalan lebih dari setengahnya...Kadang2 pas puasa tenggorokan suka seret malah ngebikin gue seret juga ngeblog,,hehehe...Tapi ya sudahlah, toh gue sudah kembali sekarang. Jadi, langsung aja ya !!!

Sore tadi, setelah mengelilingi pasar Tebet (tetapi tidak seanteronya)untuk beberapa keperluan, sebelum kembali ke rumah, akhirnya kaki ini sampai juga di salah satu toko buku, peralatan kantor & Olah Raga terbesar di Tebet Barat. Gue mau beli Papan Jalan. Ya papan jalan yang pada hakikatnya tidak benar-benar bisa jalan sendiri, atau punya kaki sendiri, melainkan murni hanya sebutan untuk benda itu saja. Yaudah sih ya, gue juga nggak bakal ngebahas tentang papan jalan lebih jauh,,hehehehe...

Setelah tahu harganya Rp.8500 langsung saja gue pergi ke kasir buat bayar segera, karena saat itu waktu sudah hampir maghrib: waktu buka puasa.

Muka mbak2 kasir itu gue lihat agak kusut, mungkin karena lagi puasa jadinya kurang bertenaga. Ditambah mungkin dia cukup bosan dengan aktivitas sehariannya itu: Duduk aja di meja kasir sambil ngobrol ngalur ngidul dengan karyawan lain .

Belum lagi papan jalan gue "dikerjakannya", datang dering handphone untuknya --padahal gue lagi cukup terburu-buru karena gue belum mandi saat waktu berbuka kian mendekat. Dari percakapan telepon mbak kasir itu gue bisa nangkep kalau si owner toko buku itu meminta untuk dibelikan Martabak telor olehnya.

A haaa...sejurus kemudian ide iseng gue terbit. Setelah percakapan telepon itu selesai, gue langsung nyerocos dengan muka dibikin pelongo:

"Eh, mbak emang di sini (maksud:toko buku itu) jual Martabak juga?"

"Hah?" sesaat mbak kasir itu bingung, " hihihi ya ampun,mas, enggak. Tadi tuh si Ibu yang nelpon, minta pesenin martabak depan pasar" mbak itu tersenyum.

"Ooohh...Kirain saya ini toko juga ada layanan delivery martabaknya?"

"Ya nggaklah mas,,hihihi...Ini kembaliannya" mbak itu masih menyunggingkan senyum saat menyodorkan uang Rp.2000 ke gue.

"Sip...makasih ya mbak" kata gue sembari berlalu keluar.

Namun, baru aja beberapa langkah meninggalkan toko itu, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal: Harga Papan Jalan itu Rp.8500, sedangkan uang yang gue kasih ke mbak kasir tadi Rp.10000. Seharusnya kembaliannya kan Rp.1500 bukan Rp.2000. Ah, meskipun cuma kecil selisihnya gue nggak mau curang, terlebih lagi gue puasa, bisa-bisa pahala puasa gue hilang kalau berlaku curang kayak gini. Gue yakin mbak tadi khilaf.

Gue balik lagi deh ke toko itu.

"Mbak, kelebihan neh ngasih kembaliannya...kan harga papan jalannya 8setengah, tadi duit saya 10ribu kok mbak ngasih ke saya 2ribu???" gue melihat mbak itu sedang ngobrol dengan temannya sesama karyawati.

"Oh, nggak apa-apa mas,,lagi nggak ada kembalian yang pas...Beneran kok nggak apa-apa" kata mbak kasir.

"Yah, mbak ogah ah...Ntar saya dzalim lagi, neh mbak duitnya" gue menyodorkan 2000an tadi padanya.

Selanjutnya mbak kasir dan temannya tadi terus menerus berkata "beneran, nggak apa-apa kok, kembaliannya segitu aja" . Gue pun kehabisan kata-kata, sampai akhrinya...

"Yaudah, beneran nih ya mbak, saya nggak dzalim ya?? Mbaknya beneran ikhlas ya..."

Mbak kasir terus tersenyum sedikit tertawa," Beneran nggak apa-apa mas".

"Iya,,kita seikhlas-ikhlasnya deh mas" teman mbak tadi ikut menimpal dengan nada yang lebih semangat.

"Yaudah neh, makasih ya mbak" kata gue sambil berlalu meninggalkan mereka yang terdengar masih tertawa-tertiwi kecil.

Lalu, langsung gue berjalan pulang ke rumah dengan agak cepat...Beloommmm Manddiiiii...Bentar lagi Bukaaaaa !!!!

Sabtu, 14 Agustus 2010

Isak Sang Pendosa

Ini anakmu datang, ibu..akhirnya

Entah datang untuk yang keberapa kalinya, tak jelas aku ingat...

Yang jelas, aku yakin sejumlah jari tanganmupun tidaklah lebih banyak ketimbang jumlah kedatanganku padamu,bu

Ibu, maafkan aku...Tolong, jangan hanya kau diam !!! Aku butuh senyummu,bu

Aku mohon Ibu !! berikan maaf itu...berikan senyum indahmu yang dulu...

Tidak !! Tidak !! Jangan kau keluarkan air matamu...Ampun Ibu, bukan itu yang aku pinta, bukan itu yang aku harapkan...

Cukup air mata itu tumpah ketika pernah suatu saat engkau melahirkanku ke dunia...

Air mata dan bahkan kucuran darahmu cukup pantas kau keluarkan untukku...Tapi, itu dulu...Dulu ketika aku masih putih...masih suci..

Sekarang : TIDAK !!!....Air bening nan berkilauan itu terlalu jauh berharga untuk menangisi manusia busuk sepertiku...

Tolong, bu !!!...Hentikan air mata itu...Jika tidak, makin menumpuklah dosaku ini

Yang aku pinta senyummu, bu...Berikanlah tulus untuk diriku, hingga teringankanlah ribuan dosa setiap aliran darah...

Mengapa hanya diam saja, Ibu ?...Apa yang kau lihat ?...Tolong jangan kau menyiksaku dengan membayangkan diriku yang dahulu...

Kesemuanya itu sudah lama terkubur, dan tidaklah terlalu penting ketimbang yang ada sekarang...Ya, sekarang...Itulah yang sebenar-benarnya aku butuhkan..

Syukurlah, kini sudah kau hentikan laju tangismu...Lalu, tunggu apa lagi? Mana senyummu,bu?

Apa? Kau tidak sanggup, bu?...Bahkan, hanya sunggingan kecilpun kau tetap kaku?

Ya, pada akhirnya, ketika aku lapar, aku akan menelan nasi yang telah lama sengaja aku biarkan basi...Sungguh menyakitkan...

Baiklah...Aku pamit, bu...


by : Ndygoreng

Jumat, 30 Juli 2010

Tangis Obasute

Saya baru saja menonton pertunjukkan teater berjudul OBASUTE di IKJ. Obasute adalah legenda di masyarakat Jepang tentang sebuah adat yang mengharuskan meninggalkan Baba(nenek-nenek yang sudah sangat tua) di gunung untuk menghemat persediaan makanan.

Malam itu pertunjukkannya begitu indah. Akting para lakon sungguh memukau meskipun beberapa aktor berasal dari Jepang yang mengharuskan berbicaranya mesti dengan bahasa Jepang pula. Namun, kami para penonton masih dapat mengerti jalannya cerita lewat bantuan Voice Over (suara latar) berbahasa Indonesia untuk menjelaskan isi cerita. Dalam beberapa adegan, tubuh sayapun bergetar, terlena oleh backsound musik yang menghipnotis diri.

Hingga tiba adegan pada suatu ketika, sang anak harus melepaskan orang tuanya (Baba) di gunung sendirian. Setelah sebelumnya sang anak harus menggendong Baba --yang sudah teramat tua itu -- di balik punggungnya, menuju ke atas gunung. Seketika mereka sudah sampai, sang anak tetap tidak rela meninggalkan Baba sendiri di sana. Baba sudah berkeyakinan kuat bahwa dia harus pergi meninggalkan keluarga dan hidup menyendiri. Sang anakpun tidak menyerah, dia terus menerus menceritakan momen indah mereka berdua semasa kanak-kanak, lalu terus menerus bercerita kisah lucu juga menari hanya untuk membuat si Baba tersenyum. Karena alkisah menceritakan bahwa jika si anak mampu membuat Babanya tersenyum atau tertawa, maka Baba berhak kembali tinggal bersama anaknya di rumah.

Ketika si anak ingin menarik Baba, si Baba langsung memerintahkan anaknya untuk berhenti dan segera ia membuat garis batas di tanah, dengan tongkatnya.

"Baba...Tolong aku, baba...Maafkan aku jika selama ini aku tidak pernah menjadi anak yang sebagaimana kau harapkan" teriak si anak memohon, sambil menangis. Pada momen ini sungguh bulu kuduk ini merinding mendengar dan menyaksikannya.

Baba hanya setengah duduk lemas, sembari menundukkan kepalanya. Tak sampai hatinya melihat anaknya menangis seperti itu. Dia hanya mampu diam.

"Aku mohooonnnn Baba...Ubahlah keputusanmu ini!!! aku mohon..." teriakan sang anak menggelegar seisi ruangan. Tidak ada tanggapan dari Baba, si anakpun akhirnya luluh dan putus asa. Ketika ia sudah terduduk lemas, Baba memberinya sebuah permen. Lalu, keduanya tersenyum bahagia.

"Baiklah, Baba...Kini aku rela melepasmu...Selamat tinggal Baba" lirih sang anak sebelum pergi meninggalkan Babanya. Sang Baba lalu memperhatikan anaknya pergi jauh, seperti ada seonggok penyesalan yang luar biasa besarnya menyelimuti hatinya. Sakit ia rasakan hingga tangis air mata keluar segera.

Iringan musik latarnya menambah haru suasana dalam adegan itu. Pemandangan itu terasa menyesakkan dan menusuk. Hingga air mata saya keluar tiba-tiba. Entah mengapa saya begitu emosionalnya melihat itu. Yang jelas, saat itu saya membayangkan peristiwa itu terjadi dalam hidup saya dalam suatu dimensi dan arti yang lain.

Dimensi itu berupa: ketika mungkin suatu saat nanti saya yang meninggalkan orangtua saya, ataupun sebaliknya, mereka yang meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Sama seperti yang si anak dalam lakon itu rasakan, bahwa saya --sampai saat ini-- rasanya belum pernah menjadi anak yang diharapkan oleh orang tua saya.

Sebelum semuanya tiba, sebelum semuanya telat, jelas sekali bahwa saya ingin membahagiakan mereka. Karena mereka berhak mendapatkannya...berhak atas kebahagiaan dalam hidup, sebelum lenyap dan lepas nilai sebuah nafas...

Pelayan Masyarakat



Akhir-akhir ini kita semua sering mendengar pemberitaan yang cenderung negatif mengenai kepolisian Indonesia. Berbagai isu bertubi-tubi menyerang hingga menyebabkan citra buruk menyemat di tubuh salah satu institusi negara itu . Tidak sedikit masyarakat yang mulai membenci pihak kepolisian. Tidak perlulah saya membahas kasus penyuapan dan sebagainya seperti yang sudah terpampang di berbagai media tanah air, karena itu cukup rumit untuk saya pahami.

Saya lebih tertarik mengambil sudut pandang masyarakat mengenai "pertarungan"nya dengan para polisi di lalu lintas. Keluhan tentang kinerja polantas sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat, khususnya di kota besar macam Jakarta ini. Mari saya kerucutkan menjadi kasus tilang.

Di beberapa kawasan di Jakarta, sering terjadi penilangan yang dianggap tidak beralasan. Seolah para polisi itu mengantongi segudang cara untuk mencari kesalahan para pengguna kendaraan. Jujur saya pun juga turut resah jika faktanya sudah seperti ini. Namun, kali ini saya punya cerita yang mungkin bisa mengurangi citra buruk Polisi, setidaknya membimbing hati agar kita mampu jernih berpikir bahwa tidak semua polisi itu ber-cap "Kotor".

Maghrib itu saya dan beberapa teman saya sudah dalam perjalanan menuju tempat Futsal, di daerah Kalimalang. Agak tergesa dan ngebut saya menyetir mobil, karena kami sudah telat dari jadwal main kami. Sungguh tidak beruntung saya tidak dapat menemukan jalur putar balik di sana, jadinya saya terpaksa mengambil jalan yang agak jauh. Namun, tetap tidak terlihat jalur putar balik hingga saya melihat sebuah bajaj berputar arah secara ilegal di lampu merah, di ujung jalan --dekat bantaran kalimalang. Saya yang saat itu ingin cepat-cepat tiba di tempat futsal, sama sekali tidak berpikir panjang.
Langsung saja saya mengikuti "jejak" bajaj tadi dan PRRIITTTTTT !!!!!

Di trotoar, dekat emperan toko yang sudah tutup, sudah berdiri seorang polisi yang marah sedang meniup peluitnya kencang. Sungguh saya tidak melihatnya sebelumnya. Mungkin karena mata saya yang kurang awas memerhatikan keadaan sekitar, jika malam tiba. Sudah sangat jelas, saya yang melanggar peraturan maka saya yang bersalah.

" Aduh, gimana nih...Masya Allah...Ya Allah..Ya Allah " seru saya panik karena memang baru kali inilah saya kena tilang. It was the first time.

" Tam, please ya lo temenin gue,, sumpah gue ngeri banget neh " jelas saya yang sangat membutuhkan partner untuk menghadapi ini.

Lalu, saya dan Tama langsung digiring masuk ke posko polisi.

Singkatnya, seperti biasa polisi itu segera mengecek SIM dan STNK saya, lalu selanjutnya meminta saya untuk menjalani sidang. Sayangnya, kalau tidak salah ingat, saya harus menjalani ujian kampus di hari sidang yang sudah ia tentukan itu. Saya benar-benar panik, dan saya yakin sekali wajah saya sudah sangat pucat saat itu. Kehadiran Tama tidak terlalu membantu dalam me"lobi", namun cukuplah menenangkan hati ini sedikit, bahwa ada seorang teman yang mendampingi saya.

Polisi itu masih terbilang muda, dan hal itulah yang membuat diri ini semakin cemas karena biasanya yang muda itu darahnya masih panas dan menggebu-gebu dalam bersikap. Dia akhirnya meminta pengganti berupa sejumlah uang --saya lupa berapa nominalnya--, namun yang diminta tidak cocok dengan yang ada di dompet saya.

"Pak, beneran deh uang saya ya cuma segini aja, RP.15000. Uang ini buat nanti patungan main futsal" kata saya jujur,sembari menunjukkan isi dompet saya padanya. Tama pun juga membawa uang yang pas untuk patungan futsal.

"Aduh...kamu ini...bandel sekali sih kamu !!! Kamu tau kan kalau kamu salah dan melanggar tadi??" kata Polisi itu tegas.

"Iya..iya pak saya ngaku salah banget. Tadi saya bener-bener nggak kepikiran sama sekali, karena buru-buru jadinya saya ikutin aja bajaj itu. Maafin saya pak..."

Mungkin karena iba melihat rupa saya yang sudah amat sangat memelas ditambah sikap tulus minta maaf atas kesalahan yang saya buat, akhirnya polisi muda itu melunak.

"Ya sudah, kali ini nggak apa-apa...Cuma saya nggak mau tanggung jawab ya kalau hal ini terulang lagi"

"Iya pak, pasti...InsyaAllah lain kali saya akan lebih hati-hati" ketakutan saya perlahan mereda.

Polisi muda itupun lalu mengantarkan kami kembali ke mobil. "Oh iya, kamu pada main futsalnya di mana?"

"Itu lho, pak, nggak jauh dari sini, terus aja dan tempatnya di sisi kiri jalan" kata gue.

"Saya sama teman-teman juga sering lho main futsal, cuma kayaknya bukan di tempat kalian itu, deh" kata Polisi itu sangat Friendly.

Karena keramahan plus keberadaan satu fakta bahwa sepakbola adalah alat pemersatu, sayapun jadi leluasa untuk berbasa-basi. "Wah, boleh donk kalau kapan-kapan kita sparring, pak "

Polisi itupun mengangguk setuju sembari tersenyum, ketika kemudian saya meralat tawaran saya itu. "Eh, nggak jadi deh, pak. Ntar kaki saya bisa patah adu kaki lawan bapak-bapak polisi, hehehehe. Yaudah, terima kasih ya pak, saya jalan dulu", sebelum berlalu saya sempat menyalami tangan polisi baik hati itu.

Pengalaman itu sampai kini masih kuat terekam di kepala. Ketika saya melihat berbagai pemberitaan maupun gambaran buruk mengenai polisi --khususnya yang beroperasi di jalanan-- saya selalu mencoba berhenti memaki, laluu membuka lagi ingatan itu. Sehingga saya sadar bahwa Polisi itu masihlah berwujud manusia. Di samping ada yang menyalahgunakan wewenang, masih banyak pula yang mau menjaga dan bertanggungjawab penuh atas profesinya.

Ke depannya, saya selalu mengharapkan keberadaan polisi tidak lagi meresahkan bahkan menakuti masyarakat, karena sejatinya mereka mengemban tugas yang teramat mulia yaitu melayani masyarakat...

Minggu, 25 Juli 2010

Kecut, Bebal, Timpang...

Peluh membasahi kulit, pula menembus pakaian kumal terhantam polusi...

Rambut semrawutan ditebas laju angin terhias di atas wajah dekil berminyak...

Jari-jari berkuku hitam mahir memilah-milah uang, lembar demi lembar, receh demi receh...

Bau badan kecut menyengat seolah berteriak:"Akulah pekerja keras !!!"

Tuli sudah telinganya mendengar jerit marah klakson --mewahnya mobil kota...

Hatinya pun sudah mengeras, bebal, tidak mempan oleh cacian, hinaan kasar mereka yang murka...

Anak, Istri menunggu seraya berharap ia akan pulang mengantongi uang banyak...

Demi urusan perut, ia terjang semua ketakutan,ketidakpastian dan ketimpangan yang selalu disajikan oleh sang Metropolitan...

La Revelacion

Terpatri dalam lamunan siang itu...

Mengapa wajahmu menyembulkan gundah ?
Rasa-rasanya paras murammu itu tidaklah cocok terus menerus ada di sana

Dulu kau menganggap dunia ini indah dan mudah...Wajar saja, karena dirimu masih kuat tertopang oleh bermacam sendi

Sekarang perlahan topangan itu terkikis, hanya mampu mengandalkan diri yang bergerak maju...mau tidak mau...

Jangan..Janganlah sampai terbersit untuk menyalahkan mereka..karena murammu itu kau sendirilah yang bentuk

Mereka menghujanimu salju, bukan dengan kerikil tajam seperti yang kau duga

Sedangkan yang lain pergi tidak untuk menjauhi, melainkan bersiap kembali untuk menghampiri dirimu diiringi tawa

Kini tiba waktunya engkau melesat, tidak perlu terlalu kencang...Cukup bergerak, sekalipun tertatih, sekalipun berguncang...

Jumat, 23 Juli 2010

Hamka Van Der Wijck

Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainudin bahwa saya pulang ke kampungku,hanya dua yang kunantikan : pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku yang bermula, yaitu akan menunggumu,biar berbilang tahun, biar berganti musim. Dan yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang-awang

Agak terenyuh saya sekejap setelah membaca salah satu penggalan surat terakhir Hayati untuk Zainudin, di atas.

Mungkin terkesan cengeng, namun tidak bagi siapapun yang membaca utuh keseluruhan roman "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya Buya Hamka ini. Si penulis berhasil mengombang-ambingkan emosi laki-laki saya dalam cerita ini. Kemenangan yang luar biasa hebat bisa menjadi hambar bila masih ada luka yang menganga lebar yang didapat di hari lampau.

Zainudin benar-benar sudah benci dan muak terhadap Hayati. Namun pada akhirnya iapun menyesal karena perasaan benci itu hanya bergerumul di emosinya saja, tidak di hatinya yang terdalam. Sesal yang teramat sangat dideritanya kemudian, dan hingga saatnya itu datang, Zainudin merasa menjadi orang yang paling hina sedunia. Karena ia tak mampu memberikan maaf, sedangkan tuhannya, ALLAH SWT selalu mampu memberikan itu pada setiap umatNya.

Juga, dalam roman ini ada beberapa quote Hamka yang berhubungan dengan wanita yang menarik buat saya:

"Orang yang sampai gugur rambut di kepala mencari uang kian kemari, hanyalah semata-mata lantaran diperintah oleh senyuman perempuan"


"Tetapi itulah perempuan, dia kerap kali sampai membunuh orang dengan perbuatannya yang tidak disengaja"

"Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya"


Awalnya,agak terkejut saya membaca kutipan-kutipan, yang menurut saya cukup sinis dan sangat menohok itu. Entah mengapa Hamka begitu luwes melepas pemikiran yang sebetulnya sederhana itu ,hingga saya menjadi tersadar bahwa pandangan seperti itu benar adanya. Saya dapat melihat hal tersebut di hari-hari saya hingga saat ini.

Setelah membaca habis "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", terbesit kesimpulan seperti ini: Mungkin saja Hamka pernah mengalami kisah cinta yang kurang beruntung di hari mudanya, pula bahkan "luka" yang dideritanya itu pernah sebegitu parah hingga lahirnya roman mengagumkan ini. Tokoh Zainudin yang seorang pujangga sungguh lekat dan kuat merefleksikan bahwa ia sebenarnya adalah Hamka sendiri.

Meminjam perkataan teman yang mengatakan bahwa cerita yang baik selalu lahir dari penciptanya memposisikan diri sebagai pembaca. Dan benar, sebagai pembaca, saya menilai Hamka sangat berhasil mempermainkan laju emosi saya pada cerita ini. Ceritanya begitu tajam dan mengalir seolah semuanya itu terhampar di depan mata kita: Percintaan dua anak manusia yang berujung nyata menyakitkan.

Di sisi lain saya juga beranggapan bahwa cerita yang bagus akan muncul dari pencerita yang berusaha menelusuri dalam-dalam tokoh cerita,menempatkan diri masuk ke dalam cerita...Atau bahkan si penulis pernah mengalami kejadian seperti yang ia ceritakan, sehingga tertanam pada kisah itu sebuah nyawa yang kuat.

Ya, saya yakin anggapan saya itu tidak meleset,setidaknya tidak terlalu.

Karena, siapa yang berani menjamin bahwa seorang ulama seperti Hamka tidak pernah patah hati??

Bye..Dudu...


Cukup emosional para pendukung Arsenal melepas kepergian Eduardo Da Silva ke Shakhtar Donetsk.Perjalanan karir dia di Arsenal terbilang singkat, hanya 3 tahun. Tapi hal itu cukup membuat kami (baca: para Gooners) mempunyai rasa simpatik yang tinggi terhadapnya.

Diawali dengan kedatangannya di Arsenal, yang diproyeksikan sebagai suksesor sang legenda: Thierry Henry. Kita semua tahu bahwa Henry merupakan salah satu "raja" yang mengharumkan dinasti Arsenal sepanjang sejarah. Iapun memegang rekor sebagai pemain Arsenal yang paling banyak mencetak gol -- belum tertandingi sampai saat ini. Tentunya, siapapun yang ditasbihkan menjadi penerusnya akan membopong beban yang maha berat di pundaknya.

Namun, faktanya Dudu, panggilan Eduardo, mampu menjawab tantangan tersebut. Di musim perdananya ia berhasil mencetak 12 gol plus 8 assist untuk Arsenal. Itu jelas merupakan hal yang luar biasa bagi seorang debutan, dan karena ini pula para Gooners pelan-pelan mampu menghapus tangis air mata akibat kepergian King Henry. Dudu mampu membuat kami segera "melupakan" legenda super Arsenal itu.

Hingga datanglah mimpi buruk itu. Ketika ada seseorang pemain yang mempunyai niat jahat atas keindahan permainan Arsenal. Dan berhasil, ketika sang nasib memilih Dudu sebagai tumbalnya. Dalam suatu pertandingan, pemain Birmingham City, Martin Taylor, sukses mencederai Dudu hingga engkelnya rusak parah...

Meskipun pada akhirnya Dudu dapat kembali pulih, namun mentalnya belumlah dapat dikatakan normal kembali. Wajar karena cedera yang menghantuinya itu sangatlah fatal, bahkan bagi saya itu adalah salah satu kasus cedera yang paling parah dalam dunia persepakbolaan. Arsene Wenger jarang memberikannya waktu bermain karena permainannya yang tidak lagi sehebat dulu, pula tambahan faktor cedera hamstring kambuhan yang sering menggerogoti.

Sekarang ia sudah berlabuh ke Shakhtar Donetsk demi mendapatkan jam terbang main yang lebih banyak. Kepergiannya cukup memberikan duka bagi para Gooners, bahkan levelnya cukup melebihi moment ketika Henry cabut ke Barcelona.

Dia sudah menjadi pahlawan bagi Arsenal karena pernah memberikan inspirasi pada kami semua: jangan menyerah, karena waktu selalu tersedia bagi mereka yang mau bangkit. Ya,cedera parah yang sudah hampir mematikan karirnya dulu tidak lantas membuatnya takut dan berhenti. Sebaliknya, ia lawan itu semua dan tetap maju ke depan.

Salah satu kutipan pesan terakhirnya untuk keluarga besar Arsenal :

I want to say thank you to the Arsenal supporters - you have been fantastic to me and always sung my name and I will never forget this.

Although I have now left the Club, Arsenal will always be in my heart. I will always look for the Arsenal results and of course, I wish Arsène Wenger and the great players at the Club well for next season and the future.


Ya, saya juga tidak akan pernah melupakanmu Mr.Dudu...Karena tidak seperti yang lain, anda meninggalkan kami dengan cara yang baik...

GOOD LUCK FOR YOUR NEXT DAY DUDU....

Senin, 12 Juli 2010

Unknown Rock Musician

Bagian yang gue tunggu-tunggu akhirnya keluar juga dari sang vokalis itu :

I’ve been walking these street at night...
Just trying to get it right...


Iya, itu adalah bagian teriakan atau lengkingannya AXL Rose saat dia menyanyikan lagu PATIENCE by Guns n Roses. Malam itu gue dan kedua temen gue (Igo dan Feby) sedang berada di depan salah satu gerai produk Handphone, pelataran PRJ. Di gerai tersebut tersaji akustikan musik yang menampilkan dua musisi Rock (gue nggak tahu siapa nama mereka). Kira-kira umur mereka berdua baru sekitar awal 30an. Yang memegang gitar berambut panjang sebahu sedangkan sang vokalis lebih nyentrik lagi : berambut gondrong sepunggung sedikit keriting –di cat pirang pula—, dan tato memenuhi sekujur kedua lengannya. Sepintas mirip Robert Plant, atau lebih tepatnya Robert Plant wanna be,,hehehe...

Hal ini pula yang membuat gue yakin kalau Rocker seperti mereka itu pastinya juga menggemari Led Zeppelin. So, ketika mereka menawarkan para pengunjung untuk mengajukan request lagu, gue tanpa segan langsung menuju ke stage kecil itu.

“Bang, LED ZEPPELIN ya !!” seru gue.

Merekapun agak terkejut. “Wuehhh, LED ZEPPELIN !! Gila..gila jarang banget tuh yang request lagu beginian “ kata sang vokalis, diikuti anggukan bahagia si gitaris. Terlihat jelas mereka salut atas pilihan lagu gue yang mungkin cenderung Rare.

Kemudian langsung saja mereka memainkan STAIRWAY To HEAVEN dengan cantiknya. Meskipun hanya bermodalkan satu gitar akustik, namun lagu keramat itu nggak hilang esensinya. Lengkingan Vokalisnya pun ikut menghidupkan suasana –sekalipun kualitasnya masih cukup jauh di bawah si empunya lagu – ini terbukti dari menjadi penuhnya pengunjung berhenti di depan stage untuk menonton. Padahal sebelum request an gue ini muncul animo pengunjung nggak terlalu besar terhadap sajian musik akustik tersebut.

Dari hal itu gue semakin menyadari bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mencintai musik Rock klasik dan tentunya berkualitas tinggi.

Seusai mereka membawakan lagu Stairway to Heaven, tepuk tangan kamipun riuh memecah. Sang gitaris tertawa puas dapat mampu menyelesaikan “amanat” dari Mbah Jimmy Page dengan baik. Lalu, diapun mengarahkan jempolnya kepada kami yang menonton agak paling depan. Pula, nggak mau ketinggalan Si Vokalis gondrong itu mengayunkan tangannya ke atas lalu membentuk simbol salam tiga jari pada kami.

“Setelah ini masih ada Rock n Roll nya Led Zeppelin, jadi tunggu aja” suara si Vokalis membahana melalui mikrofon.

Lagu Going Where The Wind Blow dari MR BIG kemudian mereka mainkan. Cukup memikat mereka memainkan karena masih saja para pengunjung memadati sekitar stage. Sehingga datanglah lagu berikut yang gue tunggu-tunggu, lagu yang mereka sudah janjikan : ROCK AND ROLLL!!!

It’s been a long time since i rock and rolled...
It’s been a long time since i did a stroll...


Perform mereka sungguh memukau, meskipun lagi-lagi mereka memainkan itu hanya dengan satu gitar akustik, namun kali ini Sang Vokalis memamerkan kebolehannya dalam memainkan harmonika. WOW AWESOME!!!

Agak aneh memang, mengingat di saat yang bersamaan Panggung Utama PRJ sedang tampil pula beberapa band papan atas Indonesia, namun gue sama sekali nggak tertarik menonton perform mereka. Mungkin beda ceritanya kalau yang tampil misalnya The Gribs atau bahkan God Bless, pasti gue lebih memilih menonton di panggung utama PRJ itu ketimbang hanya menyaksikan dua musisi unknown, di stage yang mini pula.

Hujan yang terus menerus turun di PRJ dari sore hingga menjelang maghrib ditambah kondisi kami – gue,Igo dan Feby— yang sempat basah kuyup membuat suasana hari menjadi dingin. Namun, permainan gitar yang ciamik dan teriakan canggih dari kedua musisi Rock itu mampu membuat PRJ diliputi kehangatan tersendiri untuk kami, malam itu.

Sabtu, 10 Juli 2010

DUA PENGAMEN KECIL

Saya sudah duduk di tepian kursi –tepat di bagian belakang kursi sang sopir— ketika angkot yang saya tumpangi masih “mengetem”, menunggu penuhnya penumpang mengisi kapasitas mobil. Sengaja saya memilih duduk di situ agar dapat keluar dengan mudah, karena pemberhentian yang saya tuju tidaklah terlalu jauh jaraknya. Di luar sana, saya melihat ada beberapa pengamen kecil sedang asyik bermain di pelataran ruko, tak jauh dari tempat angkot ini terparkir.

Tak lama kemudian, penuhlah seisi angkot oleh beberapa penumpang. Agak ganjil mengingat saat itu jam tangan saya sudah hampir menunjukkan pukul 10 malam. Bangku kecil yang selalu tersedia di dekat pintu belakangpun sampai harus terisi dua orang, saking penuhnya.

Segera saja Pak Sopir memulai menancap gas. Namun, ketika Pak Sopir baru saja memasukkan gigi 1, muncullah dua anak kecil pengamen –yang sedang asyik bermain tadi—sekejap menyelinap dan berdiri,bergelantung di pintu masuk angkot. Saya terka salah satu anak kecil itu berumur 10 tahun sedangkan yang satunya lagi berumur kira-kira 6 tahun. Kemudian, berjalanlah angkot ini ketika terdengar teriakan kasar seorang pemuda (kalau boleh saya kembali menebak dia adalah salah satu “preman” terminal) yang mengarah kepada dua anak kecil itu : “ WOYY, PENGAMEN !!! BIKIN PENUH AJA LO !!”

Laju angkot agak kencang. Mungkin karena malam itu jalanan sudah berangsur sepi. Lalu, mulailah si pengamen 10 tahun bernyanyi –ya, hanya bernyanyi tanpa ada atribut musik lainnya—sedangkan satunya hanya diam, dengan sesekali angkat suara pula jarang-jarang. Tidak jelas lagu apa yang mereka nyanyikan kala itu. Yang mampu saya tangkap: Lagu yang dibawakan bertemakan rohani islami.

Lalu, muncullah rasa iba di hati. Melihat dua anak sekecil itu harus mengamen di malam hari. Kumalnya pakaian serta penampilan mereka menunjukkan bahwa pasti sudah hampir seharian mereka berkerja mencari nafkah dengan mengamen, di kerasnya kota.

Rasa ngeri dan takutpun muncul saat melihat mereka mengamen dengan cara yang bahaya: Bergelantung di ambang pintu angkot dengan minim pijakan maupun pegangan. Tentu saya tidak seberani mereka dalam hal ini. Mungkin saja mereka sudah terbiasa, atau mungkin pula mereka tidak peduli atas bahaya yang bisa saja terjadi pada mereka, ke depannya. Ya, mereka masihlah sangat terlalu kecil untuk berpikir sepanjang itu.

Lucu mendengar nyanyian mereka yang terkesan semaunya, tidak beraturan dan agak malas-malasan. Namanya juga anak kecil. Maka dari itu, seketika angkot ini baru saja berhenti di sekitar stasiun Tebet untuk menuruni salah satu penumpang, merekapun langsung selesaikan nyanyiannya. Kemudian segera saja si pengamen 10 tahun mengedarkan tangannya kepada seluruh penumpang untuk menagih “bayaran”.

Angkot ini baru hendak melanjutkan perjalanan menyeberangi rel stasiun Tebet, ketika dua pengamen cilik itu turun. Kemudian sayup-sayup telinga ini mendengar:

“Ah, anj*ng...dapetnya cuma sedikit !!“ keluhan itu keluar dari mungilnya suara si pengamen 6 tahun.

Rabu, 30 Juni 2010

Si Jenaka Emmanuel Eboue



Entah kenapa gue ngerasa mesti nulis sesuatu tentang orang ini. Emmanuel Eboue, namanya. Dia adalah bek/gelandang sayap milik Arsenal, berdarah Pantai Gading.

Gue baru aja ngeliat satu video yang buat gue kocak parah, yang pelakunya jelas Eboue itu sendiri. Silahkan dilihat ini linknya : http://www.youtube.com/watch?v=k_pkYxX7VQc&feature=player_embedded

Sumpah, moment itu adalah salah satu kekonyolan yang pernah terjadi di dunia persepakbolaan ini. Betapa jenakanya dia ikut mendengarkan instruksi dari pelatih Korea Utara, padahal 100% dia sama sekali nggak mengerti bahasa korea. Dan itu terjadi di tengah-tengah pertandingan !!!!hahahahaha...

Jadi, ingat satu kejadian dalam suatu pertandingan Arsenal, dimana pernah Eboue menjadi korban cacian suporter Arsenal sendiri. Saat itu Eboue baru saja masuk ke lapangan menggantikan salah satu pemain Arsenal lainnya. Permainannya yang buruk kala itu sangat merugikan Arsenal, bahkan cenderung membahayakan pertahanan Arsenal.

Sayang, saat itu para Suporter nggak menyadari bahwa Eboue baru saja pulih dari cedera serius. Tak pelak sepanjang pertandingan dia mendapat sorakan negatif (Boooooo....) dari para Gooners, sebelum pada akhirnya Arsene Wenger menariknya keluar demi menjaga mental salah satu anak didik kesayangannya itu.

Bukannya mengeluh, marah, atau benci dengan para Gooners, malah sebaliknya dia terus terpacu membuktikan kehebatannya, sehingga kemampuannya dia semakin beranjak seperti sedia kala. Para Gooners pun puas dengan performanya yang kembali normal.

Yang membuat Eboue menjadi pemain kesayangan bagi kebanyakan para Gooners --selain keloyalannya terhadap fans,pelatih,rekan pemain, pelatih dan klub-- adalah sikapnya yang lucu. Bukan rahasia lagi kalau di kalangan sesama pemain Arsenal, dia adalah badut yang senantiasa melawak dan menghibur rekan-rekannya. Bahkan, hebatnya lagi --dan ini adalah bagian terpenting yang membuat kami, para Gooners, menyukainya-- seringkali kala rekan lainnya mencetak gol, dia nggak akan segan untuk menggendong si pencetak gol tersebut di punggungnya. Hal itu nggak dia lakukan saat menjadi pemain starter saja, karena sekalipun dia menjadi pemain cadangan pun dia akan selalu "setia" beranjak dari bench lalu berlari mengejar si pencetak gol itu dan kemudian menggendongnya.

Meskipun Eboue gagal membawa Pantai Gading ke tahap yang lebih jauh di World Cup 2010 ini, setidaknya dia masih mampu memberikan "hiburan" berupa kekonyolannya ini --yang gue yakin akan jadi pembicaraan hangat yang santai di masa depan.

Juga gue berharap dia akan mampu mengantar Arsenal menuju tahta Juara EPL, Champions League dan sebagainya, musim depan pula seterusnya.

Sahabat dan Betawi

Juni identik dengan bulannya Jakarta.

Bicara tentang Jakarta saya jadi teringat akan salah satu sahabat saya, seorang Betawi tulen, Hafidz namanya. Saya akan ceritakan bagaimana pertama kali kami bertemu hingga dia menjadi salah satu sahabat saya sampai saat ini.

Masih segar ingatan saya, ketika hari pertama saya masuk ke sekolah Taman Kanak-kanak. Saya yang kala itu sangat tidak percaya diri harus masuk kelas ditemani oleh ibu saya. Di kala anak-anak lain sudah menduduki kursinya masing-masing, saya masih duduk di sebelah ibu saya, dipojokkan kelas . Sengaja ibu guru (saya memanggilnya bu Fat) yang baik itu menyediakan dua buah kursi untuk kami – dia mengerti kalau saya belum siap untuk “bergabung” dengan mereka.

Namun, itu tidaklah lama, karena setelah itu Ibu saya pergi meninggalkan saya. Teganya dia meninggalkan saya dengan alasan ingin pergi ke pasar –belakangan saya menyadari mungkin Ibu bermaksud untuk membuat saya belajar berani. Sontak saya begitu ketakutan, karena suasana baru yang harus saya hadapi itu seakan ingin menelan saya hidup-hidup. Ditambah anak-anak lain yang sudah mengenakan seragam itu lalu menoleh ke arah saya yang masih mengenakan pakaian biasa –belum mengenakan seragam – membuat saya tidak ragu untuk menangis sekencang-kencangnya.

Ibu Fat (bacanya dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Inggris) sampai perlu mendiami saya, berusaha keras untuk menghentikan tangisan saya. Butuh waktu beberapa lama hingga akhirnya saya diam. Lalu, Bu Fat menuntun saya untuk duduk di kursi meja paling belakang, di pojok kanan. Meja itu sudah ditempati satu anak, namun kursi di sebelahnya masih kosong, jadilah saya duduk di sana. Lalu, saya dikenalkan oleh Bu Fat dengan teman sebangku itu, namanya Hafidzullah Amin.

Sejak saat itu saya selalu lewatkan waktu TK bersamanya, hingga datang “ritual” itu dalam hari-hari kami. Bentuknya seperti ini : Kami bersepakat untuk selalu membawa bekal makanan yang berjenis sama tiap harinya. Makanannya beragam, namun lebih sering makanan seperti nasi goreng atau mie goreng . Dan ketika jam makan tiba kami berdua saling mencoba atau mencicipi makanan satu sama lain. Biasanya Hafidz yang selalu komplain, karena menurutnya makanan yang saya bawa selalu pedas –mungkin karena saya orang minang, jadi dari kecil memang sudah suka masakan yang pedas – sedangkan miliknya sama sekali tidak pedas bagi saya.

Namun, meskipun saya kurang bisa menikmati masakan tidak pedas, tidak pernah terbersit diri ini untuk mengurungkan atau menyudahi ritual ini. Begitu juga sebaliknya, Hafidz, meskipun setelah mencicipi makanan saya dia perlu meminum banyak air putih – karena mulutnya terbakar—sekalipun dia tidak pernah berniat untuk mengakhiri ritual ini. Sepertinya kami sedang belajar untuk saling memahami dan tenggang rasa saat itu.

Waktu semakin cepat berjalan, dan kamipun semakin dekat hingga kami memasuki Sekolah Dasar yang sama. Ada cerita lucu ketika kami memasuki kelas 1 SD yang sampai sekarang saya akan tertawa, minimal tersenyum kecil jika mengingatnya.

Pak Harun, Guru kami, menyuruh kami satu per satu ke depan kelas,untuk
membawakan lagu daerahnya masing-masing. Seingat saya teman-teman baru saya di kelas itu cukup beragam daerahnya. Ada yang dari daerah Jawa, Sumatra bahkan kalau saya tidak salah ada pula yang berasal dari Kalimantan. Saya tidak mampu mengingat baik lagu apa yang saya nyanyikan waktu itu – atau malah jangan-jangan saya menolak untuk menyanyi di depan kelas, karena rasa tidak percaya diri saya yang akut. Tapi, yang jelas saat itu tidak ada yang bisa menyanyikan lagu daerah masing-masing dengan baik dan benar, mengingat keterbatasan diri. Maklum saat itu kami masihlah sangat hijau. Hingga datanglah giliran Hafidz, sahabat saya itu untuk menyanyi di hadapan kami. Kami menantikan lagu Betawi apa yang akan dia nyanyikan. Tak lama dia berdiri di depan, langsung saja tanpa berbasa-basi dia bernyanyi:

Anak Betawi. Ketinggalan jaman, katenye...
Anak Betawi, nggak bebudaye, katenye...


Sontak tawa khas anak-anak membahana seisi kelas mendengar itu. Namun, Hafidz sama sekali tidak berpikir untuk berhenti.

Aduh, sialan...Si Doel anak Betawi asli...
Kerjaannye sembahyang,mengaji...
Tapi, jangan bikin die sakit hati...


Tawa kami sama sekali tidak berhenti. Mengapa kami tertawa sejadi-jadinya saat itu? Karena meskipun kami masih kecil kami tahu kalau itu bukanlah lagu daerah Betawi, melainkan Soundtrack dari serial TV Si Doel Anak Sekolahan. Saat itu Sinetron Si Doel adalah tontonan nomor satu di Indonesia, jadi tidak mungkin tidak ada yang mengenal lagu yang dibawakan oleh sahabat saya itu.

Seketika itu saya menyadari bahwa kelak Hafidz akan menjadi seseorang yang supple, lucu, atraktif, aktif, gila dan iseng. Dan sepertinya dugaan saya tidak meleset. Kelas satu, dua, tiga dia memang benar tumbuh menjadi anak yang super aktif –kalau tidak mau disebut nakal – khas anak-anak. Dia menjadi salah satu murid yang terkenal di SD. Banyak yang mengenalnya karena kenakalannya tersebut, tak terkecuali para guru. Bagi saya itu tidaklah masalah, karena dengan sikapnya itu berarti dia bisa mengimbangi sifat saya yang pendiam dan cenderung pemalu.

Tentang ritual “Mencicipi Makanan” kami, sayangnya mengalami ke vakum-an selama itu. Ini tak lain karena beragamnya aneka jajanan di kantin maupun jajanan di luar sekolah. Namun, suatu hari, tepatnya saat kami menduduki kelas 4 SD, dia mencetuskan ide untuk mengadakan ritual itu lagi. Saya tidak mungkin menolaknya, mungkin karena saat itu saya sedang merindukan hal itu kembali. Kalau saya tidak salah ingat, waktu itu kami kembali merencanakan membawa makanan nasi-mie goreng-Telor.

Keesokannya, kami berdua terkejut, karena tempat makanan yang kami bawa ternyata identik. Yaitu tempat makanan plus minuman yang merupakan hadiah dari salah satu restoran cepat saji Amerika yang terkenal itu. Bedanya adalah miliknya berwarna kuning, sedangkan saya hijau. Kamipun tetap tertawa girang sekalipun mulut ini sudah dipenuhi makanan.

Kembali tentang keBetawi-an Sahabat saya itu. Ada suatu saat di mana kami bersama teman kami lainnya membangga-banggakan daerahnya masing-masing. Memang terdengar seperti kejahatan SARA, namun kami sama sekali tidak memikirkannya –maklum kami masihlah sangat hijau saat itu. Tapi, pada akhirnya kami semua akan kalah dan menyerah ketika sahabat saya itu berkata : “ Kalau memang daerah kalian – Padang, Jawa, dll – yang paling hebat, mengapa kalian sekarang tinggal di sini? Di tanah Betawi milik saya ?”

Wow, jawaban yang hebat dan cukup telak untuk kami. Sehingga terhentilah pertengkaran khas anak kecil itu.

Seiring berjalannya waktu. Masa SMP hingga SMA saya sudah jarang bertemu dan berkomunikasi dengan Hafidz. Sahabat saya itu pun pindah rumah, dari yang awalnya cukup dekat dengan rumah saya hingga dia harus tinggal ke tempat yang agak jauh. Benar-benar saya tidak mendengar kabarnya sampai tiba suatu hari dia datang ke rumah saya bersama.

Betapa terkejutnya saya –setelah beberapa lama tidak bersua—ketika melihat perawakannya sekarang. Tidak seperti dulu yang kurus kecil, kali ini dia datang dengan bentuk badan yang begitu besar berisi, dan tingginya pun beberapa centimeter di atas tinggi saya. Belum usai keterkejutan ini, ketika ditambah lagi dengan kabar bahwa dia ingin segera menikah. Sengaja ia datang ke rumah untuk mengenalkan calon istrinya dan memberikan undangan pernikahannya.

Kabar bahagia kembali sahabat saya dapatkan. Beberapa waktu yang lalu, dia mengabari bahwa istirnya sedang mengandung bayi, yang sudah jalan 1 bulan. Betapa hebatnya sahabat saya yang satu ini.

Kelak saya harap si Hafidz Junior akan menjadi “pejuang Betawi” seperti Ayahnya. Semoga dia mampu membanggakan kota Jakarta tercinta ini melebihi Ayahnya, dan pula tentu harus berbuat banyak hal yang berarti untuk tanah Betawi ini.

Berhubung ini masih bulan Juni, jadi saya masih berkesempatan untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk kota Jakarta kita tercinta ini.

Dirgahayu DKI JAKARTA ke 483 !!!

Rabu, 23 Juni 2010

Suara

Tidak. Saya tidak sedang ingin membahas judul lagunya salah satu band Indonesia --namanya memiliki unsur pohon-- yang tengah naik daun itu.

Saya baru saja menonton Film Dokumenter bertajuk "TOUCH THE SOUND" di Kineforum, Cikini. Film itu menceritakan tentang kehidupan Evelyn Glennie, seorang percusion wanita yang cukup terkenal di dunia, dalam mengeksplorasi hubungan antara suara, irama, waktu, dan tubuh dengan kondisi diri yang hampir tuli.

Di tengah cerita, tiba-tiba muncul pemikiran sederhana dari otak saya. Betapa kayanya jumlah suara dalam hidup ini. Dan betapa dibutuhkannya suara dalam kehidupan manusia, yang menurut saya sama tarafnya dengan kita yang membutuhkan oksigen dari hari ke hari. Tanpa mengucilkan peran indera manusia lainnya yang tentunya sama-sama besar, kebutuhan kita akan indera pendengar mutlak kita dapatkan bila ingin mendapatkan kehidupan yang sempurna.

Coba bayangkan jika suatu waktu Tuhan mencabut pendengaran kita.

Contohnya,mungkin saja kita yang tiba-tiba tuli ini akan menyesal tidak pernah mendengar indahnya suara adzan lagi, karena biasanya kita menutup telinga kita dengan bantal saat terdengar adzan subuh bersahut-sahutan di udara. Bahkan tidak jarang kita mengencangkan volume musik Rock kita saat Adzan mulai berkumandang.

Atau kita yang selalu malas mendengar monotonnya ocehan maupun perintah orang tua : "Nak, tolong antarkan ibu ke pasar" , "Nak, kamu di sekolah harus belajar yang benar" , akan menangis sejadi-jadinya kalau memang benar tiba saatnya pendengaran kita tidak berfungsi, suatu saat nanti. Jika kondisinya sudah terlanjur seperti ini saya berani bertaruh bahwa kita semua pasti akan merindukan ocehan cerewet para orang tua kita.

Lalu, bayangkan lagi jika semua alunan musik lenyap atau tidak pernah ada lagi di muka bumi ini karena di ambil oleh yang maha kuasa. Kita pastinya akan tidak kenal lelah untuk mengemis-ngemis padaNya agar musik itu dikembalikan pada kita. Maka ucapan syukur otomatis akan keluar jika Tuhan pada akhirnya mau memberikan kembali alunan musik di dunia ini, sekalipun mungkin itu hanya lagunya Band Hijau Daun.

Kalau saya tidak salah tangkap, dalam film itu sempat Evelyn berujar "We all are sound". Ya, kita semua adalah suara itu sendiri. Otak saya mencoba menyimpulkan maksud itu yaitu semua yang ada di bumi ini bersuara, sekalipun itu benda mati. Dipersempit lagi, pendapat saya mengatakan bahwa ternyata manusia memang membutuhkan suara dalam kehidupannya.

Bukankah dua tim kesebelasan sepakbola sangat membutuhkan sorak sorai pendukungnya, di tiap pertandingan, agar semangatnya terus meluap ?. Itu contoh sederhananya, untuk yang lebih kompleks mari sama-sama kita memikirkannya di kala kita memiliki waktu untuk berdiam diri dan merenung. Bersyukur dan beruntunglah mereka yang alat pendengarnya masih berkerja dengan baik, tanpa suatupun alat bantu.

Jadi, nikmatilah suara yang ada --sekalipun hambar terdengar-- selagi oksigen belum ditarik peredarannya oleh yang maha kuasa.

Selasa, 22 Juni 2010

Saya Sombong....

Sore itu entah mengapa perasaan saya tidak terlalu baik. Ada emosi yang tertahan, namun tidak mampu saya ungkap seperti apa itu rupanya dan disebabkan oleh apa. Akhirnya saya memutuskan untuk jogging di jalur hijau dengan harapan emosi buruk ini lenyap seiring keluarnya keringat dari dalam tubuh.

Belum saja memasang sepatu, telpon rumah sudah berdering. Ibu menyuruh saya untuk mengangkatnya. Mungkin itu dari customer service saluran televisi berlangganan (namanya tidak mungkin saya sebut, jadi saya akan menggunakan nama RRR TV), katanya. Benar memang itu telpon dari pihak customer service RRR TV.

Sebelum menceritakan lebih lanjut, saya akan menjelaskan perihal RRR TV ini terlebih dahulu. Jadi, baru beberapa hari saja kami memasang RRR TV di rumah. Satu-dua-tiga hari keadaan masih berjalan normal, hingga hari berikutnya tayangan lokal dari RRR TV itu lenyap, hilang dari TV kami. Singkatnya, kami langsung komplain ke pihak mereka. Berkali-kali kami menelpon pihak customer service RRR TV selalu saja kami tidak mendapatkan solusi yang baik dan tidak jelas.

Sudah hampir 3 hari tayangan lokal kami tidak pernah muncul seperti yang mereka janjikan. Hingga hari itu Pak Dion (bukan nama asli)--belakangan saya tahu namanya-- menelpon ke rumah.

" Dengan bapak **** (nama bapak saya) nya ada?" tanya Pak Dion.
" Bapaknya lagi kerja, ini siapa ya? " tanya saya.
" Kami dari pihak RRR TV. Kalau begitu dengan ibunya saja? "
" Oohh, yaudah pak sama saya saja, anaknya " perlahan emosi saya bergemuruh naik. " Ini jadinya bagaimana pak ?, sudah berhari-hari nih, padahal sempat kok dua hari awal kami tidak menemui masalah ".

" Iya, saya minta tolong siapkan foto kopi KTP bapaknya, 3 lembar "
" Hah, buat kapan itu pak?"
" Ya, sekarang lah kalau mau cepat ditangani " nada suaranya kali ini agak meninggi, dan membuat naik darah saya.

" Ya, sekarang bapak saya masih kerja, KTP nya jelas tidak sama kami sekarang !. Kalau begitu pihak bapak datang saja sehabis magrib, mungkin saat itu bapak sudah pulang "

" Ya, kami bisanya sekarang. Nanti Magrib tidak bisa " tegas Pak Dion.
" Kok gitu sih??! Lagian saya heran, kok baru minta fotokopi KTP nya sekarang. Kenapa tidak dari awal pemasangan dimintanya?! " hati saya menggebu-gebu saat berkata. " Kalau itu memang sudah jadi salah satu prosedur, mengapa kami dibiarkan sempat menikmati layanan TV anda selama 2 hari? dan kamipun sudah membayar sebelumnya !", nada suara saya meninggi dengan angkuhnya.

Bukan apa-apa, kami yang merasa dirugikan dan jelas sekali mereka yang salah, namun yang saya tangkap sepertinya malah dia yang menyalahkan kami. Seolah mereka sedang menikmati ketergantungan kami pada mereka.

" Ya, mungkin waktu itu eee...eeee...eeee " jawabannya tidak jelas. Saya tahu pasti dia sudah kehabisan akal dan kata-kata. Dan yang saya sayangkan, tidak ada keluar kata maaf dari mulutnya saat itu. Hal ini membuat saya sangat jengkel bukan main.

" Ya sudah, nanti saya telpon langsung saja ke Bapak " katanya melunak, sebelum mengakhiri pembicaraan. Emosi saya masih saja meledak-ledak --kata-kata kasarpun keluar dalam gerutu saya-- ketika saya agak sedikit membanting gagang telpon, namun hati kecil ini puas. Puas karena merasa telah "mengalahkan" mereka.

Beberapa saat kemudian saya sudah belari di Jogging Track Jalur hijau. Terbayang kembali perdebatan tadi dalam benak. Mungkin benar bahwa keringat mampu mencairkan emosi, karena pada saat itu mendadak saya mampu berpikir positif.

Betapa kasarnya saya terhadap Pak Dion --saya takar dari suaranya, umurnya mungkin 30 tahun ke atas-- yang jelas lebih tua dari saya. Memang, mungkin saya berada di pihak yang benar sedangkan dia sebaliknya. Namun, tidak sepantasnya saya membakar emosi saya dengan nada bicara yang tinggi saat berkomunikasi dengannya, meskipun hanya lewat telepon.

Kesalahan personal maupun teknis sesungguhnya dapat terjadi kapanpun dan oleh siapapun. Suatu kenyataan hidup yang saat itu saya tidak sadari. Padahal, bisa saja suatu hari nanti saya yang berada di posisi Pak Dion, dan orang lain yang berada di pihak saya --hal sederhana yang tidak pula sempat terpikirkan saat itu. Namun, emosi berlebihan saya mampu mencengkram kuat-kuat hati nurani ini, meremasnya hingga remuk kemudian tidak berfungsi.

Hingga saya pulang jogging, saya mendapati saluran TV Lokal kami kembali berjalan normal. Pihak RRR TV menempati janji mereka, pada akhirnya.

Setan apa yang saat itu merasuki ? Saya tidak tahu. Yang jelas saya ingin meminta maaf terhadap Allah SWT, dan memohon padaNya agar membukakan pintu maaf Pak Dion atas kesombongan saya.

Keprihatinan sore ini...

Gue selalu mengharapkan ALLAH SWT bakal ngasih gue pengalaman menarik --setidaknya menarik dari sudut pandang gue sendiri-- di tiap harinya. Namun, nggak selamanya gue mendapatkan itu, karena nggak semua yang gue alami dari hari ke hari itu 'berhak' dituangkan dalam blog ini.

Khusus yang ini, buat gue layak untuk diceritakan. Karena gue dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan.

Sore, gue baru saja keluar dari TIM setelah nonton Gratisan di Kineforum, ketika perut gue laper tiba-tiba. Entah kenapa pikiran gue langsung tertuju pada KFC. Mungkin karena lagi ngidam atau lagi males makan di warung padang ato Warteg. So jadilah gue ke KFC Cikini, berjalan kaki dari TIM.

Setelah sebelumnya numpang solat di mushola pom bensin sebelah, gue langsung masuk ke restoran Junk food tersebut. Setelah memesan ini itu ( Dada Ayam, 1 Nasi, dan Cola ), petugas kasir kembali menawarkan pesanan lain.

" Ada lagi mas ? " tanya petugas kasir pria itu (sebut saja namanya Petugas Kasir A).
" Ehmmm...Mocha Float " kata gue setelah beberapa saat berfikir.
" Baik, semuanya jadi Rp 29.000 , mas "

Lalu, gue ambil dompet dari saku belakang. Dan, inilah bagian yang memprihatinkan itu. Di dompet gue hanya teronggok selembar uang dua puluh ribu saja !!!... Gue mencoba untuk mengontrol diri dan nggak panik.

" Hmmm, mas gawat nih duit saya cuma dua puluh ribu " kata gue sambil cengengesan." Bisa ga ya bayar pake ATM ?? ".

" Hmmm...Bentar ya mas", katanya sembari bertanya dengan mbak kasir di sebelahnya, " Mbak ini gimana ya, bisa ga pake ATM ? ".

" Maaf mas ga bisa. Gini aja deh, uang mas yang dua puluh ribu itu kita ambil dulu, dan menu ini kami simpan dulu ya" kata mbak itu sedikit jutek. Gue mengerti, karena gue lihat mbak itu sedang cukup sibuk melayani pelanggan lainnya.

" Yaudah, mas, mbak saya ambil duit ke ATM dulu ya, saya pergi nih sekarang " sekejap gue langsung keluar. Sejujurnya perasaan malu itu ada, tapi nggak terlalu dominan karena saat itu gue malah senyam-senyum sendiri, pertanda gue sedang menertawakan kekonyolan gue sendiri.

Ini dia datang lagi bentuk keprihatinan yang menimpa gue. Jalan dari KFC menuju ATM BCA adalah satu arah, dimana gue jadi nggak bisa mengandalkan bis atau angkutan umum lainnya untuk nganterin gue ke ATM . Juga ditambah lagi jaraknya yang lumayan jauh, ketika gue sama sekali sadar kalau gue nggak membawa kendaraan saat itu.

Okeh, akhirnya gue lagi2 harus jalan kaki menuju ATM dengan mengambil sikap langkah sejuta kaki, begitu juga sebaliknya menuju KFC lagi.

Agak ngos2an napes gue menghampiri kembali kasir KFC. Rupanya bukan Petugas Kasir A yang sedang di belakang kasir, melainkan orang lain ( gue menyebutnya Petugas Kasir B ).

" Maaf mas, saya yang tadi..." kata gue sebelum disela olehnya.

" Oh, iya sebentar saya ambil dulu pesanannya " dia pasti sudah tahu kasus awal gue.

Seketika Petugas Kasir A datang menghampiri.
" Aduh mas, maap ya jadinya saya ngerepotin " gue mencoba berinisiatif.

" Yah, gapapa kok mas " katanya simpatik, sebelum dia kembali berlalu.

" Eh mas, baju Zeppelinnya beli di mana tuh? " tiba-tiba Petugas Kasir B bertanya.

Gue jadi inget kalo gue lagi make baju Zeppelin, " Eh, iya banyak kok mas di Tanah Abang ". Jujur gue agak kaget ditanya begitu.

" Kalo saya punyanya yang lambang orang bersayap itu lho, ada gambar Jimmy Pagenya ditengah-tengah" tukasnya.

Awalnya gue mengira kalau Mas Petugas Kasir B ini hanya sok2an tau Led Zeppelin aja. Ditambah tongkrongannya yang berkaca mata dan berkawat gigi --biasanya yang model begini sukanya tuh ColdPlay, Fall Out Boy dan band anak muda jaman sekarang, lainnya--, membuat gue berfikir nggak mungkin dia memilih Zeppelin sebagai band favoritnya Tapi, dengan cepat anggapan gue berubah 180 derajat ketika dia menyebutkan nama Jimmya Page.

" Jimmy Page trus Robert Plant tuh emang bener2 Legend deh, pokoknya " katanya lagi. Kali ini gue nggak bisa lagi meremehkan ke" Led Zeppelin"annya lagi.

" Setuju mas, sayang Bonham udah keburu mati ya mas? ", gue menanggapi.

Perbincangan singkat itu diakhiri waktu gue mendapat kembalian dari mas Petugas Kasir A. Sekali lagi gue meminta maaf padanya, dan lagi-lagi dia tersenyum menanggapi "kesopanan" gue...hehehe....

Jalan kaki cepat bolak-balik ATM-KFC karena duit gue kurang, dan mas Petugas Kasir B pecinta Led Zeppelin membuat hari ini jadi bermakna buat gue. Dua hal itu adalah perwujudan kado dari ALLAH SWT buat gue yang selalu mengharapkan momen-momen terbaik di hari-hari gue...

Buat gue ini sangat menarik, so that's why kita semua bisa membaca cerita ini sekarang...

Selasa, 25 Mei 2010

Chamakh29 for ARSENAL


Akhirnya Arsenal berhasil mendapatkan Chamakh sebagai pembelian pertama untuk musim depan. Pemain asal Bordeaux yang didapat free transfer ini gue harap bakal jadi solusi ajaib ketajaman Arsenal nantinya. Gue udah lama menunggu seorang striker yang bener2 garang, ditakuti dan mumpuni--layaknya Drogbsa, Torres, Rooney di klubnya masing2 -- di Arsenal, yang gue yakini terakhir Gunners memilikinya dalam seorang Thierry Henry-- idola gue sampai mati-- beberapa tahun yang lalu.

Gue pribadi punya cerita menarik tentang Chamakh. Sempet beberapa kali gue nonton pertandingan Bordeaux di UCL musim lalu, jelas mata gue slalu tertuju sama Gourcuff dan Chamakh, karena mereka berdualah yg paling terkenal. Nah, gue ngeliat Chamakh ini tipikal permainannya mirip2 sama Cristian Ronaldo, gaya gocek, footwork bahkan perawakannya --yang satu ini gue ga terlalu peduli-- cukup identik. Sejak itu gue pengen banget ngeliat Arsenal bisa punya striker kayak dia. Dan Alhamdulillah, gayung pun bersambut. Wenger tertarik, dan Arsenal berhasil memboyongnya ke Emirates Stadium.

Hal yang sama juga pernah gue alami sebelumnya. Kali ini Tomas Rosicky yang jadi aktornya. Gue langsung suka begitu gue liat permainan dia di Borussia Dortmund, dalam beberapa kesempatan. Tipikal playmaker yang lihai menggocek, visi luar biasa tajam plus tendangan keras terarah membuat gue berpikir saat itu, bahwa orang ini harus mengisi pos lini tengah Arsenal suatu saat nanti. Gue udah terlanjur jatuh cinta sama The Little Mozart itu. Dan lagi2 Doa gue didengarNya, Wenger membawanya ke Arsenal karena merasa tertarik dengan bakat playmaker timnas Republik Ceko tersebut.

Pointnya, gue heran kok pemikiran gue bisa sama gitu ya sama Arsene Wenger??,,apa ini cuma kebetulan?? ah ini udah yang kedua kalinya. Jangan2 gue berbakat neh jadi pelatih sepakbola, atau minimal jadi talent scouting lah...hehehe

Akhirnya gue ambil kesimpulan yang Objektif --setidaknya buat gue sendiri. Mungkin karena gue udah mencapai level Gooner sejati yang udah mengerti The ARSENAL Way, makanya pemikiran gue bisa selaras dengan apa yang ada di dalam otak Wenger mengenai Arsenal...

Sebagai penutup, gue harap impian gue bahwa Chamakh bener2 bisa jd predator Arsenal yang menakutkan, baik di event lokal maupun internasional bisa terwujud. Gue bener2 merindukan sosok seperti Henry muncul kembali di Arsenal...

Nggak sabar pengen ngeliat duet titisan Bergkamp-Henry dalam diri Van Persie-Chamakh beraksi mengangkat Arsenal kembali ke puncak, musim depan... !!!

Rabu, 12 Mei 2010

Mbah Surip berikutnya ??

(12-05-2010)


Siang ini saya bersama Igo (teman saya) dan Ranggi (saudara saya)sudah berada di PATAS 45 jurusan ke arah blok M. Kami berencana ingin mengunjungi gedung SMESCO di jalan Gatot Subroto. Namun, bukan hal itu yang akan saya "pergunjingkan" di tulisan kali ini, karena ada hal lain yang menurut saya lebih menarik untuk "diperbincangkan"...

Ketika kami baru saja menaiki bus, sudah ada pengamen nyentrik di dalamnya. Laki-laki berumur sekitar 40/50an, berperawakan tidak terlalu tinggi, agak tambun, gelap kulitnya, topinya kupluk, rambut panjang sebahu dan dicat warna pirang, terakhir, Ukulele senjata andalannya.

Biasanya saya agak malas mendengarkan nyanyian pengamen yang tidak jarang menyanyikan lagu-lagu band-band IN**X atau DA**Y*T. Namun, bapak pengamen yang satu ini lain. Dia membawakan lagunya sendiri--katanya-- yang itu benar2 unik buat saya, dan mampu membuat saya tertawa.

" Oh iya, lagu berikutnya ini saya cipatakan sendiri. Beneran deh, ini disukain banget sama Ahmad Dhani..." kata Bapak pengamen itu, " Dia sering banget maen ke rumah saya,, suerrrr,,ini saya nggak boong"

Para penumpang --termasuk saya sendiri-- masih jaim, tampak masih menahan senyum atau tawa. Setelah itu dia langsung memulai lagunya. (Maaf saya tidak terlalu mengingat liriknya, jadi mungkin anda yang pernah melihat "perform"nya bapak ini bisa mengoreksi saya dalam penulisan liriknya).

Begini beberapa potongan liriknya :

" Di desa namanya Slamet...Di kota berubah jadi Salmond..."
" Di kampung namanya Markonah... Di kota jadi Merry...

dan masih banyak lagi nama2 orang yang diubah seenaknya untuk dijadikan bahan guyonan olehnya --sayang saya tidak sempat mencatat kesemua nama2 itu-- yang nyatanya sukses membuat beberapa penumpang mengeluarkan senyum kecilnya. Saya? Mungkin senyum saya yang paling lebar saat itu.

(lanjut)

Ini dia (kurang lebih) beberapa potongan lirik berikutnya:

" Sekarang udah banyak orang yang ganti nama. Yang jelek biar jadi keren..."

Kemudian masuk ke Reff ( dan ini yang membuat saya, Igo dan Ranggi tidak tahan lagi menahan tawa ) :

" Boleh aja ganti nama... Asal jangan nama Prancis... Bon Jovi...Bon Joko...Bon Rokok...Bon Warteg..." Reff 1.

" Boleh aja ganti nama...Asal jangan nama Belanda... Van Den Berg, Van Den Borg, Kedebog..." Reff 2.

" Boleh aja ganti nama...Asal jangan nama Inggris...Phill Collins, Phillkada, Phill koplo..." Reff 2.

Sayang anda tidak berada di sana saat itu, jadi anda tidak dapat merasakan apa yang kami rasakan. Tidak dapat merasakan kelucuan yang amat sangat dari pengamen itu.

Dia bawakan lagu itu dengan tidak jenaka, namun lawakannya mengalir-- seakan murni tidak dibuat2. Hal itu yang membuat saya kagum, karena metode lawak ini tidak common banget di Indonesia. Dan anda tahu, kali ini tawa kami tidak lah lagi kecil, melainkan sudah pecah tak terkendali. Beberapa penumpang lain pun sudah tidak tahan lagi tertawa, meskipun masih dengan mulut ditutupi. Ada juga yang masih berdiam tanpa reaksi. Entahlah, ada 3 kemungkinan bagi mereka, mungkin mereka merasa itu tidak lucu, mungkin mereka tetap jaim menahan tawa, atau mungkin sense of humor mereka sudah lenyap disapu oleh keruwetan kehidupan kota ???

Nyatanya saya tidak bertepuk tangan --tanda kalau saya masih jaim--ketika bapak itu bertanya " kok nggak ada yang tepuk tangan ??" ketika ia mengakhiri lagu. Namun, saya tidak bisa pungkiri kalau dia itu memang lucu.

" Ya saya ini penggantinya Mbah Surip... Nggak percaya? kalo nggak percaya silahkan di donlod lagu2 saya, saya baru aja rekaman kemaren..." kata bapak itu. Lagi-lagi raut wajahnya tidak terlihat seperti ingin melucu, bahkan terkesan serius. Namun, kami, khususnya saya sendiri tidak tahan tertawa mendengar tingkahnya.

" Atau kalo mau liat saya manggung...Anda bisa dateng ke Ancol, hari kamis malam Jumat Kliwon, jam 12 malem..." kata bapak itu serius, " Cuma harus tepat waktu datengnya, soalnya kalo udah lewat jam 12, saya udah bakalan ilang nggak ada lagi di sana.."

Tawa saya mulai mereda saat itu, namun senyum ini tetap terpajang. Saya benar2 takjub melihat "kegilaan" pengamen itu.

Dan benar... Banyak penonton yang sebagian dari mereka "malu2 kucing" ternyata cukup antusias dengan performa pengamen nyentrik itu. Hal ini jelas terlihat ketika ia mengedarkan ukulelenya pada para penumpang untuk dimasukkan uang. Uang2 Seribu Rupiah lah yang kebanyakan tampak.

Seketika bapak pengamen itu menghampiri saya, dan saya memberinya beberapa rupiah, saya bertanya " Bang, nama abang siapa ? "

" Sony... " tegas dia menjawab.
" Nama asli tuh bang ? ", tanya saya lagi sambil tersenyum.
" Ya kagak... Gue aslinya Somat !!" ,kalimat pamungkasnya keluar, sebelum dia turun dari bus.

Saya, Igo dan Ranggi terlonjak dan tertawa mendengar itu...

NB : Bang Sony a.k.a Somat,,, Saya tunggu kehadiran Abang di belantika dunia hiburan Indonesia !!!