/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Kamis, 09 September 2010

POINT BLANK Kontra Bentengan !!!

"Mas, nunggu bentar nggak apa-apa?? masih lumayan banyak nih yang data mas ini yang mau diprint..." kata mbak Warnet sambil menunjuk seorang pemuda disebelahnya.

"Yaudah Sip, nggak apa-apa mbak" kata saya.

Sore itu saya sudah duduk manis di sebuah warnet. Ada sedikit data yang harus saya print. Namun, saya harus menunggu giliran karena sudah ada orang lain yang terlebih dulu meminta jasa print-an warnet itu. Ya, sudah tidak masalah, karena kebetulan saya tidak juga diburu waktu.

Agak mati gaya juga saya pada waktu itu. Handphone tidak terbawa, koran atau majalah juga tidak tampak, acara TV juga tidak cukup menarik untuk sekedar membunuh waktu. Sampai pada akhirnya perhatian ini teralih pada sekelompok anak-anak yang sedang bermain game online, di tengah-tengah gelintir kecil pemuda yang tampaknya kesemuanya itu --tanpa terkecuali-- sedang bermain PointBlank (Game Online Perang).

Saya hanya fokuskan pada sekelompok anak-anak tersebut. Mereka begitu antusias bermain: kesepuluh jari bergerak dinamis tanpa henti, badan duduk begitu tegak tegang terlihat meskipun tetap bersandar pada punggung kursi, juga mata mereka begitu tajam menghujam layar monitor dengan hanya sesekali berkedip. Interaksipun tetap muncul diantara sesama mereka (baca: gamers anak-anak) sekalipun mata dan perhatiannya tidak pernah luput dari monitor.

Kebanyakan dari mereka sungguhlah masih kecil. Saya coba takar kemungkinan mereka itu berusia 11 tahun ke bawah. Bahkan saya melihat ada beberapa diantara mereka yang masih mengenakan busana muslim. Semoga saja anak-anak itu tidak "cabut" dari pengajian mereka, batin saya. Soalnya sore itu, jam masih menunjukkan pukul 15.15 WIB dimana biasanya tempat pengajian mengusaikan kegiatannya pada ba'da ashar atau lebih...Ya, saya cukup mahfum mengenai hal ini karena dulu saya pernah menjadi seperti mereka sekarang itu...

Visualpun beranjak terbang menuju nostalgia pada masa itu :

Saya yang masih bocah SD "diwajibkan" untuk ikut pengajian usai sekolah, 3 kali seminggu, oleh orang tua saya. Seperti bocah kebanyakan, sayapun cenderung seringkali ogah-ogahan pergi mengaji. Apalagi ketika sedang lelah sehabis berkegiatan di sekolah dasar. Namun, sekalipun jika akhirnya saya pergi mengaji,toh ada saja banyak hal yang menyenangkan yang didapat selain ilmu agama.

Pada zamannya saya itu, kami semua --para santri-- selalu senang jika waktu istirahat datang. Karena akan ada banyak pilihan buat kami bermain, mengisi kekosongan waktu. Jika tidak ingin mengeluarkan banyak keringat cukuplah permainan seperti kelereng ataupun taplak menyenangkan hati kami. Sedangkan, jika semangat sedang tinggi-tingginya, biasanya kami memilih permainan yang dapat memacu keringat seperti Sepakbola, Galaksin(maaf jika ada kesalahan dalam penguraian huruf), maupun Bentengan. Khusus yang terakhir, mungkin menjadi salah satu momok bagi saya. Karena permainan ini selain membutuhkan taktik juga sangat mengedepankan kecepatan berlari. Disinilah masalahnya: saat itu saya terbilang cukup gemuk,yang tidak memungkinkan saya dapat berlari secepat yang lainnya.

Namun, berbeda dengan permainan yang saya sebut di awal. Sepakbola merupakan "gawean" saya sejak dulu. Bolehlah badan saya gemuk dan kurang lincah, namun dengan bekal teknik-strategi (efek menggemari tontonan sepakbola di TV), juga skill dan finishing yang memukau, dapat dipastikan --untuk ukuran anak bocah-- saya menjadi salah satu andalan dalam tim, pada waktu itu.

Kami selalu bermain penuh semangat, tanpa menghiraukan waktu dan lainnya. Cuma, kegirangan kami itu mendadak langsung berubah menuju kekecewaan kala guru mengaji kami menyuruh kami untuk berhenti, karena waktu istirahat telah usai. Aneh memang mengingat waktu istirahat itu malah kami pergunakan tidak untuk beristirahat, melainkan untuk berlari-larian kesana-kemari. Hingga akhirnya kami memulai kembali pelajaran dengan kondisi basah kuyup, pakaian apek-kumal, peci putih menjadi kecoklatan tersambar tanah karena sering lepas dari kepala, dan muka memerah panas tersengat matahari siang.

Hampir tiap mengaji selalu begitu kondisinya. Entahlah pelajaran yang dipaparkan dapat masuk ke otak atau tidak. Semoga saja Kak Slamet dan Kak Zairohidin, begitu kami memanggil guru kami, selalu bisa memaklumi tingkah pola kami. Namanya juga anak-anak.

Sepulang dari warnet itu, tiba-tiba terbersit pikiran: "Andai saja pada zaman itu permainan game online sudah marak dan saya sudah terampil memainkannya, pastinya saya dan teman-teman tidak perlu lagi bermandikan keringat saat memasuki kelas mengaji --karena warnet biasanya selalu berfasilitas AC-- sehingga suasana kelas tidak berbau apek dan Guru-guru kami dapat dengan mudahnya memasuki ilmu-ilmu ke dalam otak kami.."

Dan juga yang pasti, jika pada saat itu saya sudah menjadi gamers yang handal tentunya saya sudah tidak se"GAPTEK" sekarang ini... Hehehehe...

Rabu, 08 September 2010

See You Next Year...Ramadhan

Sesal maupun berbagai keluhan selalu datang ketika kenyataannya Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. "Aduh, kok cepat sekali ya bulan Ramadhan berjalannya", "Yah ibadah Ramadhan gue kayaknya kurang pol neh tahun ini", atau kalimat "Nyesel banget, nggak bisa manfaatin bulan Ramadhan ini untuk beribadah sebaik-baiknya" selalu muncul kala akhir Ramadhan hanya tinggal menanti hitungan jam. Tak terkecuali keluhan macam itu muncul dari mulut saya sendiri.

Saya masih mengingat waktu hari-hari pertama bulan Ramadhan, ketika begitu banyak jamaah tarawih yang memenuhi masjid Raya Al-Ittihad (mesjid favorit kami untuk bertarawih). Bahkan sampai ada yang rela solat di pelataran parkir, lalu ada juga yang sampai "membuat saf" sendiri di rerumputan, di pinggir parkiran.

Nah, menjelang berakhirnya Ramadhan, ceritanya pun menjadi berbeda. Tidak ada lagi itu yang namanya jamaah sampai luber di pelataran parkir, luar mesjid. Yang ada barisan saf semakin irit --hanya setengah dari kapasitas indoor mesjid. Saking sedikitnya jamaah dan bertambahnya space yang kosong, nyatanya membuat beberapa jamaah terkadang membuat saf sendiri atau juga solat berjamaah individu.

Berjamaah individu apa itu?? itu hanyalah sebutan buatan sendiri, yang maksudnya orang itu ikut solat berjamaah namun memisahkan diri dari jamaah. Tujuannya beragam : salah satunya mungkin karena ingin mendapatkan angin segar, dan lepas dari kesumpekan atau kegerahan...Hahaha kalau melihat hal ini hati ini tertawa sembari miris. Sejauh pengetahuan agama saya yang dangkal ini, cara solat seperti itu tidak dapat dibenarkan. Logikanya: jika ingin dapat pahala solat berjamaah, maka berjamaahlah --jangan memisahkan diri dari mereka. Sebaliknya jika ingin solat sendiri, maka solatlah sendiri tidak perlu mengikuti imam.

Ya sudahlah, itu urusan mereka dengan sang Pencipta.

Kembali pada tentang kegelisahan hati menjelang Ramadhan pergi. Entah ibadah yang saya lakukan kesemuanya diterima atau tidak. Yang pasti saya ingin selalu kembali berada di bulan Ramadhan berikutnya bersama orang-orang terkasih.

Kemarin malam, sepulang tarawih, ketika saya dan Papa sudah berada di dalam mobil hendak pulang ke rumah. Seorang Bapak tukang parkir Mesjid Al-Ittihad menghampiri kami. Seketika kami berdua menyalaminya, dia berkata pada Papa "Terima kasih pak, semoga kita bisa ketemu lagi ya, di bulan Ramadhan tahun depan". Mendengar itu, hati ini seperti bergetar sedikit.

Ya Allah, ijabahlah doa Bapak Tukang parkir yang baik itu. Dan hamba mohon agar keindahan & keberkahan Ramadhan ini akan selalu menemani kami di bulan-bulan berikutnya...Amin

Selasa, 07 September 2010

HATI-HATI


Berikut adalah beberapa rangkuman dari obrolan-obrolan maupun pemikiran yang belakangan timbul...


HATI-HATI 1 : Kini, seringkali kita mendengar orang-orang begitu mudahnya berkelakar lantang: "Ayo lah, kita perangin aja itu Negara brengsek !!!". Kalau sudah begitu, alangkah baiknya kita menyempatkan diri suatu waktu melancong ke Afganistan atau Irak, lalu kita bertanya pada para penduduk setempat: "Apakah ada kebahagiaan yang tersirat kala perang tiba?". Niscaya mereka tidak akan menjawab, melainkan mereka akan meludahi bahkan bisa saja membunuh diri kita saat itu juga.

HATI-HATI 2 : Sekarang sedang marak-maraknya orang berteriak: "Saya tidak takut!!!Ayo perang!!demi negara tercinta saya akan berada di baris paling depan!!" ...Lalu, benar saja, suatu hari bom-bom dahsyat meluluhlantahkan rumah-rumah. Keluarga juga Orang tua tewas seketika. Apakah saat itu kita masih berani berteriak ingin perang?? Saya berani jamin kitapun akan ketakutan sambil terkencing-kencing, bahkan bisa mati berdiri kalau kita ditarik paksa menjalani program wajib militer. Itu baru wajib militer levelnya, bagaimana mau terjun langsung dalam perang sesungguhnya??

Janganlah kita membayangkan diri ini seperti Stallone(Rambo) maupun Harnett(Black Hawk Down) yang pantang dari maut, dalam film perangnya. Semoga kita tidak lupa kalau kita tidak sedang hidup dalam dunia Point Blank atau Counter Strike, yang ketika sudah mati bisa hidup kembali.

HATI-HATI 3 : Saya tidak akan menanyakan "selain Bengawan Solo, adakah lagu lain dari Alm. Gesang yang kita ketahui?", melainkan "seberapa sering kita mendengar lagunya Bono,Jagger,Jay-Z atau Coldplay di I-Pod, setiap harinya?"

HATI-HATI 4 : Apa yang biasa kita lakukan ketika tiba hari 17 Agustus, di tiap tahunnya??...Pergi berekreasi ke mall atau menyelenggarakan serta melaksanakan upacara bendera di lapangan warga??.

Syukurlah kalau kita dapat menjawabnya dengan jujur. Berarti kita dapat melanjutkan dengan menjawab pertanyaan lainnya: Masihkah kita hafal dengan bunyi Pancasila? bagaimana dengan Mukaddimah UUD 45'?


KESIMPULAN: Harap kita mampu berhati-hati sebelum mulai berbicara tentang Nasionalisme...

Minggu, 05 September 2010

Seniman Rabab Padang Panjang


Tak terasa bulan Ramadhan sebentar lagi akan menuju akhir. Itu artinya waktu mudik tidak lama lagi akan datang. Korelasi yang paling hakiki ketika kita bicara tentang mudik adalah kampung halaman. Saya jadi teringat setahun yang lalu (2009) saya berkunjung ke kampung halaman kami : Silungkang, SawahLunto, Sumatra Barat. Kunjungan kami ke sana tidak dalam rangka hari raya, karena kami pergi ke sana beberapa bulan setelah lebaran. Saat itu salah satu saudara kami akan melaksanakan pernikahan.

Waktu kunjungan kami ke kampung halaman tidaklah terlalu panjang –hanya seminggu—kami manfaatkan untuk berlibur ke luar kota. Suatu hari kami : Saya, Papa, Ibu dan beberapa sanak saudara, pergi ke Bukit Tinggi. Saya sangat beruntung karena sudah terhitung lama sekali saya tidak pernah berkunjung ke sana lagi. Ditambah saat itu pula kami mengunjungi Penjara Bawah Tanah Jepang. Berbeda dengan Papa yang sudah pernah ke sana sebelumnya –itupun sudah lama sekali—bagi saya ini adalah debut.

Ibu sudah mewanti-wanti agar kami tidak usah masuk ke penjara itu, karena terowongannya amat sangat dalam dan jauh di bawah permukaan tanah yang kami pijak. Sebelumnya, butuh keberanian tinggi hingga saatnya kami memutuskan “lanjut” masuk ke penjara bawah tanah itu. Ketakutan Ibu dan juga kami tentunya sesungguhnya cukup beralasan. Hari saat itu sudah sore, yang artinya penerangan akan sangat minim di dalam. Belum lagi ditambah fakta bahwa akhir-akhir ini –jika tidak mau dikatakan sering— Sumatra Barat dilanda gempa. Ingatan kita masih segar bukan? Banyak korban jiwa pada gempa dahsyat yang menggoyang Padang dan sekitar.

Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan. Ketika kami keluar dari penjara simbol kekejaman tentara Jepang itu, hari sudah semakin sore, menjelang magrib. Tak ayal kamipun langsung melanjutkan perjalanan pulang. Namun, sebelumnya kami sempatkan untuk solat magrib dan makan malam di Rumah Makan Pak Datuak, Padang Panjang. Perut kami semua sudah terlalu lapar. Kabar tentang kenikmatan masakan di Rumah makan itu sudah cukup lama aku dengar. Hanya Ibu yang pernah mencicipinya, Saya dan Papa belum sama sekali. Saya jadi penasaran.

Benar saja, setelah solat maghrib, kami langsung “menghajar” hidangan yang tersaji. Sangat nikmat dan bercita rasa mumpuni. Saya yang awalnya sedikit mual efek perjalanan yang cukup jauh, langsung amnesia menanggapi keinginan saya untuk muntah. Kelezatannya mengalahkan itu semua !!!

Setelah selesai makan, saya iseng berkeliling memutari penjuru Rumah Makan itu. Saya lihat di permukaan dinding, banyak terpajang berbagai foto sang pemilik dengan beragam tokoh publik. Diantaranya, bahkan terdapat foto sang pemilik berdiri sejejer dengan RI 1 : SBY !!! Gambar yang merupakan kunjungan SBY ke Rumah Makan itu membuat diri ini berpikir: Kalau sudah begini tentunya reputasi restoran Padang ini sudah tidak bisa dianggap remeh. Dan reputasinya itu saya akui memang sangat sejalan dengan kenikmatan berbagai hidangannya. Salut.

Kemudian, terdengar sayup alunan musik dan nyanyian minang dibawakan merdu oleh seseorang, di luar sana. Saya penasaran lalu mengikuti ke mana arah sumber suara itu. Seorang Bapak paruh baya sedang memainkan alat musik sebentuk Biola –namun akhirnya saya mengetahui bahwa itu bernama Rabab, berbeda dengan biola, cara memainkannyapun berbeda— sambil berdendang berbahasa minang/melayu, di pelataran teras Rumah Makan. Saya tidak sepenuhnya mengerti keseluruhan isi lirik, namun meskipun begitu saya cukup bisa menikmati.

Rupanya, selain “mengamen” bapak itu juga menjajakan dagangannya berupa kaset-kaset dan CD lagu minang. Dan kalian pasti akan tercengang –sama seperti tercengangnya saya—ketika tahu bahwa diantara kaset-kaset maupun CD itu terdapat album minang milik Bapak itu sendiri. Dahsyat bukan !!! sembari mengamen live, dia pula menjual CD album karya miliknya.

Saya yang dari tadi terus merekam perform Bapak itu dengan Handycam, berkesempatan mengobrol sedikit dengannya. Dari penjelasannya, saya ketahui bahwa CD itu adalah album duet bersama istrinya bertajuk DUYA AKHIRAIK bersama : Erman & Ernie. Ya, nama bapak itu ternyata Erman, dan Ernie adalah istrinya sendiri.

Selagi terus merekam penampilan Bapak Erman, sekali lagi saya mengamati alat musik Rabab itu. Bentuknya benar-benar mirip dengan biola, bunyi hasil gesekannya pun tidak terlalu jauh berbeda, namun ada perbedaan dalam cara menggunakannya. Berbeda dengan biola yang ditopangkan dan ditekan di leher pemain, kalau rabab ini tidak perlu digencetkan di leher, cukup diletakkan di paha pun jadi. Nah, satu poin belakangan ini yang memungkinkan si pemain dapat bermain sambil bernyanyi pula. Dari info yang saya dapat Rabab ini adalah salah satu alat tradisional minang / melayu bahkan Arab. Yang saya tidak tahu, dan sampai sekarang tetap menjadi misteri adalah : Apakah awalnya Biola yang merupakan modifikasi hingga terbentuknya Rabab, atau bahkan malah sebaliknya, Rabab yang merupakan modifikasi dalam terciptanya Biola??

Tak lama kemudian Papa, Om dan Ibu pun menghampiri. Mereka tertarik melihat-lihat berbagai kaset minang itu. Saya tahu perhatian mereka tidak akan pernah terlepas dari yang namanya Tiar Ramon. Mengapa? Karena bagi saya jangan pernah mengaku minang kalau tidak menyukai Tiar Ramon. Apalagi tidak menahu sosok itu sendiri. Ibaratnya: murtadlah seorang Betawi jika tidak tahu atau tidak menyukai sosok Benyamin S.

Almarhum Tiar Ramon adalah musisi dan penyanyi kondang seantero minang. Suaranya yang khas berkarakter sangat melegenda di Sumatra Barat. Lagu-lagunya pun sangat apik didengar. Salah satunya yang terkenal adalah : Dindin Badindin.
Mungkin karena melihat saya amat tertarik merekam penampilan Bapak Erman, timbul niat iseng Papa.

“ Pak, ini anak saya wartawan TVOne lho “ kata Papa ke Bapak Erman.” Jadi, bapak mainnya yang bagus ya, biar nanti masuk TV”

Saya cukup terkejut mendengar itu, namun saya hanya tersenyum saja, menikmati candaan itu dan menunggu reaksi si Bapak. Sialnya, Bapak Erman malah serius menanggapinya. Dia tampak sangat percaya terhadap apa yang Papa katakan, meskipun sebenarnya Papa mengatakannya dengan tawa-tawa kecil.

“ Bener, Pak ? “ tanya Bapak Erman.

Entah kemasukan apa, Papa malah melanjutkan candaannya. Batinku, mungkin ini efek dari kelezatan hidangan si Datuak hingga “kegilaan” Papa keluar sejadi-jadinya karena tertimpa kekenyangan yang sempurna.

“ Beneran, Pak. Bapak tunggu dan tonton aja berita TVOne minggu depan ya”, jawab Papa.

Lagi-lagi Bapak Erman tidak dapat menangkap candaan Papa, dia terus saja percaya dan mungkin mulai membayangkan dirinya muncul di layar kaca. Usaha saya pun jadi sia-sia ketika mencoba untuk “menyadarkan” Bapak Erman, kalau itu semua hanya candaan belaka.

Setelah beberapa kaset Tiar Ramon dibayar, kamipun langsung menuju mobil untuk kembali melanjutkan perjalanan pulang. Di teras Rumah makan itu, kami tinggalkan Bapak Erman, musisi asli minang itu, bertemankan mimpinya: Mimpi tampil di layar kaca, ditonton oleh khalayak seisi Indonesia...

Tetap Semangat Bapak Erman !!!

Saat Hari Mendekati Gelap

Sore itu suasana dalam rumah terasa hening. Di luar, awan mendung pertanda sebentar lagi bakal jatuh hujan. Keheningan terus berjalan hingga akhirnya terpecahkan oleh suatu suara tangisan. Tangisan itu datang dari bilik pembantu kami : Mbak Ani. Raungannya begitu keras. Ibu, Kakak saya dan saya sendiri langsung berhamburan menengoknya. Saya lihat Mbak Ani masih dalam berbusana mukena dan sarung. Dia menangis sejadi-jadinya, terlentang di lantai, sesekali tubuh yang gemetar itu berputar-putar tak tentu arah mengikuti ke mana luapan emosinya berjalan.

Tangisan itu...tangisan itu begitu pilu terdengar. Mbak Ani sudah sangat lama bekerja di rumah kami. Bahkan, dia sudah bekerja di sini jauh sebelum saya lahir. Rasanya selama itu tidak pernah saya lihat dan dengar dia menangis sehebat ini. Bulu kuduk ini merinding melihat pemandangan itu. Ibu terus menerus bertanya apa yang sudah terjadi, namun Mbak Ani tetap meronta. Hingga sejumput kemudian terdengar oleh saya bahwa : Bapaknya Mbak Ani baru saja meninggal dunia, di kampung halaman.

Suasana begitu haru bertambah. Untuk sesaat tidak ada yang dapat Ibu lakukan, kecuali meminta Mbak Ani untuk beristighfar. Kak Gina pun terdiam sepertiku. Sayapun tidak tega melihat mbak Ani tidak henti-hentinya menangis. Saya mencoba mengerti. Memang menangislah senjata ampuh untuk menghadapi hal semacam ini. Mungkin saya belum pernah merasakan, namun pastinya suatu saat nanti akan tiba waktunya untuk saya.

Lalu, Kak Gina mencoba untuk menenangkan Mbak Ani, yang masih menangis bertelungkup di lantai, sembari terus berucap : Sabar...

Tidak lama sebelumnya, Mbak Ani dapat telepon dari anaknya di kampung, bahwa Bapaknya terjatuh di WC. Jauh sebelum ini ternyata Bapaknya Mbak Ani sudah terkena penyakit Stroke. Belakangan ini memang Mbak Ani sudah berkeinginan untuk segera pulang –mungkin ini yang namanya firasat—karena memang seminggu sebelum lebaran, biasanya adalah waktunya ia untuk mudik. Namun, sesal tak dapat ditolak kala Mbak Ani tidak bisa berada di samping Bapaknya menjelang dikuburnya jasad beliau. Hal ini yang membikin hati ini tambah meringis.

Mbak Ani seperti yang saya ceritakan tadi, sudah cukup lama berkerja dengan kami dan itu membuat dia sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Dia sangat baik, cerewet dengan suara cemprengnya dan poin terhebatnya adalah dia sangat jago dalam urusan mengenyangkan perut. Kami akan merindukan itu untuk sementara.

Terhitung beberapa jam setelah cerita ini ditulis dia akan mudik ke kampung halaman dengan membawa duka. Kami hanya bisa berdoa untuk kebaikan Mbak Ani dan keluarga di sana. Dan seperti kata Ibu kala ia mencoba menenangkan Mbak Ani : “ Sudah, yang sabar ...Ini bulan Ramadhan, bulan yang baik, bulan penuh berkah di mana pintu neraka ditutup...Jadi, bapak kamu beruntung bisa langsung masuk ke surga, Insya Allah...” Semoga doa kami itu terkabul, Amin Ya Allah...

Hati-hati dalam perjalanan pulang ya mbak. Seketika nanti kau kembali ke rumah ini, kami ingin melihatmu melangkah dengan senyuman yang jauh lebih cerah...